Monday, July 9, 2012

Pemilukada dan Demokrasi yang Tercoreng

Pemilukada tinggal menghitung hari. Warga Ibu Kota mulai sibuk mempertimbangkan "apa yang akan saya pilih pada Pemilukada kali ini?" Namun, pertimbangan itu diiringi kekecewaan mendalam. Pasalnya, Gubernur yang dulu terpilih tidak berbuat apa-apa untuk warganya. Sang "Ahli" hanya sibuk mengumpulkan pundi uang serta memanfaatkan pengawalan aparat untuk berpelesir keliling Jakarta.

Tengok saja, apa janjinya ketika kampanye dulu? Orang yang menyebut dirinya "ahli" itu pernah mempertaruhkan jabatannya demi membuat Jakarta bebas macet dalam kurun waktu 100 hari. Tapi, apa buktinya? Jakarta tetap dipadati kendaraan, bahkan semakin parah. Sedangkan, sang gubernur masih berada ditampuk kepemimpinan.

Lalu, apa alasannya? Dia hanya berkata butuh waktu lebih dari 100 hari untuk mengatasi kemacetan di Ibu Kota. Dan, sang "ahli" pun dengan gampang tersenyum dan berleha-leha di kursi kepemimpinan. Sementara, para penagih janji dibuat bungkam. Kelu. Mereka hanya bisa menerima keadaan dan dibuat berpikir bahwa mustahil menghilangkan kemacetan di Jakarta.

Ada pula, dia pernah berjanji untuk mengatasi banjir yang menjadi masalah terbesar di Jakarta, selain kemiskinan dan kemacetan. Tapi, apa buktinya? Banjir masih menggenangi Jakarta. Suatu waktu, ketika dia diwawancarai di jembatan penyeberangan di Jakarta, sang "ahli" hanya berkata "itu salah warga, kenapa buang sampah sembarangan."

Ironis, seorang gubernur menyalahkan warganya. Padahal, bebas banjir merupakan bagian dari kampanyenya. Bahkan, dia bisa mengklaim bahwa dia adalah "ahli"-nya dalam mengatasi banjir. Seharusnya, sebagai pemimpin, dia menggandeng warga dan memberikan penyuluhan kepada mereka dengan sabar. Bukan menyalahkan para warga.

Ada satu pernyataan "bodoh" yang dia lontarkan terkait banjir ini. Ketika itu, dia ditanya oleh wartawan terkait persoalam menahun ini. Lalu, dengan polosnya, dia berkata "yah kalau bisa, air laut jangan naik lagi lah." Setahu saya, hanya Tuhan yang sanggup berbicara kepada alam ciptaan-Nya. Dan, dia menyuruh laut untuk tidak pasang. Hebat nian!

Sikap temperamen dan bodoh itu juga ditunjukkan saat sang "ahli" menjabat sebagai wakil gubernur. Ketika itu, seorang pewarta tengah melakukan telewicara dengan dia. Latar belakangnya adalah lokasi banjir di Kampung Pulo. Entah apa yang ditanyakan sang pewarta, sehingga dia naik pitam. Yah, belum jadi pemimpin saja sudah menunjukkan sikap tidak sabar.

Semoga warga Jakarta bisa menggunakan akal sehat dalam memilih gubernur. Ini meski beberapa kali, masyarakat dikecewakan dengan pemilihan yang didominasi oleh kepentingan partai dan golongan. Saya bilang, pemilihan ini bukanlah milik rakyat. Ini adalah demokrasi untuk golongan dan partai, bukan untuk rakyat.

Banyak hal yang dilakukan oleh para calon gubernur selama kampanye. Anehnya, di setiap kampanye, mereka tengah bercengkerama dengan kaum papa. Tampak pula, mereka menggendong bayi yang kelaparan maupun penyandang disabilitas. Sehina itukah rakyat? Sehingga, para cagub "menjual" mereka demi kepentingan kampanye.

Menurut saya, kampanye adalah pembodohan massal. Sebuah utopia yang takkan terwujud. Fantasi ganjil yang terpapar hanya sesaat. Sikap pesimistis ini sudah melalui beberapa kali proses optimistis. Sehingga, saya memilih untuk pesimistis. Karena apapun yang saya pilih, kaum golongan dan partailah yang menang. Lalu, buat apa kita memilih.

Saya menghalalkan golongan putih. Karena, putih adalah suci. Bukan tidak ingin turut andil dalam proses demokrasi ini, tapi saya sudah bosan dengan proses demokrasi yang berjalan tidak semestinya. Saya tidak menyalahkan Jakarta, karena Jakarta hanyalah sebuah lokasi. Tapi, saya menyalahkan orang yang tidak bisa membina dan merawat Jakarta sebagaikmana mestinya.

Semoga yang terbaik yang menang. Sekian.

REN

Wednesday, June 20, 2012

Kisah Unik Seputar Patung Pancoran

Jika melewati jembatan Pancoran, Jakarta Selatan, Anda bakal menemui tugu melengkung yang dihiasi oleh sebuah patung di atasnya. Ya, namanya adalah Patung Dirgantara, namun masyarakat lebih mengenalnya dengan sebutan Patung Pancoran--karena lokasinya berada di bilangan Pancoran.

Namun, tahukah Anda? Ada kisah unik dibalik pembuatan patung tersebut. Ya, Patung Dirgantara di bundaran Jalan Jenderal Gatot Subroto itu dibuat berdasarkan rancangan Edhi Sunarso, dikerjakan oleh pematung keluarga Arca Yogyakarta pimpinan Edhi Sunarso.

Ide pertama pembuatan patung itu datang dari Presiden RI Pertama, Ir. Soekarno yang menghendaki agar dibuat sebuah patung mengenai dunia penerbangan Indonesia atau kedirgantaraan. Patung ini menggambarkan manusia angkasa, yang menyimbolkan semangat keberanian bangsa Indonesia menjelajah angkasa.

Pada awalnya pembuatan patung itu, Bung Karno sendirilah yang menjadi modelnya. Sebelum maket patung dikerjakan oleh Edhi Sunarso, Bung Karno berulang kali memperagakan bagaimana model patung itu harus berdiri. Dan, biaya pemasangan patung ini berasal dari kocek pribadi Bung Karno dengan menjual sebuah mobil pribadinya.

Proses pemasangan Patung Dirgantara selalu ditunggui oleh Bung Karno. Alhasil, kehadirannya selalu merepotkan aparat negara yang bertugas menjaga keamanan sang Kepala Negara.

Alat pemasangannya pun sederhana saja: dengan menggunakan Derek tarikan tangan. Patung yang berat keseluruhannya 11 ton tersebut terbagi dalam potongan-potongan yang masing-masing beratnya 1 ton.

Patung ini terbuat dari bahan perunggu. Berat patung tersebut 11 ton dengah tinggi 11 meter. Sementara tinggi voetstuk (kaki patung) 27 meter, dikerjakan oleh PN Hutama Karya dengan Ir. Sutami sebagai arsitek pelaksana.

Ada pula isu menarik seputar Patung Pancoran. Konon, patung itu menunjuk sebuah tempat dimana Bung Karno meletakkan harta kekayaannya. Dan, harta itu dipercaya dapat melunasi utang-utang negara.

Selain itu, beberapa orang menceritakan bahwa patung ini menghadap ke sebuah Pelabuhan Sunda Kelapa. Nah, selama masa penjajahan Belanda, pelabuhan tersebut menjadi jantung peradaban bangsa Indonesia.

Potret Sejarah Tanah Abang

Apa yang Anda temukan ketika melewati bilangan Tanah Abang? Nadi perekonomian yang tak henti-hentinya berdetak. Keramaian yang tak kunjung selesai, terlebih ketika musim liburan datang. Kawasan tersebut menjadi salah satu jantung perekonomian warga Jakarta. Ingin berburu baju, oleh-oleh, atau pernak-pernak lainnya? Tanah Abang lah tempatnya.

Namun, tak jarang pula yang mengetahui kawasan Tanah Abang adalah salah satu wilayah yang cukup tua di Jakarta. Ada dua pendapat mengenai asal mula nama Tanah Abang. Pertama, dihubungkan dengan penyerangan Kota Batavia oleh pasukan Mataram pada tahun 1628. Serangan dilancarkan ke arah kota melalui daerah selatan, yaitu Tanah Abang.

Tempat tersebut digunakan sebagai pangkalan karena kondisinya yang berupa tanah bukit dengan daerah rawa-rawa dan ada Kali Krukut di sekitarnya. Karena tanahnya yang merah, maka mereka menyebutnya “tanah abang” yang dalam bahasa Jawa berarti merah.

Kedua, adanya pendapat yang mengartikan Tanah Abang dari kata “abang dan adik”, yaitu dua orang bersaudara kakak dan adik. Karena adiknya tidak mempunyai rumah, ia minta kepada abangnya untuk mendirikan rumah. Tanah yang ditempati disebut tanah abang.

Nama Tanah Abang mulai dikenal ketika seorang kapten Cina bernama Phoa Bhingam minta izin kepada Pemerintah Belanda untuk membuat sebuah terusan pada tahun 1648. Penggalian terusan dimulai dari arah selatan sampai dekat hutan kemudian dipecah menjadi dua bagian, daerah timur sampai ke Kali Ciliwung dan ke arah Barat sampai Kali Krukut.

Terusan ini bernama Molenvliet dan berfungsi sebagai sarana transportasi untuk mengangkut hasil bumi dengan menggunakan perahu ke arah selatan sampai dekat hutan. Adanya Molenvliet memperlancar hubungan dan perkembangan daerah kota ke selatan.

Bahkan jalan-jalan yang berada di sebelah kiri dan kanan terusan itu merupakan urat nadi yang menghubungkan Lapangan Banteng, Merdeka, Tanah Abang, dan Jakarta Kota.

Daerah selatan kemudian muncul menjadi daerah perkebunan yang diusahakan oleh tuan tanah orang Belanda dan Cina. Jenis perkebunan yang diusahakan antara lain kebun kacang (saat itu minyak kacang merupakan bahan komoditi yang laris), kebun jahe, kebun melati, kebun sirih, dan lainnya yang kemudian menjadi nama wilayah sampai sekarang.

Karena melimpahnya hasil-hasil perkebunan di daerah tersebut mendorong Justinus Vinek untuk mengajukan permohonan mendirikan sebuah pasar di daerah Tanah Abang dan Senen. Setelah mendapat izin dari Gubernur Jenderal Abraham Patras pada tanggal 30 Agustus 1735, Vinck membangun dua pasar, yaitu Pasar Tanah Abang dan Pasar Senen.

Peranan Kali Krukut pun makin penting sebagai tempat berlabuhnya perahu yang memuat barang-barang yang akan djual ke Pasar Tanah Abang. Selain digunakan sebagai sarana transportasi, Kali Krukut juga digunakan untuk keperluan sehari-sehari penduduk. Untuk menjaga kebersihan dan mencegah banjir, Pemerintah Belanda membuat pintu airpada tahun 1917.

Di bawah kekuasaan penjajah penduduk Tanah Abang juga tidak tinggal diam. Pernah terjadi pertempuran antara pasukan Belanda dengan penduduk daerah Tanah Abang di Kampung Karet dekat kuburan. Waktu itu Belanda mencoba menduduki kantor cabang polisi supaya Tanah Abang terputus hubungannya dengan daerah-daerah lain.

Wilayah Tanah Abang meliputi Kelurahan Kampung Bali, Kebon Kacang, dan Kebon Melati. Tetapi yang menjadi inti Kampung Tanah Abang adalah di sekeliling Pasar Tanah Abang. Asal mula nama Kampung Bali berawal dari banyaknya orang Bali yang tinggal di sana.

Pada waktu itu pemerintah Belanda memberikan pangkat kapten kepada kepala kelompok suku-suku bangsa yang ada di Batavia. Sehingga muncul nama Kampung Bali, Kampung Bugis, Kampung Melayu, Kampung Ambon, Kampung Cina, dll.

Bahkan menjelang akhir abad ke-19 banyak orang Arab yang menghuni wilayah ini. Di tahun 1920 jumlahnya mencapai 13.000 jiwa. Untuk memenuhi kesukaan orang-orang Arab makan daging kambing, Pasar Tanah Abang pun makin ramai melayani keperluan kambing.

Ada juga suatu daerah yang disebut Kombongan. Dulu tempat ini dipakai kusir saldo dan delman untuk beristirahat sambil memberi makan kudanya. Makanan kuda itu diletakkan di sebuat tempat yang disebut kombongan, yaitu alat (wadah) yang bentuknya bulat, terbuat dari batu dan semen.

Tidak jauh dari pangkalan-pangkalan saldo dan delman, terbentang perkebunan pohon jati yang luas. Penduduk di sekitarnya menyebut daerah itu Jatibaru. Nama Kebun Dalam berasal dari sebuah kebun milik tuan tanah Cina, Tan Hu Teng yang agak menjorok ke dalam. Nama Tanah Rendah, karena tanahnya agak rendah dan letaknya berdekatan dengan Kali Krukut.

Wednesday, June 6, 2012

Anonim

Ketika hari tertiup bayu
Aku pandangi wajahmu
Tanpa senyum merindu
Hanya ada untaian kalbu

Kini, kau nun di sana
Dalam pelukan waktu
Geliat surga bergembira
Tapi, neraka bagiku kini

Aku merindukan wajah itu
Senyum dingin, mata sayu
Ketika kau tidak melirik
Hanya hatiku nan bergidik

Tuesday, June 5, 2012

Komunitas Jelajah Budaya

Modernisasi menggerus seni budaya dan sejarah Jakarta. Alhasil, keduanya kurang diapresiasi masyarakat, bahkan cenderung telantar. Berangkat dari keprihatinan ini, berdirilah Komunitas Jelajah Budaya. Diprakarsai pada 17 Agustus 2003, komunitas ini ingin menjawab keresahan masyarakat atas kurangnya informasi sejarah Jakarta.

"Dulu pemrakarsa KJB berpikir, kita kini tinggal di Jakarta, tapi nggak tahu banyak bahkan buta sejarah Jakarta. Jadi, keprihatinan ini muncul dan mendorong kita bisa menumbuhkan perhatian dan apresiasi atas kekayaan warisan bangsa. Sebab, bagaimana mungkin apresiasi tumbuh, kalau tidak tahu akar sejarah," tutur Kartum Setiawan, penggerak KJB sekaligus peneliti di Museum Mandiri kepada Warta Kota, belum lama ini.

Warisan budaya yang dimaksud Kartum, di antaranya seni, budaya, bahasa, ilmu dan teknologi, bangunan bersejarah yang menjadi Bangunan Cagar Budaya (BCB), termasuk peristiwa dan tokoh-tokohnya. Keprihatinan itu kian nyata tatkala memudarnya ciri-ciri budaya. Padahal, itu sebagai karakter etnik dan suku bangsa kita di tengah imbas globalisasi.

Sejak KJB berdiri, mulai muncul berbagai pertemuan. Isinya adalah kegiatan diskusi. Dalam waktu dua tahun, diskusi itu berkembang. Bahkan, mereka yang merasa antusias untuk mengembankan KJB. Bukan hanya diurus oleh para pemrakarsanya, yakni kalangan mahasiswa dan sarjana di bidang Sejarah dan Arkeologi. Berbagai kelompok dan individu dari lintas disiplin dan ilmu pun bergabung.

Kini, tutur Kartum, anggota KJB di dunia maya, terutama di jejaring sosial, menyentuh angka 3.600 orang. "Kalau di Facebook, jumlahnya terus bertambah. Malah, nggak pernah turun," tutur Kartum. Sedangkan, anggota aktif KJB berjumlah lebih dari 50 orang.

Saban bulan, KJB selalu memiliki program. Bahkan, kata Kartum yang menjadi motor acara jalan-jalan KJB, mengatakan seringkali satu bulan mereka menjalankan tiga kegiatan sekaligus.

"Seperti bulan ini, misalnya, kita punya tiga program. Selain ke Istana Negara, juga ke Kota Tua, dan tempat peninggalan sejarah lainnya," ungkap Kartum. Dia pun menyebutkan bahwa target utama Jalan-Jalan KJB adalah melakukan lawatan ke museum, situs peninggalan dan Kota Tua.

Komunitas Jelajah Budaya
Jalan Lapangan Stasiun No. 1 Jakarta-Kota
Kontak: 0817 9940 173
E-mail: kartum_boy@yahoo.com
jelajahbudaya.blogspot.com

Thursday, May 31, 2012

Dan, Kisahmu Mengalun

Segelas es teh manis, dan sebatang rokok mengawal penantianku. Tak hanya itu, keduanya pun menjadi pelipur lara ketika mentari bersinar menyengat yang senantiasa memancing peluh keluar dari sarangnya seraya membasahi hampir seluruh sela-sela tubuh. Saat asap mengepul, tiada nan bisa membedakan dengan hawa dingin dari batu es.

Di sebuah Warung Tegal—sebuah franchise asli Indonesia yang berada di seluruh pelosok kota--, aku duduk di belakang meja makan. Namun tak ada yang teronggok di sana, selain segelas es teh manis, dan sebuah asbak yang sarat dengan abu rokok. Raga ini menghadap di depan kaca. Tatapanku tertuju pada lalu lalang kendaraan di satu kampus di bilangan Kemanggisan.

“Aku menunggu seorang malaikat yang akan turun ke bumi. Tuhan telah mengizinkannya untuk mengisi senja bersamaku. Namun, Dia berpesan agar aku tidak membawanya terlalu jauh, dan memulangkan malaikat itu tepat waktu. Tidak larut malam pula,” ungkapku kepada kertas di sebuah buku kecil yang selalu kubawa kemanapun kupergi.

Waktu menunjukkan pukul 15.30 WIB, namun langit masih cerah. Tidak ada tanda-tanda dirinya hendak melayang menyambangi jejak di peraduan Ibu Pertiwi. Sedangkan, aku melihat Semesta tengah bergumam seraya menatap kalender dinding yang menunjukkan “Sabtu, 26 Mei 2012.” Sembari melamun, Dia menggulirkan waktu. Buana pun bergerak, berotasi.

Tak seberapa lama, dia datang. Tanpa sayap, berbalut pakaian berwarna merah muda, celana jeans abu-abu dan sepatu putih yang mampu menuai pandangku. Tak lupa, aku membayar minuman. Kala bertransaksi dengan sang penjual yang kental berbahasa Tegal, pandangku tak bisa lepas darinya. O, Tuhan. Sudah lama aku tak memandang dia sedekat ini.

“Mau kemana kita?” ucapnya kepadaku, tanpa sedikitpun senyum yang tersungging di bibirnya. “Lihat saja nanti,” kataku sambil tertawa, seraya memancing agar senyum itu merekah indah. “O, kejutan lain ya. Kamu banget,” ungkapnya, masih tanpa bibir yang ujung-ujung tak bergerak ke atas sama sekali. Wajah itu, o, dingin itu. Tapi, itu yang buatku terbuai.

Sepeda motor melaju meniti jalan yang penuh dengan berbondong-bondong manusia. Maklum, inikan malam minggu (mengutip dari sepenggal lirik lagu dangdut koplo). Gelombang pergerakan mereka bagaikan ombak yang menerjang menuju pantai. Aku dan sepeda motorku terombang-ambing kesana-kemari. Tak ada bedanya Sabtu dan hari-hari biasa.

Diam, sepanjang jalan aku hanya mendengar suara jangkrik yang membelah di selasar otakku. Sembari menyetir, aku mencari topik-topik yang hendak aku lontarkan. Alhasil, tak ada suara lain, selain bising kendaraan berpolusi Ibu Kota. Ya, aku dan dia terdiam. Entah apa yang kami pikirkan. Hanya sesekali aku berbicara dengannya. Sisanya, hanya diam menghiasi.

Sepanjang jalan, hatiku tak hentinya tersenyum dan bernyanyi. Seolah, aku tak ingin hari ini berakhir. Begitulah rapal doaku kepada Sang Pencipta. Lagu You Gave Me The Answer dari Paul McCartney & Wings pun mengalun lembut. Sendu jiwa. “Heading back to old familiar places. Places where the cobwebs blow away. I can forget the airs and graces.”

Singgah sejenak di Masjid Sunda Kelapa. Memarkirkan sepeda motor, sekaligus menunaikan ibadah. Setelah itu, “Sekarang kita kemana?” ungkapnya kepadaku. Kini bibir itu mulai bermurah hati untuk tersenyum. “Maaf aku menculikmu lagi. Tempatnya di belakang masjid ini kok. Bisa dijangkau dengan berjalan kaki kok,” kata diriku menyambut senyuman yang secuil itu.

Senja menegur setiap manusia yang menyapanya. Kemudian, senja balik menyapa mereka dengan pelukan yang penuh kehangatan berisi sinar mentari yang muram dan wangi daun yang meranggas menyentuh tanah basah. Jalan setapak pun jauh dari gersang usai diusap mentari siang yang terlampau tegas kepada mahluk bumi, dan membuat mereka bersimbah peluh.

Kawasan Menteng, Jakarta Pusat, cukup ramai dengan mobil yang lalu lalang. Mereka termasuk ke dalam gerombolan manusia yang hendak menikmati malam minggu. Tak jarang pula yang menggunakan sepeda motor. Berupaya melawan dinginnya hawa malam nanti dan muramnya cuaca senja demi ritual yang digandrungi sejak para tetua kita masih muda.

Aku dan dia menuju sebuah taman. Taman Surapati, namanya. Tak berubah, taman itu masih dihiasi dengan pohon-pohon besar yang mengelilingi taman, selain parit tempat tongkrongan jejaka muda. Senja itu, taman sarat dengan manusia. Ada yang berpasangan, ada yang bersama rombongan keluarga, ada pula yang sendiri demi sejentik insipirasi.

Kami duduk sebuah pelataran taman, menghadap ke gedung seraya menatap lembayung menghiasi petang ini. Tidak jingga seperti biasa, namun biru muda. Warna yang sama ketika langit berucap siang, tapi dengan hawa yang berbeda. Lebih hangat, tidak panas. Aku menatapmu sejenak. Tak henti, aku berterima kasih kepada suasana yang merencanakan skenario ini.

Sesosok wajah yang kerap membelakangiku, kini berdiri di depanku. Suara yang sayup-sayup dulu kudengarkan dari balik sekat kaca, kini terdengar jelas di telingaku. Aku merindukan cerita itu, ceritamu. Seperti kata Yes dalam lagu Wonderous Stories. “I beg to leave to hear your wonderous stories. Beg to hear your wonderous stories.”

“Aku senang mendengarkan cerita-ceritamu, baik itu tentang masalah dunia, keluarga, hingga dirimu sendiri. Rindu inilah yang memaksaku untuk berbicara denganmu. Untuk memancing agar cerita-cerita itu mengalir dari bibirmu. Bagaikan nyanyian yang teralun dari sebuah alat musik harpa. Penuh kerinduan dan kesenduan,” tuturku kepadanya.

Dengan wajah yang menuai banyak pikiran, dia pun berkata “mengapa kamu suka dengan cerita-ceritaku? Bukankah itu hanya cerita biasa?” Aku melihat senyuman di wajahnya. O, Tuhan. Terima kasih karena Engkau telah menggerakkan bibir itu. Dengan senyum itu, seluruh dunia akan menyambutnya dengan rasa suka cita.

“Tak semua hal memiliki alasan. Banyak pula kejadian yang tidak membutuhkan alasan untuk mencernanya. Pun demikian dengan kegemaran dan kerinduanku terhadap ceritamu. Cerita itu membuatku terus ingin menyimak, bagaikan seorang anak yang mendapatkan dongeng dari ibunya. Terlebih, cerita itu mengalir dari seorang yang tak biasa di mataku,” pungkasku.

Seolah suasana mencair. Tak ada lagi gumam di hati, tawa ceria mencuat di tengah taman, meski tak menganggu manusia lainnya. Obrolan pun mengalir dari yang serius hingga tidak serius. Entah kenapa hal seperti ini yang aku rindukan pula. Suasana nyaman, dengan seorang yang tepat untuk mendengarkan cerita itu. Tanpa beban, dan bisa menjadi diri sendiri.

Momen ini diabadikan oleh manusia-manusia di sekelilingku dengan rimbunnya obrolan di antara mereka. Penjual minuman pun tak kugubris saat menawarkan dagangannya. Bahkan, bebunyian orkestra taman tidak membuat telinga ini bergeming. Aku terus menyimak cerita itu. Dia pun senantiasa bernyanyi lagu yang sarat keindahan dan juga nestapa.

Cerita itu mencapai titik sendu, ketika aku melihat matanya. Beribu pikiran dan masalah tercermin dari balik indahnya bola mata itu. Seakan, mata itu selalu membasah ketika dia bercerita. Dari balik tawanya yang tersempil di antara cerita-cerita itu, aku merasakan kesedihan dan kemuakkan terhadap dunia yang mengelilingi. Yah, mungkin itu hanya sebuah intuisi semata.

Pandangannya nanar, meski cerita itu tengah mencapai babak kebahagiaan. Sebuah utopia, dunia impian, tercermin dari matanya. Seluruh kesedihan dan kebahagiaan terbungkus oleh raga yang selalu bersikap dewasa dalam setiap perilaku. Konflik batin dan pikiran-pikiran menerawang tersimpan rapat di dalam selasar otaknya. Dia tegar menghadapi dunia yang mengitarinya.

“Itulah yang membuatku mencintaimu. Kau berada di dunia yang tidak semestinya. Tapi, tidak menyerah dan bertahan. Itulah yang kau lakukan selama ini. Seperti diriku yang mendambakan sebuah utopia, dunia impian, di dalam kondisiku yang diliput nestapa. Dan, kegetiran itu aku tutupi dengan senyuman,” ujar diriku di dalam hati.

Aku melihat semuanya. Bukan dari cerita-cerita itu, tapi dari caranya menuturkan kisah itu. Ketika berbicara, beberapa kali aku melihat dia terdiam. Dengan mata yang berputar, dia memikirkan sesuatu. Entah apa itu. “Aku memang seorang pemikir. Aku selalu berpikir tentang apapun,” ujarnya kepada diriku seraya kembali terdiam.

“Nothing is real.” Kalimat itu disematkan The Beatles dalam lagu Strawberry Fields Forever. Tidak ada yang nyata, ketika aku mendengarkan apa yang diucapkannya. Aku hanya membaca tanda-tanda untuk mengetahui cerita di balik kisah-kisah itu. Karena dengan begitu, aku berharap bisa mengenal dirinya, lebih dari apapun. Bukan hanya sekadar dari kata-kata yang teruntai.

“Sudah lama, kita tidak mengobrol seperti ini. Sejak 4 Maret 2012, ketika itu aku terakhir berbincang denganmu di sebuah rumah makan vegetarian,” ujarku. “Kamu masih ingat saja,” tandas dirinya setengah tersenyum. “Aku bukan pengingat yang baik, bahkan cenderung pelupa. Entah kenapa, momen denganmu selalu melekat di otak ini,” jawabku.

“Lama juga kau mengacuhkan aku. Membuatku memohon kepada Sang Pencipta. Sejak kisah-kisah itu bergulir, malam itu dan saat aku menyatakan cinta kepadamu. Lalu kau mengacuhkan aku. Hingga kini, aku bisa mengatakan semua di depanmu, dan melihat wajahmu sedekat ini. Selama ini, aku hanya bisa menatap jauh punggungmu yang membelakangiku,” ungkapku, tersenyum.

“Iya, berterima kasihlah kepada kebodohanmu. Kebodohan yang menyebabkan raga ini enggan menggubris dan mengacuhkan dirimu,” ujarnya seraya menatap langit yang nampak mulai menggelap dan kemudian dia tertawa. Entah mengapa, aku senang mendengar tawa itu. “Inilah cinta, nona. Seluruh tubuh manusia tak lebih diselimuti kebodohan,” tandasku.

Dan, aku tak henti melihat mata itu, senyum itu. Seolah, dia mengetahui bahwa tak ada wanita yang membuat aku seperti ini, kecuali dirinya. Seakan dia tahu, hati ini telah terbelah, dan setengahnya aku berikan kepada dia. Aku tak lebih sesosok jiwa yang pincang dan mudah letih, bagaikan manusia yang diambil sebagian fungsi tubuhnya. Itulah aku, kini.

Sinar mentari yang redup, kini padam sama sekali. Bergantian, bulan naik ke pangkuan malam. Berkedip bintang, ramai menghiasi pesta yang diadakan sang putri malam. Adzan Maghrib pun berkumandang, mengingatkan manusia untuk memenuhi panggilan untuk bertemu dengan-Nya. Tak ayal, Masjid Sunda Kelapa menjadi destinasi kami kembali.

Dingin malam kian menusuk kalbu. Tidak panas, karena cuaca yang diliputi sang mendung. “Kita pulang. Ayahmu khawatir tampaknya, tampak dari nada suara saat meneleponmu,” ujarku. “Ya, kekhawatiran itupun akibat kebodohan kamu,” tuturnya kepadaku. Gelak tawa pun membahana, mengganggu manusia lain yang tengah bersantap malam di depan masjid itu.

Kembali berkendara sepeda motor. Kendara kali ini berbeda. Aku dan dia berbicara, meski tak saling melihat. Lampu jalanan, mobil lalu lalang, hiruk pikuk manusia, dan dinginnya. Semua aku acuhkan, demi mendengar ceritanya. Sepeda motor pun melaju rada kencang. Aku enggan membiarkan kekhawatiran di dalam hati ayahnya, yang senantiasa menanti sang putri pulang.

Hari ini memang seperti hari-hari kemarin. Namun, hari ini aku tak hanya berbicara dan mendengar ceritanya. Tapi, aku bisa melihat senyum dan tawa di wajahnya. Berbeda ketika dia mengacuhkanku. Aku merasakan kedekatan yang tak biasa. Inikah cinta atau hanya intuisi semata yang datang dan musnah tiba-tiba? Dan, aku pun ingin mencari jawabnya.

Monday, May 21, 2012

Puan

Katakan kepada sang waktu
Benarkan hidup itu semu?

Aku bergulir bak roda pedati
Memecah langit, merangkai hari
Sadarkan diri nan sarat hati
Rindukan puanku kini

Senja terus berganti
Namun, tidak hari ini
Remangnya sunyi
Tanpa dia di sini

Wahai sang waktu
Kau memijakkan kaki kini
Tak berderap, langkah henti
Tanpa sang puan di sisi

Sunday, May 13, 2012

Prosa Pagi Ini

Katakanlah? Ketika engkau memejamkan mata, apa yang terlihat? Ketika musik mengalun, apa yang terdengar? Satukanlah imajinasi itu, maka kelak akan tercipta adegan demi adegan. Semuanya saling bersinergi. Imajinasi utuh pun tercipta.

Namun, apa yang terjadi jika seluruh imajinasi itu tertutup oleh bayangan kerinduan? Sebuah kabut tebal yang biasa menyelimuti pegunungan. Imajiku bagaikan pelangi yang terhalang oleh rapatnya selasar awan gemawan. Tak tampak, tak terasa pula.

Bayangan itu adalah kamu. Mengendap jauh di lubuk pemikiranku. Mengacak-acak emosiku. Dari kerinduan hingga cinta yang mendalam. Buah karya ciptaan Sang Semesta, yang menghipnotis mata seraya menjatuhkan harga diri sebuah jiwa.

Hanya lewat tulisan ini aku berkata. Persetan dengan segala ekspresi kasat mata yang selalu menaungi wajah ini. Tawa lepas, canda raya. Semuanya semu ketika kau melihat apa yang tampak dibaliknya. Sebuah ekspresi kerinduan, tak kasat mata.

Rapuh mungkin. Namun, inilah ekspresiku. Ketika imajinasi tak kuasa untuk menggambarkan masa depanku. Saat seluruh dunia dengan segala masalahnya tak kugubris. Karena, duniaku adalah kamu, yang senantiasa mengajak jiwa ini mengarungi semesta.


Monday, May 7, 2012

Dead Poets Society II

"No matter what anybody tells you, words and ideas can change the world." _John Keating_

Dead Poets Society

"We read and write poetry because we are members of the human race. And the human race is filled with passion. And medicine, law, business, engineering, these are noble pursuits and necessary to sustain life. But poetry, beauty, romance, love, these are what we stay alive for." _John Keating_

Thursday, May 3, 2012

Fantasi Ganjil

Tanah terapung
Pulau nan jauh
Gapai sang sukma
Gegap gempita

Imaji nan tertatih
Nun peluk mesra
Jiwa mengelak
Kerinduan dunia

Lengkung awan
Biru langit
Cakrawala senja
Bertabur swara

Lelap terjaga
Titian bermuara
Sungai memadu
Resah dalam rindu


Wednesday, May 2, 2012

Bayang

Dihantui bayangmu?
Ku berpikir bukan itu
Itu hanyalah  perpektif
Pandangku atas dirimu

Kendati menghitam
Namun cukup nyata
Tersirat noda kelam
Ruang yang terlunta

Berbuai kerinduan
Berlumur cinta
Berharap santunan
Hati nan luka

Perahu Kertas

"Karena hanya bersamamu, aku tak takut lagi menjadi pemimpi," _Perahu Kertas_

Riak

Bising Hati
Riak Gejolak Kalbu
Suram Pelangi
Semua menyatu

Dalam titian sepi
Guratan raut wajah
Terduduk menepi
Menanti sang cerah

Tampak, roda melaju
Berpacu dengan waktu
Tak terbersit ragu
Kala melihat dirimu

Monday, April 30, 2012

Suasana

“Dimanakah engkau wahai suasana? Ketika itu engkau membuaiku dalam suatu kedekatan yang hingga kini masih terngiang di selasar otakku. Namun, hingga kiwari, kau meninggalkanku, mencampakkanku bagaikan tulang ikan yang berserakan. Kau jua yang membuat diriku jauh darinya. Tak ada lagi kedekatan seperti dahulu.”

Suara jiwa. Begitulah aku memanggilnya. Terkadang suara itu muncul dan mencuat ke permukaan otak, seraya berteriak lantang. Bukan suara yang kasat telinga, tapi ungkapan yang hanya bisa didengar oleh hatiku dan Sang Pencipta. Suara seperti ini yang terus menghantui jagaku maupun tidurku, hingga kemudian tak ada lelap bagiku.

Jiwaku terus menggugat terhadap keadaan. Ya keadaan atau suasana, sebuah benda yang abstrak dan tak terlihat, namun cukup membuat manusia terbuai dengan alam sekitar serta elemen pendukung lainnya. Seperti, kicau burung, wangi rumput dan tanah yang membasah, semilir angin penuai rindu serta rintik hujan nan sarat kesejukan.

Suasana itu mempertemukan aku dengan dirinya. Ketika kali pertama aku mengajaknya beranjak dari tempat berteduh dan singgah ke tempat yang jauh. Suasana itu begitu indah. Aku masih bisa merasakan udara yang dulu melingkupiku, suara ombak yang terdengar sayup-sayup menyela obrolan antara aku dan dirinya. Indah memang.

Dan, suasana pula yang membuat kedekatan itu memiliki sekat. Lebih tebal daripada sekat kaca yang biasa memisahkan kita di ruangan tanpa suara. Berawal ketika malam itu, aku memutar arah. Suasana menggiringku untuk berkata “cinta.” Malam dan pikiran yang menghantui, memproyeksikan kondisi ketika aku kehilangan dirimu. Semua berawal dari jika.

Apakah itu adalah kebetulan? Aku tidak percaya dengan kebetulan. Takdir sudah dituliskan oleh Sang Penguasa Semesta, dengan tinta yang tak kuasa dihapus. Kecuali oleh diri-Nya. Namun, tinta itulah yang menuntun manusia ke jalan yang seharusnya. Tak ada yang salah pula dengan cinta. Ketika cinta itu datang, tanpa kita bisa memilih siapa sang pujaan hati.

Dalam sebuah buku tentang cinta, Yudhistira ANM Massardi pernah bercerita tentang sosok Palgunadi, seorang wartawan yang memiliki hasrat mendalam terhadap wanita. Kala pada suatu ketika, seorang wanita mencuri hati sang kuli tinta. Tak kuasa mengelak, Palgunadi dihantui lonceng yang berdentang, iramanya pelan namun cukup membuat bising hati.

Alam menciptakan suasana yang tepat bagi orang yang tengah dilanda cinta dan dipeluk Sang Smara. Digambarkan dalam buku itu, suasana diciptakan oleh panorama serta pesona Bali yang karib dikenal sebagai Pulau Dewata. Bukan hanya menjadi tempat bermukim para dewa, namun keindahan alamnya yang konon hanya ada di negeri para dewa.

Lain Palgunadi, lain pula diriku. Aku mengalami hal serupa. Saat suasana menusukkan cinta ke jantungku, ketika itu seorang wanita mencuri perhatianku. Lalu, aku pun terombang ambing. Bergerak kesana kemari, bagaikan nyiur yang melambai kepada para nelayan nan hendak melaut. Suasana yang memicu hadirnya Dewa Cinta.

Tapi, ketika kata cinta terlontar. Seluruhnya berubah. Suasana itu sirna sudah, tak ada lagi semesta yang mendukung insan bercinta ini. Aku bagaikan sendiri di tengah keramaian. Hanya suara hati yang menjerit dan rentetan nasib yang hanya bisa kusesali. Dimanakah suasana itu? Pergikah mencari para pencinta lainnya, sedangkan pencinta ini sesal sendiri?

Berulang kali, aku kirimkan surat untuk Tuhan. Melalui doa-doa yang aku harapkan diijabah oleh-Nya. Namun, seperti aku ketahui cinta Tuhan absurd, tidak berbentuk. Tak ada yang tahu kapan Tuhan memberikan jawaban dari doa-doa yang dihaturkan. Tapi, aku meyakini kabulan doa itu akan datang pada saat yang tepat. Titi kolo mongso...

Di suatu senja di bilangan Kemanggisan, Jakarta Barat, ketika aku bersantap sore bersama dia dan temannya. Suasana itu menyedihkan. Betapa tidak, dua manusia yang dulu pernah berdekatan dan bisa berbicara dari hati ke hati, kini hanya berdiam diri. Hanya keluar sepatah dua patah kata. Saat itu, kepalsuan merajai jiwa-jiwa ini, dan kejujuran tertutup kabut pekat sore hari.

“Apa yang  terjadi nona? Dimanakah kedekatan yang dahulu pernah menggandeng kita dengan tangan-tangannya yang manja? Kemanakah Sang Smara yang pernah memeluk kita dengan sayap-sayapnya nan putih, seraya mendengarkan alunan nada darinya menyenandungkan elegi kerinduan dan syair-syair merdu, gubahan penyair kehidupan?”

Kini, aku hanya bisa menatap dia. Begitu dekat raga ini, namun jiwaku dan dirinya terlampau jauh. Aku dipisahkan jurang yang sangat dalam. Bahkan, tanganku tak sanggup menggapai tepi jurang itu. Dan, sampai saat ini, jurang itu semakin lebar dan jauh. Betapa aku merindukan sosok di seberang sana. Namun, jembatan yang kugubah senantiasa musnah, tak sampai ke sana.

Aku melihat senyumnya. Sebuah senyum yang membuat aku berpikir. Aku menatap sedihmu. Sebuah kesedihan yang membuat aku bertanya-tanya. Apa gerangan yang dipikirkan olehnya? Ada aku di antara mereka? Ataukah aku hanyalah sekelumit bayangan yang mudah dihapus hanya dengan mengibaskan telapak tangan?

Tanya. Selalu tanya yang hinggap di jiwa. Tak ada bentuk jawaban. Enggan aku bertanya kepadanya, ketika aku melihat rona kehidupan yang tengah dipikirkannya. Sebuah kisah yang mungkin hendak dicari penyambungnya. Hingga kini, dia masih terus mencari potongan puzzle tersebut. Sampai potongan itu sempurna, tak ada tanya yang hinggap di jiwa.

“Senyum itu mengandung berjuta makna. Sempat aku tersenyum padamu, namun kau membalasnya dengan canggung. Pun demikian, ketika kau menyunggingkan senyum, aku membalasnya dengan sebuah reaksi yang tak biasa. Benar-benar ada penghalang. Sebuah dinding yang tebal, tak kasat mata, tapi cukup untuk menciptakan segala nestapa.”

Aku tak sanggup menoleh ke arahnya. Takut, dan gentar atas reaksi yang akan ditimbulkan olehnya. Enggan diriku menatap senyum itu. Apakah semua harus berakhir seperti ini? Ketika sebuah ruang yang dulu terbentang luas, kini hanya sempit yang kurasa. Tak kuasa dan tiada bebas aku bergerak. Hati inipun memiliki belenggu untuk berekspresi.

Ya, ekspresi yang mati. Sedih ditutupi dengan senyum manis. Bila rasa cinta itu memuncak, hanya diam yang aku rautkan dalam mimik wajah. Sisanya, banyak diam di antara aku dan dia. Beberapa kali, aku berusaha memandangnya. Tapi, tidak seperti dulu. Dahulu, aku memandang matanya begitu dalam, sehingga aku bisa merasakan suasana di baliknya.

Tatapan yang dalam kini hanya ada dalam mimpi. Beberapa kali aku memimpikan pribadinya. Ketika terbangun, aku terdiam sejenak. Terhenyak memang, memikirkan betapa Tuhan masih memberikan harapan itu, meski di dalam mimpi. Dalam diam, aku mengawang. Pikiran menerawang kembali ke suasana yang dulu pernah hadir di antara kita.

Seorang teman pernah berkata, mimpi adalah suatu bentuk rasa dari pribadi sang pemimpi. Objek dalam mimpi bisa jadi hal yang paling ditakutkan maupun hal yang paling diinginkan. Tapi, mimpi itu begitu nyata. Ketika aku bisa menatap dalam kedua bola matanya. Tak ada lagi pelangi yang tertutup kabut pekat. Semuanya terlihat jelas.

Kala itu, aku berkata lirih kepadanya. “Wahai nona, dulu tidak seperti ini. Apa yang terjadi? Apakah bulan sudah tertutup awan sehingga tak ada tempat bagi bintang untuk terus bersinar terang? Apakah bumi sudah menenggelamkan diriku, sehingga aku tidak bisa lagi mendengar tawamu, bicaramu, dan melihat wajah sendumu?” ucapku kepadanya.

Sang wanita berkata dengan tenang. “Cintamu terlalu dini terlontar, dan keyakinanmu kepadaku tidak berdasar. Apakah cinta berarti tanpa pengorbanan? Apakah kerinduan akan terus tumbuh tanpa penantian? Takdir Tuhan berkata bahwa waktumu bukan sekarang, bukan pula waktuku kini. Kini, kesendirian tengah memelukku dengan tangannya yang indah.”

Lalu, segenap rasa sesal menghujam diriku. Betapa agresifnya diriku. Betapa naifnya aku menyalahkan suasana atas apa yang terjadi kepada aku dan dirinya. Padahal, tak ada yang salah dengan suasana apabila manusia meyakini apa yang dilakukannya. Bukan dengan mengandalkan suasana, tapi juga hati yang akan membawa dirinya menuju kepada kebenaran sejati.

Kini, aku mengetahui kisah dibalik diamnya. Bukan hanya sekadar suasana, tapi hati yang kini mulai tumbuh menjadi tunas-tunas muda. Aku kini harus bersabar untuk itu. Hati yang suci tidak mudah untuk disentuh. Sebab, hati yang suci bagaikan inti bawang yang dilindungi ribuan lapisan. Hanya dia yang beruntung bisa menyentuh inti tersebut. Bukan andalkan suasana.

Berlalu tak berujung memadu
Dalam arti hidupku
Tanpa kesan mendalam
Tanpa ragam

Kuingin berganti dalam nyata
Hanya yang semestinya
Terjalin dan tercipta
Dalam jiwa

(Suasana, Fariz RM, 1980)