Thursday, October 13, 2011

Ketika Sangkar Tua Kupijak

Tercium hawa kerinduan. Kala, kupijakkan kaki di tempat ini. Tempat berisi ribuan kenangan masa silam. Pahit dan getir, namun tersirat kebahagiaan nan tersembunyi dan mengendap selalu. Wanginya tetap sama, meski telah kutinggalkan.

Rona merah para punggawa di sana. Berjibaku dengan tekanan yang begitu tinggi. Terkadang, terlontar kegundahan dan keresahan. Sebuah ekspresi dari kepenatan yang terus menerus mendera batin.

Izinkan aku untuk menjejakkan kaki di sini, wahai teman. Aku hanya mampir, seraya menanti kepenatan ini sirna ditelan waktu. Ya, waktu adalah tempatku bertumpu. Bukan aku meniadakan-Nya, toh waktu adalah ciptaan Tuhan.

Duduk di tempat ku bekerja. Menghadapi layar yang senantiasa menyala, menemani para elang penghuninya. Suara irama tuts yang menuai kerinduan. Canda tawa yang dulu sempat kudengar tanpa henti, kini masih seperti kisah silam.

Tidak ada tempat senyaman ini. Rumah kedua yang sempat kudiami. Kini kutinggalkan demi cita dalam diri. Perangaiku pun tak berubah, kendati wajah mengerut dan waktu menerkam usiaku, hingga kini.

“Terpaku di depan layar, seraya mendengarkan Antonio Carlos Jobim menyenandungkan lagu cinta,”

(ras/13102011)

Tuesday, October 11, 2011

Penabuh Taiko dari Pesisir Pantai

“Nama saya Syarifuddin. Panggil saja saya Udin,” tukas Udin, si anak nelayan Kali Baru, Cilincing. Badannya kurus, dibalut kulit berwarna hitam legam. Siang itu, dia memakai baju lusuh berwarna biru tua, dan celana panjang seragam SMA.

Kutemui dia beberapa hari silam. Saat itu, aku tengah menemani rombongan storyteller dari sebuah sekolah terkemuka di bilangan Jakarta Selatan. Mereka menyambangi perkampungan nelayan di Kali Baru dan membacakan cerita kepada anak-anak di sana.

Terletak di pesisir pantai, perkampungan itu terbilang kumuh. Bau amis menyelimuti seantero kampung. Maklum, perkampungan itu menjadi rumah bagi para pencari ikan dan pengupas kerang. Tampak, kulit kerang hijau bertebaran di mana-mana.

Jeprat-jepret. Suara kameraku terdengar lirih, tenggelam dalam suara deburan ombak dan canda tawa bocah nelayan. Suara itu tampaknya menuai perhatian mereka. Terlebih saat kumenggunakan blitz, sepasang mata mereka pasti tertuju ke arah lensa.

Di tengah momen tersebut, aku temukan Udin. Dia menemaniku menjelajahi kampung. Aku pasti tersesat jika tidak ada yang memandu. Sebab, perkampungan itu bagaikan labiri, gampang masuk tapi susah untuk mencari jalan keluar.

“Kelas berapa lo Din?” tanyaku

“Saya baru kelas 1 SMA bang. Tapi, saya aktif di organisasi bang. Saya juga suka sama taiko. Itu lho, alat yang kayak bedug, tapi dari Jepang,” jawab Udin, dengan logat Jawa kental.

Memang, Udin aktif di organisasi. Bukan hanya di sekolah, tapi juga di luar sekolah. Meski masih bocah, dia terdaftar sebagai relawan di HOPE Worldwide Indonesia, sebuah LSM yang bergerak di bidang pendidikan anak-anak kurang mampu.

“Wiih, lo suka taiko? Jarang-jarang ada orang yang suka Taiko,” ujarku, penasaran.

“Justru karena itu bang, saya suka. Makin jarang yang suka, makin gemar saya sama hal tersebut. Lagipula, sepertinya belum ada anak nelayan yang bisa menggebuk gendang Taiko. Kayaknya, Cuma saya doang ya bang,” tandas Udin, sambil terbahak-bahak.

Dibalik tawa Udin, tersimpan luka yang cukup menganga. Belum lama ini, bagang atau lahan tempat ayahnya mencari ikan digusur oleh pemerintah. Apa sebabnya? Udin pun tak tahu. Yang dia tahu, kini bapaknya dirundung kesulitan cukup tajam.

Darimana aku tahu? Udin yang menceritakannya, ketika dia mengantarkanku menjelajahi kampung. Paham betul anak itu dengan lika liku perumahan di sana. Tidak ada satu jalan pun yang dia tak tahu. Bahkan, hampir semua penduduk mengenal Udin.

“Bapak nelayan. Yah, berapa sih penghasilan nelayan? Tapi bagaimanapun juga saya mau kuliah. Dan saya enggak mau minder, hanya karena saya anak nelayan. Untungnya, perekonomian keluarga dibantu kakak yang sudah bekerja,” terang Udin.

Angin menerpa di pesisir pantai. Kekumuhan dan kemiskinan meraja lela. Nun jauh di sana, terparkir kapal raksasa berisi puluhan kontainer. Kapal tersebut tengah bersandar di bibir dermaga, tak bergerak meski ombak berdebur mengamuk.

Aku melihat sekelompok muda-mudi tengah duduk di bibir pantai. Mereka menikmati terpaan angin yang menurutku sangatlah kencang. Hebat mereka, tak gentar jikalau angin merasuki tubuh (masuk angin). Mereka tetap tegap, tak seperti nyiur yang melambai.

Waktu menunjukkan pukul 15.00 WIB. Saatnya, rombongan storyteller kembali ke peraduan. Bus, yang terparkir di krematorium, menunggu kedatangan rombongan. Ini menjadi akhir perjumpaanku dengan Udin, bocah nelayan penyuka Taiko.

Sebelum pulang, aku sempat bercengkerama dengan petugas satpam penjaga krematorium. Banyak informasi yang kudapat mengenai kehidupan nelayan di Kali Baru, terutama anak-anak mereka. Beragam cerita dari mereka pun kuserap dengan seksama.

“Jangan mikirin pendidikan, mikirin kehidupan pun mereka tidak sempat. Dan kebanyakan anak-anak di sini minder, karena predikat mereka sebagai anak nelayan. Palingan kalau ada yang semangat, bisa dihitung dengan jari,” tandas Pak Satpam.

Apa yang terbersit di benakku? Udin ternyata merupakan satu dari segelintir anak tersebut. Secuil kehidupan yang tidak merasa jatuh, meski predikat anak nelayan tersemat di seluruh raganya. Udin tetap semangat, meski laut menjadi ladangnya mencari ilmu.

(ras/11102011)

Thursday, October 6, 2011

jauh

hari ini, setahun lalu
siapa aku? siapa kamu?
kini, jiwa lepas menjauh
tanggalkan jubah rindu

(ras/07102011)