Friday, May 25, 2007

Akhirnya kembali lagi...

hehehehehe.. men!! akhirnya gw kembali lagi ke dunia jurnalistik... fiuuuh.. setelah sempet nyasr jadi call center di salah satu operator - yang tidak bisa gw sebut namanya, karena takut jadi kontroversi. Di sini, kerjaan gw ngemeng.. ngemeng..dan ngemeng... sumpah... setiap abis login - istilah yang dipakai di sana untuk menunjukkan bahwa kita rajin bekerja -, pasti ada yang salah ama rahang gw.. pegel linu terasa di seluruh jajaran rahang ampe ke gigi-gigi geraham.

Apalagi, kalo udah yang namanya Call Wait - istilah yang dipakai saat suasana mencekam dimana telepon masuk tanpa henti-hentinya.. setaaann - dimana udah dipastikan mulut nyiplak trus.. plak..plak..plak.. trus kata-kata mutiara yang biasa dikeluarkan pelanggan sewaktu marah-marah, pasti keluar dari mulut call center sendiri. Contohnya, "anjing.. ni telepon kagak ada abis-abisnye... setan," ujar salah seorang call center atau bisa kata-kata yang berusaha dimanis-maniskan awalnya pada akhirnya juga keluar cacian seperti,"yoi.. keren juga jadi call center, bisa nanganin pelanggan sebanyak ini.. taaiiiiii," ujar salah seorang call center yang diam-diam bisa ngomong tai.

Tapi, di call center ini gw nemuin temen-temen yang asik-asik. walaupun pengertian asik disini dimaksudkan untuk mereka yang senantiasa ngecengin gw... tapi gw hanya tersenyum dan berkata "tai lo". Namun, gw yakin cengan itu adalah suatu bentuk keakraban diantara kami... kayaknya. Cengan-cengan seperti "homo lo ren"-walau disini gw udah berusaha meyakinkan kalo gw normal... KARENA EMANG GW NORMAL- atau panggilan-panggilan yang tidak sesuai nama aslinya... "njing, apa kabar lo??" atau "woi tai.. ambilin gw jadual donk," padahal nama org tersebut bukanlah anjing ataupun tai.. tapi nyatanya mereka hanya tersenyum manis ketika dipanggil dengan panggilan itu sambil mungkin berkata "enak aja lo manggil gw anjing, gw itu monyet tau," ujar salah seorang call center yang ada kemungkinan turunan monyet. Selain itu, ada kemungkinan juga bahwa dia percaya bahwa kita keturunan monyet bukan keturunan Adam atau mungkin dia adalah salah satu missing link yang dicari-cari oleh para peneliti. Dimana, missing link ini merupakan spesies yang menghubungkan antara monyet dengan manusia. Dasar Monyet... Dasar Nyemot...

Sekarang.. gw kerja di SCTV tepatnya di bagian website liputan 6. Di sini, gw merasakan kembali gairah yang telah lama hilang... gairah itu muncul ketika gw meletakkan tangan ini ke tuts keyboard dan mulai menulis.. hehehehe.. Alhamdullilah terima kasih atas kembalinya gairah dan semangat ini.

Indonesia Maharddika

INDONESIA MAHARDDIKA

Om Awighnam Astu
Dingaryan Ring Sasi Karo

Rohinikanta Padem
Nigitha Redite Prathama

Kilat Sapta Tusteng Natha
Nanta Mami Magawe Plambang

Aku Dengar Deru Jiwa
Bagai Badai Mahaghora
Di Nusantara Jaya

Cerah Gilang Gemilang
Harapan Masa Datang
Rukun Damai Mulia
Indonesia Tercinta
Selamat Sejahtera

Gunung Langit Samudera
Ruh Semesta Memuja


Guruh Soekarno Putra

LIRIK diatas ialah lirik dari lagu Indonesia Mahardika dari album monumental GURUH GIPSY Kesepakatan dalam Kepekatan. Hebatnya, lirik ini ditulis berdasarkan inisial nama dari keenam personilnya yaitu Oding Nasution, Keenan Nasution, Chrismansyah Rahadi a.k.a Chrisye, Roni Harahap, Guruh Soekarno Putra dan Abadi Soesman. Kata-kata yang dibold ialah inisial dari keenamnya.

Guruh Gipsy di Mata Pengamat Musik Denny Sakrie



Album Guruh Gipsy
Tonggak Musik Pop Indonesia

oleh Denny Sakrie / KPMI

Bila album Sgt Pepper's Lonely Heart's Club Band nya The Beatles (1967) dianggap sebagai tonggak revolusi musik pop dunia, maka rasanya tak berlebihan bila kita menyebut album Guruh Gipsy (1976) dari Guruh Gipsy sebagai tonggak musik pop Indonesia.

Banyak analis musik yang tersemat di album Guruh Gipsy yang kemudian menjadi semacam miles ahead terhadap kecenderungan bermusik di negeri ini. Seperti perpaduan antara musik Barat (baca: rock atau jazz) dengan musik etnik yang kini dilakukan banyak grup musik seperti Karimata, Krakatau, Discus, Simak Dialog dan banyak lainnya.

Atau simak ballad berbalut orkestra yang kerap dilakukan oleh pemusik-pemusik di masa kini. Uniknya tematik lirik lagu yang tertuang dalam album ini masih relevan dengan kondisi kita sekarang. Padahal rentang waktunya sudah 30 tahun, sejak album Guruh Gipsy dirilis pertamakali pada jelang akhir tahun 1976. Simak penggalan larik lagu Geger Gelgel ini:

Hasrat hati ingin membeber segala perilaku palsu
Degup jantung irama batel bagai derap pasukan Gelgel
Menentang penjajah angkara
Penindas dasar hak manusia
Wahai kawan nyalangkan matamu
Simaklah dalam babad Moyangmu

Atau simaklah perihal kontaminasi budaya yang diungkap dalam lagu Janger 1897 Saka:

Art shop megah berleret memagar sawah
Cottage mewah berjajar di pantai indah
Karya cipta nan elok indah
Ditantang alam modernisasi

Isu arus intervensi budaya Barat yang deras di negara ini jelas terungkap dalam lagu Chopin Larung yang berbalut bahasa Bali:

Sang jukung kelapu-lapu, santukan baruna kroda
Nanging Chopin nenten ngugu
Kadangipun ngarusak seni budaya
(Perahu terombang-ambing ,karena dewa laut murka.
Namun Chopin tiada memahami bangsanya merusak seni budaya)

Pada lagu yang salah satu frasa-nya menyusupkan komposisi klasik Fantasia Impromptu karya Chopin dengan gamelan Bali ini, dikiaskan rasa prihatin Guruh terhadap intervensi budaya asing yang disimbolkan pada Fryderyk Franciszek Chopin, komposer klasik Polandia.

Kolaborasi antara Guruh dengan grup band Gipsy ini bisa dianggap semacam simbiose mutualisme.Guruh yang sangat menguasai budaya Bali bertaut dengan Gipsy, grup rock yang paham pakem rock progresif seperti repertoar dari Genesis, Yes maupun Emerson Lake and Palmer (ELP) yang pernah mereka mainkan. Jadi tak heran dibagian interlude Janger 1897 Saka tiba-tiba menyeruak notasi dari outro lagu Watcher Of The Skies nya Genesis.

Proyek Guruh Gipsy ini didukung oleh Guruh Soekarno Putera (piano,gamelan), Keenan Nasution (drum,vokal), Chrisye (vokal,bass), Roni Harahap (piano,kibor), Oding Nasution (gitar) dan Abadi Soesman (synthesizers). Sebuah eksperimen yang dianggap banyak menghabiskan biaya produksi dan memiliki nilai terobosan yang ambisius. Meskipun sebetulnya menyandingkan dua kultur musik yang berbeda bukan hal yang tak pernah dilakukan orang sebelumnya.

Si 'bengal' Harry Roesli (alm) dan berbagai nama lainnya pernah melakukan hal yang sama. Bahkan di tahun itu baru saja dirilis album eksperimen Bali Agung yang menggabungkan musik rock dan musik tradisional Bali oleh pemusik eksperimentalis Jerman, Eberhard Schoener.

Membaurkan gamelan dan musik tradisional, sebetulnya bukan sesuatu yang baru. Komposer Jean Claude Debussy pun telah melakukan hal tersebut dalam ranah klasik. Juga ada pemusik Kanada Collin McPhee yang sejak era 1930-an telah membuat komposisi yang bertumpu pada seperangkat gamelan bertajuk Tabuh-tabuhan (1934).

Bahkan, Jim Morrison dengan The Doors nya, telah melakukan hal serupa. Pada pada album LA Woman The Doors (1971) termasuk pula album solo Ray Manzarek bertajuk The Golden Scarab hingga Bali Agung Eberhard Schoener (1976).

Tetapi Guruh Gipsy ternyata memiliki pesona tersendiri, karena mereka tak hanya melakukan eksplorasi bunyi belaka melainkan juga pada tema penulisan lirik yang memasuki wilayah kritik sosial. Coba amati sampul album Guruh Gipsy yang menampilkan kaligrafi Dasabayu, berupa rangkaian 10 aksara Bali dengan arti dan makna tertentu pula. Yaitu I-A berarti kejadian dan keadaan, A-Ka-Sa berarti kesendirian dan kekosongan, Ma-Ra berarti baru, La-Wa berarti kebenaran dan Ya-Ung berarti sejati.

Konon, kombinasi ke 10 aksara itu di zaman dahulu kala oleh orang Bali diyakini memberikan tuah. Dan gabungan aksara Bali itu sepenuhnya diterjemahkan sebagai suatu keadaan hampa atau kosong yang nantinya akan berubah menjadi kebenaran yang hakiki. Mungkin kita sepakat, jika menelaah lebih jauh, album Guruh Gipsy adalah sebuah mahakarya. Sebuah karya yang menyita banyak pikiran, tenaga dan pengorbanan dalam proses penggarapannya. Dalam catatan saya, album Guruh Gipsy yang hanya dicetak sebanyak 5.000 keping kaset ini harus melalui masa penggarapan yang sangat panjang dan melelahkan.


Album Guruh Gipsy yang disampul depannya menyertakan tagline: 'kesepakatan dalam kepekatan', memulai masa proses rekaman pada Juli 1975 dan berakhir pada November 1976. Tahap awal proses rekaman berlangsung dari Juli 1975 hingga Februari 1976 dan menggarap sekitar empat lagu, Geger Gelgel, Barong Gundah, Chopin Larung serta sebuah lagu yang belum diberi judul namun akhirnya tidak jadi dimasukkan dalam album.

Tahap selanjutnya berlangsung selama sebulan penuh mulai dari Mei-Juni 1976 dan menghasilkan 4 lagu yaitu Smaradhana, Indonesia Maharddhika, Janger 1897 Saka dan Chopin Larung yang harus direkam ulang karena masalah teknis. Hal serupa juga dialami lagu-lagu lainnya seperti Barong Gundah dan Chopin Larung. Hingga akhirnya tahap terakhir berupa proses mixing yang berlangsung sekitar 5 bulan mulai dari Juli 1976 hingga November 1976.

Menjelang akhir tahun 1976 album Guruh Gipsy pun dirilis. Sebuah karya eksperimen telah lahir. Namun tak semua orang mengenal maupun menikmati karya kolosal ini ketika album ini dirilis ke pasaran. Tapi siapa nyana, 30 tahun kemudian, album Guruh Gipsy menjadi album yang paling banyak dicari-cari orang. Mungkin karena faktor kelangkaannya, album ini pun menjadi topik diskusi dari penggemar musik rock progresif di Eropa, Jepang dan Amerika.

Bahkan beberapa radio yang memutar dan mengapresiasikan musik rock progresif seperti yang dijumpai di Swiss, Belgia hingga Kanada memutar dan mengulas album Guruh Gipsy ini. Dari ukuran industri album Guruh Gipsy memang tidak memenuhi target penjualan, namun dalam pencapaian artistik album Guruh Gipsy bisa dianggap sebagai inspirasi untuk generasi setelahnya. Persis sama dengan album Sgt Pepper's Lonely Heart's Club Band nya The Beatles yang gagal dalam pemasaran,namun dianggap telah mencapai titik revolusi dalam musik pop.

(Republika, 12 Juni 2006)