Friday, October 24, 2008

Asmara Perdana

Dua bulan telah berlalu. Dia masih berada di sampingku. Menatap indahnya lembayung cinta. Oh rasa ini begitu nikmat. Tiba-tiba teringat di saat aku masih menjadi pendambanya. Aku mencoba mengais cinta seraya dihantui setiap prasangka yang mendera.

Ingat kencan pertama kita? Kau tersipu saat aku menghampirimu. Siang itu di restoran siap saji McDonald Arion, kau menungguku. Sabar dan tanpa raut wajah muram, meski aku terlambat datang. Di sampingmu ada seorang ibu. Aku kira dia ibumu. “Siang tante,” kata aku tanpa basa basi. Kontan kau tertawa.

Aku bingung. Dan sang ibupun kebingungan. Semua bingung. Terang saja, dia bukan ibu kamu. Kau tak henti-hentinya tersenyum. Aku pun merasa bego. Meski bego, aku toh tetap senang melihat rona merah senyum bibirmu. Kebegoan yang nikmat. Mudah-mudahan bisa membekas dihatimu.

Kemana kita setelah itu? Panas terik, kita menunggu bus di halte Arion. Matahari terus melancarkan hawa panas. Tapi kita tetap tersenyum, meski sesekali peluh membasahi wajah dan tubuh. Tujuan kita ke bioskop Megaria. Ada film bagus tentang seorang pembasmi kejahatan berkedok kampret. Judulnya The Dark Knight.

Kuterbuai dalam perjalanan. Di sisi kananmu, aku melihat mobil berlalu lalang. Menatap wajah Jakarta dimana manusia diperbudak oleh kendaraannya. Meski macet dan tersendat, tetap saja mereka melaju dengan kendaraan. Peduli setan. Kita saat itu tengah dipeluk sang smara, kendati belum resmi. Tapi percikan itu terasa sudah.

Ngapain aja di dalam bioskop? Batman beraksi membasmi kejahatan di Kota Gotham. Filmnya seru. Tapi aku lebih nikmat memandangmu. Kau lebih indah dibanding film yang bagus sekalipun. Mencoba membuka wacana. Namun engkau tengah konsentrasi melihat Batman yang tengah melawan si pelawak keji, Joker.

Mmmh berkali-kali aku mendengus. Malu terus menghantui. Jangankan cium, bicara saja susah. Berat melontarkan kata. Lidah terasa kelu. Tapi dengan terbata-bata, aku bisa membuka mulut. “Filmnya bagus ya,” kata aku berupaya melepehkan ganjalan di mulut ini. Dan kau menjawab dengan suara yang halus dan indah. Oh nikmatnya cinta.

Terus? Film telah usai. Penonton keluar beramai-ramai. Ingin terus duduk disini. Hanya berdua dengan kamu. Tapi itu mustahil. Aku pun turut bertolak keluar. Kita duduk di tangga megaria. Menikmati indahnya sore hari seraya diiliputi awan asmara. Kita berbicara. Dan sang smara pun menaburkan benih-benih cinta.

Obrolan mengalir begitu saja. Tanpa tersendat. Bagai melaju di jalan tol. Di antaranya wacana tentang musik. Aku bercerita tentang kisah percintaan antara vokalis kharismatik nan kontroversial The Doors, Jim Morrison dan kekasihnya, Pamela. Kau mendengarkan dengan seksama. Begitu pula saat kau berkisah. Aku menyimak dengan terpana seraya menatap ayu wajahmu.

Tanpa terasa Sang Surya telah memejamkan matanya. Menyimpan cahaya hingga fajar tiba. Pulang. Itu yang terlontar dari benakku. Dan kau pun mengamininya. Sulit menanggalkan hari ini. Kangen masih menggelendoti. Enggan lepas dan terus menghujam jantung. Aku tak ingin berpisah darimu, meski hanya sekejap. Tapi aku yakin. "Esokkan masih ada," ucap Utha Likumahuwa.

Dan kisah ini pun akan terus berlanjut. Hingga kapan? Aku tak tahu. Namun aku senantiasa berharap dan menaruh asa.

(RAS/251008)

Tuesday, October 21, 2008

Dan Rindu Pun Tiba

Lepas hari berganti malam
Kidung membahana mengisi sukma
Yang tersayang menuai rinduku
Tak terbendung hingga sua kan tiba