Sunday, September 23, 2007

Udin Semakin Rindu

Kegundahan kian merajam raga Udin. Kerinduan semakin menguasai jiwa Udin. "Din, jangan ngelamun mulu. Ngapain sih lo??? Mikirin cewek mulu," teriak emak dari balik dapur. Emak pun langsung menggerebek kamar Udin.

Kontan, lamunan Udin buyar. Dewi berparas cantik tiba-tiba berubah menjadi sosok emak. Udin kaget bukan kepalang. Tatkala, dia melihat emak siap sedia menuangkan air ke muka Udin. Bukan dituang, tapi diguyur. Byuuuurr.

Udin kuyup. Baju lepek. Bohong kalo siraman itu tidak membangunkan Udin dari lamunannya. "Apaan sih mak?? Lagi enak mimpiin cewek," ucap Udin. Emaknya tidak mendengar. Bunda yang mengandungnya selama 9 bulan itu ngeloyor pergi.

Memang, si Udin selalu ngelamun semenjak ditinggal kekasihnya. Sang burung pulang ke sangkarnya. Kini jarak menjadi musuh Udin. Kangen menjadi sobat Udin. "Sedang apa dikau kekasih para dewata?? Aku merindukanmu sayang. Asmara kian menggerogoti. Puspa di taman kian layu tanpamu," ratap Udin.

Ternyata, cinta bukan hanya buta. Namun cinta semakin menutupi seluruh inderaku. "Dunia hampa. Aku buta. Pandangan gelap. Hanya ada kau dan cahaya-Nya," tutur Udin. Cinta telah membuai Udin. Dia terlena ke alam indraloka. Lupa akan marcapada.

Untaian Kerinduan

Tepat hari ini, tanggal 22 September 2007, burung itu telah kembali ke sangkarnya. Udin termenung. Meratap. Berharap bahwa dia kan mengurungkan niatnya. Dan, kekasih hati kembali ke Udin. Namun itu hanyalah mimpi.

"Oh Tuhan, persatukan kami kembali. Apa di dunia ini yang bisa membuatnya kembali sebelum pergi? Apa jadinya aku tanpa dia? Dialah yang menghiburku di saat susah? Dialah yang mengingatkanku di saat aku terlena akan harta benda. Hanya dia segalanya ya Tuhan. Gusti Allah," pinta Udin.

Udin mendongakkan kepalanya. Tangannya menengadah ke atas. Tanpa disadari, tangis bercucuran dari kedua bola matanya. Dia menangis. Isak tangis kerinduan. Isak tangis kepasrahan. Dan tentunya, menangis di pangkuan-Nya.

Dunia ini hampa. Tak berudara. Burung-burung pun berhenti berkicau. Orang-orang pun bagai mayat hidup[baca: zombie]. Entah kenapa kondisi ini semakin terungkap usai kau pergi. Hati ini tak bertuan. Menunggu saat dimakan harapan.

"Sepi. Smaradhana pun menggelora. Tanpa pelampiasan. Cintaku jauh. Aku merindukanmu kekasih para dewata. Aku membutuhkan senyum dan rona bibirmu. Sejuta kenikmatan terdapat pada surga di bibirmu, sayang," ucap Udin berharap.

Namun Udin langsung berdiri tegak. Diam sejenak. Menderapkan langkah jemawa. Dada terbuka lebar. Menatap masa depan secara optimistis. "Kondisi ini tak boleh berlarut-larut," kata si Udin.

Udin bertekad untuk mengubah kerinduan dan rasa kangen itu menjadi suatu usaha. Upaya yang bisa menghasilkan sesuatu. Hingga saatnya nanti, aku akan mempersuntingmu wahai kekasih para dewa.

"Tunggulah aku sayang. Saat ini kita memang jauh. Tapi nanti kita bisa bersama. Satu rumah. Tanpa seorang pun mengganggu kita. Aku wujudkan impian kita. Sebuah rumah mungil bertembok kayu. Kelak, kita dan titipan Ilahi akan menghuninya. Tunggu aku sayang," ucap Udin.