Monday, January 30, 2012

untuk sahabat...

if I die tomorrow
i'd be all right
because I believe
that after we're gone
the spirit carries on

(spirit carries on/dream theater)

lagu spirit carries on mengiringi kepergian dua sahabat. seperti diketahui, ambience lagu ini membuat orang tergugah, dengan klimaks yang sangat hebat. pun demikian dengan kepergian mereka. cukup membuat kami tergugah, namun menjanjikan klimaks yang menyedihkan. terutama bagi kami, para sahabat.

perkenalan ini memang singkat bagi saya. tidak sampai satu tahun, saya harus melepas kepergian mereka. ya, mereka bagaikan sepasang burung indah yang terbebas dari pasungan berselimutkan emas. entah kemana, mereka akan berlabuh. tapi, saya berharap pelabuhan itu merupakan tempat termegah bagi mereka.

tidak hanya saya, mungkin hampir setiap insan di dunia ini membenci perpisahan. namun, apakah ini perpisahan? menurut saya tidak. sebab, perpisahan hanyalah diperuntukkan bagi orang-orang yang hendak meninggalkan dunia fana, menuju alam keabadian. tapi, dua sahabat ini pergi untuk kembali.

ragam kejadian dialami oleh kami. itulah kenangan, memori yang tak pernah lepas menghiasi jiwa dan raga. ribuan kebahagiaan, kebanggaan, dan nestapa turut menemani perjalanan ini. diantarkanlah kami, seperti pendayung yang setia mendampingi tuannya, dan membawa mereka ke muara yang tak berujung.

tulisan ini tak lebih dari buah tangan, tidak berharga. namun, sudah sepantasnya tulisan ini ditujukan bagi mereka yang datang dan pergi, bukan berpisah. untuk keduanya, saya merasa terhormat karena bisa memanggil mereka dengan sebutan saudara dan sahabat. semoga pelabuhan itu menjadi yang terindah.

(ras/31012012)

Guruh Gipsy, Tonggak Kelahiran Prog-rock di Indonesia

Dentang bunyi gamelan terus membahana, menyelimuti atmosfer progressif rock yang terus mengalun. Kemudian, suara koor penyanyi wanita menyenandungkan lirik lagu bernuansa kemerdekaan dan kemegahan alam Indonesia. Atmosfer inilah yang tertera dalam lagu "Indonesia Maharddika" dari band lawas, Guruh Gipsy.

Ragam inovasi yang dihasilkan oleh band beranggotakan Guruh Sukarno Putra (komposer), Chrisye (bass, vokal), Oding Nasution (gitar), Roni Harahap (piano), Abadi Soesman (keyboard, synthesizer), dan Kinan Nasution (drum, vokal) ini. Inovasi ini tersirat dalam satu-satunya album mereka, "Kesepakatan dalam Kepekatan", yang dirilis pada 1976.

Dalam album yang terbilang "berani" di zamannya ini, Guruh Gipsy menyilangkan alunan rock barat, yang terdapat di bebunyian alat musik elektronik dan seni kontemporer khas Bali, yang ada pada suara gamelan. Kolaborasi ini cukup langka di dekade 1970-an, meski sebelumnya sudah ada beberapa band yang melakukan hal ini.

Seperti dikatakan oleh pengamat musik, Denny Sakrie, karya ini merupakan sebuah eksperimen yang dinilai banyak menghabiskan biaya produksi dan memiliki nilai terobosan yang ambisius. Bahkan, album ini didapuk oleh pengamat musik sebagai salah satu karya yang sarat pengorbanan dan ambisi kala penggarapannya.

Kendati demikian, bila dilihat dari angka penjualannya, album ini terbilang kurang sukses. Bisa dikatakan, diabaikan pada masanya. Namun, kini album ini menjadi buruan kolektor musik. Mereka rela merogoh kocek hingga jutaan rupiah demi mendapatkan album yang menjadi tonggak bagi lahirnya progressif rock di Indonesia ini.

Rekaman "Kesepakatan dalam Kepekatan" dimulai Juli 1975 sampai November 1976. Mereka menggunakan studio rekaman Tri Angkasa di bilangan Jakarta Selatan, yang tercatat sebagai studio rekaman 16 track pertama dan paling canggih di Indonesia. Tidak heran teknologi itu menuai antusiasme Guruh Gipsy menyelesaikan enam lagu selama 16 bulan di studio itu.

Salah satu lagu mereka yang paling monumental adalah "Indonesia Maharddika". Nomor berdurasi 15 menit ini menggambarkan kejeniusan Guruh mengkomposisi tembang progressif rock barat tanpa menghilangkan unsur etnisitas Indonesia. Perpaduannya antara alat musik modern dengan alat musik etnik Bali seperti gamelan dan gerong.

Tak hanya dari segi musik, Guruh pun memiliki terobosan dalam pakem penulisan lirik. Padahal, saat itu, industri musik Indonesia digempur oleh lagu-lagu berlirik lugas dan berbau kisah cinta. Namun, Guruh hadir dengan lirik berisi tentang sosial dan budaya, yang ditulis dengan gaya bahasa puisi dan metafora alias pengandaian.

Dalam booklet Guruh Gipsy, sang kreator Guruh Sukarnoputra, mengatakan album ini sangat mengesampingkan segi komersil. Album ini, menurutnya, dirilis sebagai bentuk kekecewaan atas maraknya serbuan musik asing. Guruh ingin menyentil masyarakat untuk melestarikan kesenian Indonesia. "Musik kami lahir dari keprihatinan," kata Guruh.

Guruh Gipsy

Siapakah Guruh Gipsy? Proyek ini tercetus usai kepulangan seniman muda yang juga putra mantan Presiden RI, Guruh Sukarno Putra, dari Negeri Belanda. Guruh, yang dikenal paham dengan budaya Indonesia, terutama Bali, langsung menggandeng band Gipsy yang digawangi Chrisye, Kinan Nasution, Oding Nasution, Abadi Soesman dan Roni Harahap.

Kolaborasi ini terbilang cukup unik. Guruh telah dikenal sebagai seniman kontemporer yang kerap bereksplorasi dengan musik Bali dan tarian-tariannya. Sedangkan, nama band Gipsy mengharu-biru karena keberaniannya membawakan musik progressif rock ala Genesis, Emerson Lake and Palmer, Yes dan Gentle Giant.

(ras/31012012)

air mata

manusia diberikan anugerah untuk selalu bertanya. tentang apa saja, terlebih hal-hal yang di ambang batas imajinasi atau logika serta yang berada jauh di balik keduanya. terkadang, manusia pun acapkali melontarkan pertanyaan tentang hal fundamental yang mungkin setiap orang mengetahuinya.

kali ini, aku berada dalam titik fokus tentang air mata. ya, tetesan atau cucuran air yang kerap kali mengintip dari balik mata. ketika mata membasah, berkaca-kaca kala insan dilanda haru, duka maupun bahagia. jika tak terbendung, air itu kan tumpah dan mengalir di wajah, lalu jatuh entah kemana.

namun, sudah berapa kali saya katakan kepada mereka. air mata bukanlah merupakan lambang kecengengan, dan kelemahan. tapi, air mata tak lebih dari sebuah ekspresi. ya, ekspresi yang menunjukkan kesedihan maupun kebahagiaan. namun, tak bisa dikatakan cengeng dan tidak menunjukkan ketegaran suatu kaum.

mari kita lihat contohnya. di pertengahan dekade 80-an, duet seniman komik, kazuo koike dan ryoichi ikegami, menciptakan sebuah manga berjudul crying freeman, atau kuraingu furiiman dalam bahasa jepangnya. hatta, manga ini menceritakan pembunuh yang selalu mengeluarkan air mata usai menghabisi nyawa targetnya.

namanya Yo Hinomura. dia adalah seorang pembuat tembikar. hinomura dihipnotis dan dilatih untuk menjadi seorang pembunuh oleh kelompok mafia cina, the 108 Dragons. tubuhnya dihiasi oleh tato naga. kelompok itu memberinya nama "crying freeman. sebab, dia selalu menangis usai membunuh dan merindukan kebebasannya.

ironis memang, sesosok pembunuh yang tak segan membuat orang meregang nyawa, tiba-tiba mengucurkan air mata. meski ini merupakan sebuah fantasi, manga ini mencoba untuk menyentil masyarakat. bahwa, tangisan tidak hanya keluar dari mata seorang perempuan. pria, bahkan pembunuh sekalipun, meneteskan air mata.

lalu, apakah ini bisa dikatakan sebagai lambang kelemahan, kecengengan dan ketidaktegaran? tuhan menciptakan air mata agar indera penglihatan ini selalu lembab dan dihiasi oleh kaca-kaca alami. terbersit, mencerminkan keindahan jika melihat pantulan air dari mata seseorang, sebuah haru dan tanya.

apakah tuhan ingin insannya terlihat cengeng dengan mengeluarkan air mata? saya pikir tidak. tuhan hanya ingin insannya menyadari bahwa mereka hanyalah manusia. sesosok mahluk yang diliputi emosi mendalam, rasa dan imajinasi, bukan hanya sekadar logika yang selalu mencari sebab akibat dari suatu dimensi.

tiba-tiba terngiang, film v for vendetta, sebuah kisah revolusi, cinta dan heroisme. ketika tokoh sentral dalam film itu, v, tak kuasa ingin mencium evey, seorang wanita yang dipujanya. namun, apa daya, wajahnya diselimuti oleh topeng. ya, sebuah topeng yang membungkus kekelaman dan kenistaan masa silam yang dialami v.

tak segan, v menangis di depan revolusi yang akan diciptakan. saat itu, tak kurang dua hingga tiga hari menjelang aksi pemboman yang akan dilakukannya terhadap parlemen inggris. cinta meluluhkan dirinya di saat-saat terakhir. dan, air mata menjadi saksi atas keinginan v untuk mencintai, namun terhalang kondisi.

memang, terkadang manusia malu untuk mengakui dirinya menangis. saya iba melihat air mata. dia hanya bisa menetes di saat tidak ada orang di sekelilingnya, tidak bisa menunjukkan eksistensi dirinya di depan publik. di tengah keramaian, air mata pun disimpan rapat-rapat dan disembunyikan erat.

ketika saya bertanya "apa kamu menangis?". lalu, dia menjawab "tidak, aku tidaklah cengeng." ya, sebuah stigma yang tercipta di mata masyarakat. kebanggaan suatu kaum terletak di ambang pupil dan kornea. air mata hanya bisa keluar mengendap-endap, menanti sepinya suasana. ketika itu, dia bisa mengucur deras.

kisah air mata menjadi suatu keagungan di saat menghadiri pernikahan dan pemakaman. di sanalah, air mata bisa bebas berekspresi, keluar dari balik persembunyian, dan menunjukkan eksistensi diri. "aku adalah air mata, kubasahi indera penglihatanmu. menangislah, karena itu hanya sebuah ekspresi."

(ras/31012012)

Saturday, January 28, 2012

mimpi dan realita, pilih mana?

rokok di tangan kiri
kopi di tangan kanan
kepala menengadah ke atas
malam sarat dengan bintang

pandangan nanar, semu
mata terpejam, terbelalak
otakku masih bekerja
namun hati ini menerawang

aku teringat suatu dunia
tempat berkumpul para pemimpi
mereka selalu tersenyum
menerawang dalam pandangan

di sana, seharusnya kita berada
dunia penuh mimpi dan fantasi
karena, nyata di sini adalah semu
dan, semu adalah kenyataan

aku melihat perang, kenyataan pahit
aku memandang wabah, realita pahit
aku berpikir tentang ragam warna
aku berkelana dengan awan jingga

kini, lama kucoba melupakan dunia
namun, upaya itu nihil
kita hidup di dalamnya
kita berpikir di selasar kenyataan

adakah yang menjual rasa semu?
sebuah mimpi yang tak pernah terjadi
suatu benda yang mumpuni
membuat manusia terus bermimpi

andaikan...

(ras/28012012)

sejak kapan? hmm...

mungkin aku masih teringat
namun tak kupungkiri lupa
sejak kapan aku menulis?
aku menggoreskan tinta ini

beberapa tahun lalu, mungkin
sejak aku menggenggam pena, mungkin
ketika baru masuk kelas, mungkin
kala mulai bekerja, mungkin

tidak ada yang tahu
bahkan diri ini abu-abu
otak ini bagaikan kabut
selimutkan ingatan

tapi, aku terus berkarya
tak berhenti mengecap tinta
aku punya alasan
inilah mediaku berekspresi

(ras/28012012)

insan, manusia dan aku

wahai para insan, terkadang manusia mengarungi perjalanan yang tak pernah berhenti. hanya selasar berujung cahaya menjadi penuntunnya. suara merdu dari malaikat berjubah putih pun kian memburu, namun halus dan syahdu. desahnya terdengar, menyentuh telinga yang dibalut nada rindu besutan penyair orpheus.

aku, tidaklah. aku bosan dengan kata aku. aku hanya menyiratkan kesan galau bagi manusia yang membaca. tak akan aku ulangi. mungkin kata manusia bisa mengobati kerinduan mereka terhadap sebuah prosa antigalau. meski kegalauan bukanlah dosa yang harus dihapus, bukanlah jelmaan tokoh setan dalam faust, karya dante.

manusia ini dirundung bahagia, ceria dan tanpa beban. di antara ribuan massa, manusia ini adalah mahluk yang paling terpesona dan bertahtakan mahligai kesenangan. larut kini, tiada henti mengucap kata berwarna. lontaran raga menghiasi langit mendung, tapi terbuka diriak awan. seolah cahaya menjadi jembatan sang hidup.

aku, lagi-lagi aku. kesepian terangkum dalam prosa-prosa yang tanpa kelu berucap rindu. manusia ini bertapa dalam aura kesunyian. hanya wajah-wajah bisu yang berkeliaran kesana-kemari. mengusap jiwa nestapa, tapi tertutup keangkuhan dan rasa arogan. “aku tegar, aku bahagia, dan aku mengumbar senyum antinestapa.”

manusia ini menegur sang malaikat. dengan sayap terbentang, dia memenuhi panggilannya. “wahai sang putih dan cemerlang, hingga kapan ketegaran ini bisa menjadi kebahagiaan. bukan ketegaran yang kucari. hanya ketegaran berbalut dunia kosong yang kurasa. tiada keabadian dalam tegar ini, hanya aku kalut dan kosong.”

awan berarak. malaikat putih tersenyum, indah dan tanpa ragu. dia berucap kepada cucu adam dan hawa “hanya kau yang bisa merasakan ketegaran itu. bukan terlihat, namun terasa. apa yang mereka lihat, bukanlah apa yang mereka rasa. mereka hanyalah debu di sepanjang pantai, tersemai bagai bibit tumbuhan kerinduan.”

(ras/28012012)

senandung lirih di pagi hari

di dalam balutan biru lembayung pagi, jakarta bersenandung. nada bising tak berirama, tenggelam ditelan deru kendaraan. sebuah irama kerinduan terhadap awan suci dan kesejukan. ya, tiada yang seindah pagi ketika sang surya terbangun, lelap sepanjang malam, terganti oleh keindahan rembulan.

kini pagi menjanjikan hanya kesemrawutan.

aku melihat manusia. mereka bagaikan dipecut oleh ambisi dan komitmen. hanyut dalam gesa, dikejar dan diburu waktu. meski waktu takkan pergi, ketika mereka statis di satu titik. wajah ceria berganti serius, aktor lugu menjadi ambisius. rebut-merebut menjadi budaya. indonesia kini sarat dengan lautan manusia, yang tergesa.

tiba-tiba saja, sebuah lagu dari pink floyd, “another brick in the wall part 2” tergiang di telinga. memasuki dan mengaliri syaraf otakku yang sempat mengering. entah kenapa, lagu itu membawaku terbang ke alam mesin. hatta, manusia yang selalu hidup dikejar waktu dan ambisi. mereka seperti mahluk artifisial besutan pabrik yang menciptakan rekayasa serta menjanjikan kepalsuan.

tak ada lagi senandung lirih di pagi hari. kini nada itu sumbang, penuh dengan minoritas. jiwa mereka melayang menuju penghujung pekan. menanti libur, karena saat itulah mereka bisa bersenda gurau, melantunkan nada riang gembira di tengah derai tawa orang tersayang. pun demikian aku, menanti dan menaruh harap.

(ras/28012012)

Prajnaparamita | Chapter 2

Beberapa bulan berlalu. Kegundahan sirna sudah. Upaya nan berat membuahkan pudar serta mengerat. Seluruh ingatan kini menjadi kenangan. Rutinitas membunuh cinta di hati. Membuatnya membeku serta membiru. Dingin, mungkin ini yang menggambarkan sikapnya. Lonceng di hatinya telah berkarat. Sulit membuatnya berbunyi, sejak cinta dalam diri kandas di tepi jurang terjal.

Muka kusam menemani setiap bayangan raga. Panca bagaikan mahluk tak berjiwa, kendati raga membawa kesana dan kemari. Panca berujar dalam hati:

“Separuh jiwa tak tentu rimba, aku hampa. Acapkali hati menjerit, namun tak kuhiraukan. Kuanggap sang hati hanyalah angin lalu, yang berembus dan sirna ditelan bebunyian melodi buana. Kerinduan kubuan menjadi kesibukan. Hari yang padat menjadi teman sejati. Buah pemikiran terus kupaksakan itu melontarkan ide. Hanya untuk satu tujuan, melupakan nama yang terus membahana di kalbu.”

Kendati demikian, tak semua keindahan sirna. Panca masih bisa menikmati kicauan burung di pagi hari, harumnya bunga aster yang bermekaran, serta kedamaian taman hati. Kendati, taman itu kini diselimuti salju abadi, menanti seorang wanita yang sanggupnya mencairkan serta melelehkannya. Hingga salju itu menjadi air yang mencari sungai dan bermukim di laut lepas.

Panca duduk di sebuah taman. Pohon-pohon mengayun. Berlenggak-lenggok seperti penari dengan kaki yang terpasung dalam pijakan buana. Sesekali, dedaunan meranggas, membelah angin dan jatuh terhempas. Belum selesai beristirahat sejenak, sang daun kembali dibawa oleh angin ke negeri antah berantah. Entah dimana, mungkin di surga dedaunan yang menempati sisi lain surga manusia.

Merebahkan diri di atas dinginnya bebatuan taman. Ditemani suara desiran angin lalu, dan gemericik air mancur di pusat taman. Bahtera putih tampak membubung di antara lautan langit biru. Meski nestapa mereda, tanya masih menyesak di dada. Ada yang hilang, inspirasi sang perangkai kata raib pula. Benak Panca menerawang , hati kecilnya pun melontarkan tanya:

“Mengapa inspirasiku mati? Kini, inspirasiku berada di sebuah peti. Terkunci rapat. Entah dimana kunci itu bisa kutemukan. Apakah terbawa oleh kekasih hatiku yang tengah berlayar di lautan tak dikenal? Bisakah kumemintanya kembali, meski mustahil? Aku butuh inspirasi itu. Dialah pusat dari pusaran prosa dan karya yang telah kuciptakan sejak lama.”

“Dimanakah engkau inspirasiku? Apakah kau akan membiarkan diriku kosong, tanpa karya? Apakah kau akan membuat sebuah lubang di hati, dan memampatkannya dengan kebingungan? Apakah kau akan membelai otakku dan menusukkan belati di setiap selasar jiwa? Apakah, apakah dan apakah? Pertanyaan ini terus bermunculan, tanpa henti. Otakku sarat tanya.”

Tanya hanyalah tanya. Tiada yang sanggup menjawab. Hanya kepada hati kecil, dia berkata. Cuma dengan burung manyar, dia bertanya tentang rindu dan cinta yang pudar. Sang burung menjawab:

“Ketika itulah, hatimu berhenti berdebar. Penyembuhnya hanyalah kaum hawa yang kan menceritakan dongeng asmara, sebuah kisah tentang Sang Smara yang tengah bercumbu dengan sang kekasih, Ratih Dewi, di taman hati. Namun, ajal tak kuasa dihindari Sang Smara kala panah Syiwa menghujam jantungnya. Dan Sang Smara pun terempas ke marcapada,” tutur sang manyar.

Kupeluk sang manyar dalam eratnya dekapan kerinduan. Hangatnya malam mencuri nuansa kesunyian. Bulan benderang seolah mencari para bintang yang tengah rehat sejenak. Mengapa? Karena malam itu langit terlampau hitam, kelam. Tak kuasa mengempaskan kerinduanku akan cahaya bintang. Terus menerus, manyar merangkai kata-kata indah, sebuah nasehat dari seorang kawan.

Prapanca terbawa lamunan, mencari arti nasehat sang manyar. Berlalu dan berlalu, nasehat hanyalah untaian kisah kelu. Telinga pun berupaya menyerap kata-kata itu. Dan Panca berkata:

“Bukankah inilah situasi yang ingin manusia hindari? Sebuah kegamangan abadi, terlempar dalam dimensi lamunan tanpa henti. Ketika seorang hawa merangkai kisah. Namun, dia pergi ketika kisah itu belum mencapai babak penantian. Sebuah epilog yang kosong, tanpa akhir bahagia maupun nestapa. Kini hatiku tak ubahnya sebuah ruang kosong, tanpa penghuni,” ujar Panca.

Ya, epilog yang kosong. Saban insan memiliki hasrat dalam menuntaskan suatu kisah. Penyair, misalnya. Dia selalu merampungkan kisah, kendati sulit mencari sebuah kata pamungkas untuk halaman terakhir. Sebab, babak terakhir merupakan suatu konklusi, sebuah rangkuman inti cerita yang mampu membuat manusia terbawa ke dimensi klimaks dan ekstasi ketika membacanya.

“Mari kubawa kau menyelami kisahku, wahai manyar. Bulumu nan biru, dan keindahan parasmu. Hanya untukmu, aku bercerita,” ujar Panca kepada sang manyar. Matanya menerawang ke arah langit biru. Para dewata pun bertopang dagu, menanti Panca berkisah. Sang manyar pun mendengar secara seksama, menghentikan segala rasa, untuk memberikan rasa lain merasuki.

(ras/28012012)

Prajnaparamita | Chapter 1

And Aubrey was her name
I never knew her, but i love her just the same
I love her name

(Aubrey, Bread)

Begitu berartinya sebuah nama. Sebuah simbol keagungan yang merepresentasikan jiwa dari sang pemiliknya. Suara hati yang terus berteriak lantang, ketika seseorang merasa bangga dengan nama yang disematkan pada dirinya. Nama, mungkin hanya sebuah kata. Tapi, kata bisa meruntuhkan tembok yang terbentang nan kokoh, meski hanya diutarakan dengan ucapan.

Prapanca Mahadewa, namanya. Panca, begitulah dia karib disapa. Seorang pemuda yang selalu menyenandungkan syair kerinduan. Terkadang, rindu mengendap dan menekan tuas di hatinya. Dari rindu tersebut, terjalinlah rangkaian kata dan kalimat nan indah. Tertuang dalam suatu prosa. Dia menamakannya prosa kerinduan, buah dari kesunyian.

Sebuah keagungan terbentang dari namanya. Nama Prapanca dikutip sang ibu dari seorang empu penulis kitab mashyur, Negarakertagama, sebuah literatur yang mengharu-biru ketika Indonesia masih berupa kerajaan bernama Nusantara. Sedangkan nama Mahadewa disematkan sang ibu dari bahasa sansekerta yang berarti “dia yang tertinggi di antara para dewata”.

Meski begitu, keagungan tak jua membuatnya luput dari nestapa. Raut duka memenuhi rona merah wajahnya. Bertopang dagu, mata pun sayu. Dia bagaikan bunga layu. Tak menggubris di saat bayu meniup kencang. Dahannya tak bergoyang. Bahkan, burung pun enggan membesut sarang di atasnya. Daun layu hanya menjanjikan kemuraman. Tidak ada kesejukan, hanya kehampaan.

Kepada semesta, Panca berkata:

“Hai semesta. Kau adalah matahari, kau adalah bulan, kau adalah semesta. Kau menyelimuti buana, terangkum dalam birunya langit dan samudera. Tatkala menggeram, kau kokoh bagaikan gunung yang menjulang. Ketika meradang, bumi kan memuntahkan isi perutnya. Terlanda, pemukiman manusia di lereng lembah. Siapa yang bisa menolak kuasa itu?”

Panca tengah menggugat semesta. Kehidupan yang dilaluinya kerap menemui jalan terjal. Tak jarang pula, kebuntuan menjajal kesabarannya. Emosi, tentunya ada. Namun, Panca percaya kesabaran adalah sifat yang tak berbatas. Semuanya tergantung diri manusia masing-masing memandang kiasan itu. Tapi, kali ini kesabaran Panca habis. Dia menyalahkan nasib.

Terjerembab dalam jurang kesunyian. Tersentuhlah hati Githa, sahabat Panca yang telah dikenal sejak mentari bersinar di matanya, ketika kali pertama diangkat dirinya dari rahim sang ibu. Berdua, mereka menangis di dalam ruang yang sama. Dua manusia mungil yang baru melihat dunia. Gita tak rela kegembiraan hilang di hati Panca.

Githa pun berkata, keras dan lantang:

“Panca, o, panca. Apa yang menjadi gundah di hatimu, wahai kawan? Kehidupan memang tak selalu indah. Keindahan hanya ada ketika kau menemui jalan setapak menuju surga. Di sanalah, kau kan mendapat keabadian. Kekal, tanpa ada yang sanggup membuatmu meregang nyawa, dan dihujam oleh pedihnya kematian dan kesengsaraan.”

Menjawab tanya, menghilangkan duka. Panca pun berucap:

“Aku tengah tergilas roda zaman. Kekasih, pujaan hati, pelipur lara, yang membuat keindahan di mataku, kini telah sirna. Entah dimana kekasihku? Hilang dari muka bumi, menanggalkan jubah cinta dan pergi dariku. Dunia hitam, semesta kelu. Tak ada yang sanggup menjawab. Hanya ada deburan ombak di pesisir pantai, dan suara kicau burung camar yang membelah cakrawala membiru.”

“Dia merantau dan tak pernah kembali. Kucari ke seluruh pelosok negeri. Hanya ada wajah bingung dan kalimat tak tahu. Keyakinanku teguh, prediksi pun patuh. Tak ada yang sanggup menggantikan dirinya, kekasih yang merobek sukma di dalam dada. Kini, hatiku berkeping-keping, menjadi puing. Angin pun enggan membawa. Sebab, puing itu hanya mengandung rasa sakit, kepedihan batin yang mendalam.”

Tak sependapat dengan sahabatnya, Githa pun menjawab:

“Tak ada yang tak mungkin. Harapan masih ada selagi kita masih menyandang status sebagai manusia. Kita adalah mahluk yang selalu diliputi masalah. Karena itulah, kita masih hidup sebagai manusia. Namun, semua masalah memiliki jalan keluar. Meski berliku dan sulit diterobos, jalan itu senantiasa terbentang, bak setitik cahaya putih. Itulah yang dinamakan harapan.”

Kata-kata itu terus terngiang di otak Panca. Hilir mudik tanpa henti, membelai sisi kanan dan kiri pemikiran sang penyair. Ruang optimisme tengah tertata rapi. Kini, insan di dalamnya mulai bisa beraktivitas. Lalu bagaimana dengan ruang pesimisme? Panca tak menggubris. Buat apa pesimis, jika manusia masih memiliki harapan. Meski setitik, namun tetap saja namanya asa.

Githa berlalu, meninggalkan Panca seorang diri. “Aku memiliki banyak hal yang harus dilakukan. Maaf aku meninggalkanmu bersama nestapa, wahai kawan. Jadikan dia temanmu, untuk saat ini. karena, kini hanyalah kesendiriaan yang kau butuhkan. Bukan aku, maupun sahabat lainnya. Hanya kamu satu. Di akhir cerita, hanya kamu dan dirimu yang tersisa,” ujar Githa.

Bayangan Githa menghilang ditelan kabut malam. Ya, senja telah berganti malam. Dua penyinar marcapada berpelukan. Matahari kembali ke peraduan, menantikan hari esok ketika embun pagi membangunkan dirinya. Sedangkan, bulan baru memulai aktivitas. Bersiap dengan sinarnya yang benderang, memeluk kegelapan dunia dan menggantinya menjadi harapan.

Dan panca? Dia melangkah gontai menuju rumah. Matanya lelah. Hari memasung dirinya dengan belenggu rutinitas. Waktu terus berlalu, namun Panca tetaplah Panca, jiwa sedih yang digerogoti kegalauan, nestapa dan kesedihan. Ingin rasa, hatinya menghilang bak durjana. Namun, hilang hati berarti mati, meninggalkan muka bumi ini.

(ras/28012012)
kemana dunia yang dulu kuhuni?
dunia yang penuh dengan kekotoran
keliaran menjadi penganan keseharian
hitam pun terang di batin ini

quote

i, like god, do not play with dice
and, do not believe in coincidence

(v for vendetta/2005)

lupa

aku melupakan senja nan merah
meniadakan kehadiran dunia nyata
aku bergumul dengan mesranya awan
sandingkan mentari nan terpejam

ketika awan bermain mata dengan bumi
dia bergeser membelakangi matahari
sang surya terusik putihnya awan
dia pun berangkat ke peraduan

saat itu, malam tampak sumringah
cemara menari dengan lemah gemulai
bayangan bulan tampak benderang
kelam menyelimuti buana

kala malaikat turun ke bumi
burung-burung berkicau
menyanyikan nada kerinduan
terbang bertahtakan langit

(ras/28012012)

nyanyian orpheus

berulang kali kucoba untuk ceritakan, namun tangan ini seolah terkunci. tinta pun tak tergores. satu kata tersendat hingga ribuan jam, satu enggan tercipta sampai puluhan bulan. ketika jiwa ini tersendat oleh stagnasi, ruas jari pun seolah menutupi ide yang menahan untuk diteriakkan.

aku teringat dengan kisah seorang penyair terkenal yunani, penyanyi yang kerap melantunkan puja pujian untuk para dewa. kerap, kumelihat dirinya termenung seraya memeluk harpa tua. dentingnya pun sumbang, namun bisa menciptakan nada indah jika dimainkan dengan hati yang dibaluk bahagia, rindu dan nestapa.

dia adalah orpheus. terombang ambing dalam nada indah, awan pun terhenti untuk menikmati keelokkannya. bahkan, angin tak kuasa bertiup ketika denting harpa orpheus berbunyi. sebuah lagu yang bisa membuai para dewa, membuat mereka menangis dan tertawa, merangsek ke jiwa yang abadi dan tak pernah mati.

apa yang terjadi jika seorang penyair jatuh cinta? aku mengutip serangkaian kalimat dari William Shakespeare yang terangkum dalam drama macbeth (act I, scene VII). "i dare do all that may become a man, who dares more is none," dia bisa melakukan apa saja untuk cinta, bahkan bisa terbawa derasnya arus lautan asmara.

paras cantik membuat orpheus terbaring dalam dunia fana. dia kini tak bisa membedakan hidup dan mati. bahkan, kini dia melihat neraka dengan balutan warna surga. bisa kau bayangkan? beribu malaikat melayang memenuhi lembayung merah. lalu dimanakah surga berada? dia berada di hati seorang pencinta.

dunia memang edan. buaian ini membuat orpheus terjerat benang yang tak terlihat. hanya nanar mata memandang, hanya gundah terasa di dunia orpheus. dialah eurydice, sang pembawa nikmat dunia bagi sang penyair. cantik memang, namun orpheus melihat kesederhanaan yang terpancar dalam cahaya hati.

"dia adalah intan yang tak kuasa kudulang. namun, jika didulang, intan itu akan menunjukkan sinarnya. ketika kau bersihkan, cahayanya lamat-lamat memancar menembus lapisan yang membelenggu. dialah pencuri hatiku, dialah pelipur laraku, dialah buluh perinduku," kata orpheus seraya menggugat langit dan

sepasang merpati terbang melintasi birunya langit. awan disusuri dengan sayap-sayapnya yang indah. bergandengan mereka membelah cakrawala. dalam balutan bulu putih, merpati bercumbu hingga mentari pun tak digubris. berulang kali, dia pancarkan sinar. namun yang ada hanya tawa, tanpa keluhan. kurasa, mereka gelap mata.

itulah persepsi yang kulihat ketika orpheus dan eurydice memenuhi bumi dengan cinta. kini, nyanyian orpheus dipenuhi suara hati yang tengah dibaluti aura dari venus, dewi pemilik cinta dan kasih. syair yang dilantunkannya pun penuh dengan suka cita dan warna-warni dunia. o, orpheus, o, eurydice.

kendati demikian, sang takdir bergeming. dia tak kuasa untuk diam. ajal bersayap putih merenggut eurydice dari dunia nyata. seekor ular raksasa membuatnya meregang nyawa, hingga ajal memeluknya. buana mengusirnya dari dunia. saat ini, eurydice pun tersesat dalam istana kegelapan, kerajaan sang hades, dewa kematian.

tak pelak, insiden ini menimbulkan duka yang mendalam bagi orpheus. dia merenung dalam keramaian, menangis dalam kebahagian. dia bagaikan rajawali yang patah sayapnya. dia menjadi duri yang takkan pernah tajam menusuk raga manusia. dia berbaur dalam kerumunan manusia yang sarat kesedihan dan nestapa. dia berduka, kontan.

para dewa merindukan nyanyiannya, dan syair-syair orpheus yang penuh dengan keindahan dan warna-warni dunia. kini awan pun selalu mendung, mencoba menumpahkan tangis yang tertahan oleh pekatnya mega. para angin pun tak kuasa menahan rindu, mereka berembus tak kenal arah, hingga muncullah badai di dunia.

rasa di hati ini kian bergebu, kepedihan pun semakin menusuk kalbu. orpheus bangkit dari renungan malamnya. dia menghempaskan diri di tangan nasib. mencoba untuk bertaruh kepada sang dewa kematian. ini adalah awal dari kelananya di dunia kegelapan. perjuangannya membawa sang kekasih kembali ke dunia nyata.

bergegas, orpheus turun ke dunia kematian. dunia yang penuh dengan tangis siksa dan sayap hitam sang ajal. suara kesedihan membahana di selasar dinding tragis orang-orang mati. jalan itu menuju entah kemana, sebab gelap di sisi kanan dan kirinya. guratan wajah mayat tak bertuan menghiasi sepanjang lorong itu.

"alangkah kejamnya dunia fana, membuat raga manusia menjadi serpihan tanpa nama. wujudnya absurd, tak juga dikenali oleh sang pencipta. rona kejamnya neraka, dimanakah surga? apakah semuanya berubah menjadi penghuni neraka. hanya engkau yang tahu jawabnya wahai hades, wahai wajah kematian manusia,"

orpheus pun berada di bantaran sungai styx. di sungai ini, roh-roh tersimpan. mereka memiliki rupa seperti arwah penasaran dengan tangan yang terus menggapai siapapun yang melewati sungai ini. jika terjerat, mereka akan bergabung dalam ruang lingkup kematian, di bawah perintah sang dewa jahanam.

namun, bagi orpheus, arwah-arwah itu merupakan jalinan kehidupan yang dulu pernah hadir di dunia. orpheus pun menyanyikan syair-syair tentang kepedihan, kesedihan dan nestapa, seperti suasana hatinya. syair lagunya membuai arwah manusia dan pendayung sungai styx. mereka pun larut dalam alam yang diciptakan orpheus pada lagunya.

tak hanya pendayung dan arwah penasaran, lagu dan syair orpheus pun melunakan amarah cerberus, anjing kepala tiga yang menjaga gerbang hades. geraman cerberus terhenti ketika orpheus menembangkan kerinduannya terhadap eurydice. bahkan, anjing tersebut tak segan meneteskan air mata, lambang kepedihan yang dirasakan orpheus.

sampailah orpheus di hadapan sang dewa kematian. dengan sombong, hades menatap orpheus. dia berkata "wahai manusia, wahai penyair, wahai musisi para dewa dewi, kini kau telah sampai di hadapannku. apa yang kau mau? tidak banyak orang yang singgah di dunia ku. hanya mereka yang masih memiliki kerinduan dan cinta. mungkinkah itu engkau?".

orpheus pun terpaku dalam sejuta kerinduan. yang ada dalam bayangannya hanyalah eurydice, eurydice dan eurydice. "aku mencintai eurydice, wahai penguasa neraka. berikanlah aku kesempatan untuk menemui dia. mengambil nyawa yang direnggut sang ajal, untuk kubawa ke alam para manusia," urai orpheus.

"baiklah, jiwanya bukan menjadi milik punggawa kegelapan. wahai orpheus, berjalanlah menuju alam nyata. hiruplah hawa cinta yang dulu sirna. aku biarkan eurydice mengikuti langkahmu menuju ke rona kehidupan. namun, jangan kau menoleh ke belakang sebelum sampai ke sana. sebab, kekasihmu akan menguap bagaikan buih di lautan," sahut hades.

rona merah lambang kebahagiaan menyelimuti wajah orpheus. dia berjalan menuju lautan kehidupan, dunia nyata yang menjanjikan kematian. langkah gontai, namun tegas menemani dirinya. di belakang, arwah eurydice mengikuti orpheus. wajahnya tak berekspresi, tatapan kosong orang-orang mati yang akan kembali menemui kehidupan.

sepanjang jalan menuju dunia hidup, orpheus mendendangkan syair tentang cinta dan kebahagiaan. kegelapan di dunia hades pun sekejap menjadi benderang oleh kata dan nada yang terlontar dari mulut orpheus. perjalanan panjang ditempuh dengan suka cita. orpheus, o, orpheus, kini kebahagiaan akan menghiasi syair-syairmu kembali.

namun, orpheus tidak bisa membendung kerinduan. dadanya sesak oleh wajah eurydice. dirinya tak kuasa menerima perjalanan panjang ini. dia pun mengutuk sang waktu, dan jalan yang dilaluinya menuju ke dunia manusia. orpheus menggugat semesta yang menciptakan kematian dan dunia kegelapan hades.

"hati ini begitu merindukan wajah kekasihku. bibir merahnya, senyum simpulnya, putih raganya, serta hati sucinya, membentuk sepasukan prajurit hati. kini, mereka menyerang otak dan pikiranku. aku penuhi gelas keabadian ini dengan jiwa-jiwa kehidupan yang diberikan eurydice kepadaku. ya, hanya kepadaku," pungkas orpheus.

dan, orpheus pun menoleh ke belakang. benar saja, eurydice menghilang. jiwanya kembali melayang ke dalam pasungan hades. janji. kini, tak ada kesempatan bagi eurydice untuk kembali. pun demikian orpheus mustahil untuk melihat eurydice kembali, kecuali dalam lamunan dan mimpi yang diciptakan oneiroi, para dewa pemilik mimpi manusia.

kisah inipun berakhir dengan tangisan dan ratapan orpheus. kini, syair dan nyanyian orpheus hanya menjadi milik para pemuja kesedihan dan lamunan tak bertuan. hingga akhir hayatnya, orpheus hanya menyenandungkan syair kesedihan. dewa pun kehilangan salah satu penyair terbaiknya, dan suara yang membuai mereka. orpheus menangis, dan terus meratap.

(ras/28012012)

Wednesday, January 25, 2012

(I Love You) For Sentimental Reasons

I love you for sentimental reasons
I hope you do believe me
I'll give you my heart

I love you and you alone were meant for me
Please give your loving heart to me
And say we'll never part

I think of you every morning
Dream of you every night
Darling, I'm never lonely
Whenever you are in sight

(ras/26012012)

Tuesday, January 24, 2012

HIDUP INI APALAH!

“Hidup ini apalah.” Kalimat ini seringkali didengungkan teman-teman saya ketika tengah bekerja. Dan, saya pun hanya tertawa-tawa membayangkan kata yang terus-menerus diulang dan seolah disematkan ke nadi ini. Mungkin hanyalah sebentuk candaan dan ocehan. Namun, sedemikian mengenanya kalimat ini ketika dia berucap.

Memang, hidup ini jangan dibuat pusing, dan dipikirkan sedemikian beratnya. Apa pasal? Hal rumit akan menjadi rumit jika dipandang dari perspektif kerumitan manusia. Sebaliknya, hal yang mudah akan menjadi lebih mudah jika tahu paradigma kemudahan itu. Karena itulah, terlontar kata hidup ini apalah alias jangan terlalu dipikirkan.

Teringat, perilaku seorang teman yang tak kunjung mengenal lelah memikirkan beban hidupnya. Ibarat, dia seperti memikirkan masalah setiap manusia di dunia. Persis, seperti Atlas, seorang titan, yang memikul bumi karena hukuman dari Dewa Zeus. Otaknya kusut, mukanya masam, pikirannya pun selalu dipenuhi dengan rintangan dan hambatan.

Meski kesal jika kalimat ini diucap berulang-ulang. Namun, saya tetap menggali makna didalamnya. Kalimat ini adalah sebuah media penyemangat, ketika saya jatuh dalam kekusutan benang dunia, saat waktu tidak memberikan kesempatan saya untuk berbicara. Kalimat ini membuat saya mengerti bahwa hidup ini bukan untuk dipikirkan, namun dijalankan.

Dulu, ketika bekerja, saya adalah orang yang sangat serius. Melihat segala sesuatu dari sudut yang sangat sempit, namun kini saya berusaha menjadi orang yang santai. Ya, kepenatan dan stress akan menghujam kala problema menjadi darah yang mengalir dalam nadi saya. Tapi, orang itu selalu berkata “hidup ini apalah.” Dan, aku menjawab “yeah.”

Kini, hati saya tengah dihantui kekuatan yang tidak dikenal. Sebuah rona merah jambu yang selalu membuat mual perut, dan menyesakkan dada. Tiada yang saya pikirkan selain subjek dari kekuatan itu sendiri. Yang lain, saya anggap sebagai bumbu pemanis dan media untuk mencari pembenaran, bukan suatu pendapat yang diharapkan.

Terus terngiang dan terbayang di kala saya beraktivitas, di saat duduk di taman, di bergumul dengan ide-ide. Lamat-lamat, hal ini menjadi ancaman bagi hancurnya seluruh aspek kehidupan dan bisa pula menjadi senjata potensial untuk mengarung ombak kebisuan dunia yang tak bisa pecah hanya dengan teriakan yang kian lantang.

Saya berusaha untuk keluar dari situasi ini, namun belenggu terlampau kuat, tak bisa dilawan hanya dengan kata dan tekad. Hanya waktu yang bisa menyembuhkannya. Bisa dibilang, ini adalah luka yang menganga, dan saya menanti obat yang tepat untuk menyembuhkannya. Apakah obat itu? waktu yang bisa menjawabnya.

Tapi, saya mencoba bangkit dari keterpurukan, berupaya menyelami perspektif yang berbeda dari kisah ini, berusaha untuk merangkai kejadian demi kejadian yang bisa merujuk kepada simbol-simbol tertentu. Dan, hasil akhirnya adalah sebuah solusi, namun tetap saja, kesabaran menjadi kunci untuk menemukan solusi ini, sehingga tidak membuahkan hasil nihil.

Salah satu upaya ini adalah “hidup ini apalah.” Sebuah kalimat yang cukup membius, menghilangkan sejenak gundah gulana, dan memberhentikan sekejap arus liar yang deras mengalir dalam darah. Ini meski hanya bersifat temporary. Kembali lagi, ini adalah suatu masalah yang harus dipecahkan, dan bukan untuk dipikirkan dengan otak yang mengeras.

Sepintas, kalimat seperti ini cenderung mengejek Tuhan, memandang Dia dengan sebelah mata, dan berpikir “Semudah, itukah kita sebagai manusia memandang hidup, sebuah dimensi yang diciptakan-Nya dengan tingkat keseriusan yang tinggi dan tentunya dipikiran masak-masak oleh-Nya. Namun, manusia datang dan berkata hidup ini apalah.”

Ironis memang. Kendati begitu, inilah cara manusia dalam menjalankan hidup. Manusia selalu mencari cara paling gampang untuk menjalankan hidup yang sedemikian rumit menjadi lebih mudah. Ada yang memandang dari sudut kemudahan, dan ada yang berupaya menutupinya dengan berpikir serius.

Saya pun sempat berpikir kalimat ini membentuk sugesti bahwa setiap masalah pasti ada jalan keluarnya. Buat apa dipikirkan? Toh, nanti akan ditemukan solusinya. Sekali lagi, asalkan manusia itu bersabar. Setidaknya, inilah yang bisa saya lontarkan. Tetaplah semangat menghadapi hidup yang bagaikan benang kusut ini. Hidup ini apalah!

(ras/24012012)

Friday, January 20, 2012

Longterm Partner Bagi Industri

"I never knew there are such a prestigious Business School in Indonesia who can deliver the 1st-class professional learning until last week when BBS delivered the sessions at our 6th ASEAN Management Seminar," ujar Toyohiro Matsuda, Head of Office, HRD Office in Asia, Mitsubishi Corporation, Singapore Branch, usai acara Knowledge Sharing yang diadakan oleh BINUS BUSINESS SCHOOL , yang dihadiri jajaran manajemen Mitsubishi Corporation se-Asia Pacific pada bulan Oktober lalu.

Kegiatan Knowledge Sharing atau berbagi ilmu oleh para dosen BBS ke berbagai perusahaan merupakan salah satu dari sekian banyak kontribusi BINUS BUSINESS SCHOOL bagi dunia industri. Sejak beberapa tahun belakangan ini, BBS merasakan pentingnya membina hubungan baik dengan industry yang menuai benefit yang besar bagi kedua belah pihak.

Agar hubungan industri terus terjalin dengan baik, disinilah peranan dari Divisi Corporate Connections. Apa itu Corporate Connections? "Semua kegiatan yang melibatkan hubungan dengan industri. Peran dari Corporate Connections adalah sebagai penyambung antara dunia kampus/akademik dengan dunia industry secara luas dengan mengedepankan “win-win solution” bagi kedua pihak” terang Anita Michiko Tamala, Head of Corporate Connections BINUS BUSINESS SCHOOL & BINUS INTERNATIONAL saat ditemui di Kampus Joseph Wibowo Center, Jakarta Pusat, Jumat (13/1).

Menurut Anita, dengan terjalinnya hubungan baik dengan industry BBS dapat lebih mengerti kebutuhannya secara garis besar. Ini sangat membantu dalam menawarkan berbagai kegiatan atau program kolaborasi dengan industry., yang mana dapat di klasifikasikan dalam 4 bagian: yaitu: branding/corporate communication, learning and development, human resources, serta business consulting," tutur Anita.

Dia mengatakan keempat poin itulah yang biasa dibutuhkan oleh industri, terutama dari sebuah institusi pendidikan. Meski demikian, tidak menutup kemungkinan untuk BBS/BI menyediakan kegiatan lain diluar ke- empat kebutuhan tersebut.

Corporate Communication/Branding

Aktivitas branding atau pencitraan sangat dibutuhkan oleh perusahaan. BI/BBS dapat membantu perusahaan dalam memberikan edukasi tentang perusahaan ke mahasiswa melalui berbagai kegiatan kampus dengan cara yang lebih halus dan elegan. terang Anita.

Bentuk kerjasama yang dapat dilakukan untuk menunjang Corporate Communication/Branding suatu perusahaan diantaranya melalui joint activity, guest speaker, dan industry visit , ungkap Anita. “Sudah 9 tahun kami mengadakan acara CEO Speaks, dimana setiap bulan kami mengundang orang pertama dari sebuah perusahaan ternama local maupun international untuk berbicara di depan forum mahasiswa. Acara ini dapat dibilang sebagai acara favorit dimana mahasiswa dapat berinteraksi secara langsung dengan para CEO (Chief Executive Officer) dan kami telah menghadirkan lebih dari 60 CEO imbuh Anita.

Untuk level dibawahnya, BINUS BUSINESS SCHOOL dan BINUS INTERNATIONAL juga acapkali mengundang sejumlah top executive dariberbagai industri untuk berbicara sebagai guest speaker di Kampus JWC.

Learning and Development

Selain aktivitas branding, bentuk kerja sama yang ditawarkan oleh BINUS BUSINESS SCHOOL adalah untuk mensupport Learning and Development dari perusahaan. Diantaranya adalah kerjasama riset, penulisan studi kasus (Case Study), Group Field Project dan Knowledge Sharing.

Dari sisi learning and development, kedekatan dengan industri ini turut membuahkan hasil yang memuaskan. Ya, merampungkan 100 kasus studi Indonesia dalam kurun waktu empat tahun dan menorehkan nama BINUS BUSINESS SCHOOL di Museum Rekor Indonesia. "100 local case study itu merupakan bentuk kepercayaan industri kepada kita. Perusahaan percaya kita akan menulis case study yang baik untuk mereka dan cases ini kami pakai sebagai bahan pengajaran di kelas," ujar Anita.

Human Resources

Untuk menjawab kebutuhan ini, BINUS BUSINESS SCHOOL dan BINUS INTERNATIONAL menawarkan lulusan-lulusan yang berkualitas melalui berbagai program. ”Bekerja sama dengan divisi Student & Alumni Relations, kami memberikan kemudahan bagi mahasiswa, mulai dari kesempatan magang, apprentice program, hingga perekrutan. Tujuannya agar saat mahasiswa kami lulus, mereka sudah bisa langsung diterima di perusahaan pilihannya, beberapa MNC (Multi National Company) bahkan sudah secara rutin merekrut mahasiswa terbaik kami” lanjut Anita.

Tahun Internasionalisasi

Di tahun 2012 ini, BINUS BUSINESS SCHOOL dan BINUS INTERNATIONAL terus merentangkan sayapnya ke industri-industri, terutama perusahaan yang masuk ke dalam Fortune 500 dan Kompas 100. Di tahun 2012 ini, BINUS INTERNATIONAL akan singgah ke beberapa negara tetangga seperti Vietnamuntuk menggali potensi kerjasama yang dapat dilakukan dan memberikan exposure lebih kepada para mahasiswanya.

Bukan tanpa alasan Anita menyebut Vietnam. Pasalnya, kini negara tersebut menjadi persinggahan bagi sejumlah perusahaan Kompas 100 yang hendak membuka cabang di sana. "Dengan mendekatkan diri ke sana, kita berharap mahasiswa BINUS INTERNATIONAL bisa merasakan pengalaman bekerja di perusahaan nasional, namun dengan lingkungan internasional," ujar Anita.

Kepada industri, BINUS BUSINESS SCHOOL dan BINUS INTERNATIONAL ingin menawarkan pengalaman belajar di lingkungan internasional. Pengalaman seperti apa? “Kami tidak hanya memberikan pengetahuan dalam bahasa Ingrris saja, namun yang kami tawarkan adalah “the International experience” jadi mulai dari fasilitas, qualitas pengajar, system pengajaran dan suasana semuanya berskala international” ujar Anita.

BINUS BUSINESS SCHOOL di Mata Industri

Anita mengatakan BINUS BUSINESS SCHOOL ingin menjadi mitra rekanan pilihan bagi industry dengan memberikan nilai tambah yang sifatnya win-win.. "Melalui tagline-nya: Shaping Innovative Leadership, kami optimis dapat membentuk seorang individu menjadi leader yang inovatif," tandas Anita.

Banyak industri nasional maupun multinasional yang telah menjadi partner bagi BINUS BUSINESS SCHOOL. Sebut saja, AIA Financial, Adira Finance, Allianz Indonesia, Astra International, Blue Bird Group, Microsoft , Nestle Indonesia, Ernst & Young, IBM Indonesia, Prudential Indonesia, dan masih banyak ragam perusahaan lainnya.

Secara keseluruhan, mereka memberikan respon yang sangat positif. "We have built a relationship with BBS as we believe that it is one of the best research universities, and as part of promoting a link and matching between academic programs and the business operation. It has brought many benefits for us in sharpening our way of doing business," ungkap Mursosan Wiguna, Chief HR and Compliance Officer, Allianz Indonesia, sebagaimana dikutip dari situs BINUS BUSINESS SCHOOL.

Harapan Mendatang

Atas kerja sama yang dibangun ini, Anita berharap menjadi top of mind terkait insitusi pendidikan bagi dunia industri karena kualitasnya. "BINUS BUSINESS SCHOOL memiliki relationship yang sangat erat dengan industri. Kita ingin terus membina hubungan baik dengan industri dan memberikan extra value kepada mereka. Kita ingin menjadi longterm partner bagi industri," tutup Anita.

(RAS/13012012)

karamnya sang penyair

sekian lama, kini aku sudah lupa. kugoreskan tinta di atas kanvas. hanya bentuk absurd yang tertera. ikan yang berenang dengan indah, sang jukung melaju di atas laut, birunya langit yang memantul ke kerajaan dewa baruna, serta gunung tinggi sejauh mata memandang. kucoba abadikan dalam lukisan.

entah kenapa, goresan yang menjadi duri dalam daging. sakit terasa ketika kumenari di atas kanvas. ada bagian yang hilang di lukisan itu. sebuah cawan emas yang berisi anggur kehidupan. di sana, bersemayam sebuah harapan dan cinta. kini, bagian itu entah kemana, hilang tak tentu rimbanya.

saat bulan bertengger di timur dunia, dan mentari mulai berhibernasi menanti hingga fajar berkelana mengitari buana. perahu itu kian terombang ambing dalam keresahan. dunia penyair memang kejam, sekejam ombak yang membuat perahu bergejolak, bahkan hingga karam. kini, penyair itu tengah bersemayam di tebing di tengah laut.

siapakah yang hendak menolongnya? teriakannya hanya didengar oleh burung camar. malang, sang camar pun tak kuasa menolong. apa daya, tubuh mungil menjadi kendala. tersendat oleh ragam ukuran. kulihat sang camar terbang, enyah dari pandangan. tinggallah sang penyair seorang diri, terjerembang di sana.

lalu, aku mendengar suara debur ombak. menggulung bagaikan amukan sang dewa laut. dari kejauhan, seekor lumba-lumba datang menghampiri. dia bertanya kepada sang penyair. "apa yang terjadi padamu wahai perangkai kata, pemuja keindahan, dan penguasa kalimat sendu dan nestapa?" ujar sang lumba, seraya terus mengitari tebing.

"aku karam, aku tersesat, tak tahu arah mata angin, pandangan ini nanar, dan tenggelam dimakan debur ombak. aku hanyalah seorang diri, membawa raga dan jiwa ini. hanya kutopang dagu ini, seraya memandang birunya langit. ya, pandanganku hanya biru, biru dan biru, tak ada warna lain di sana," terang sang penyair.

sang lumba menggelengkan kepala, dia tak sanggup penuhi permintaan sang penyair. wahai penyair, malang nian nasibmu. tiada yang kuasa beradu nasib di sana. jikalau, deburan ombak membesar, kiranya kau meminta pertolongan kepada sang penghancurmu, sang pembawa kekaramanmu. nikmatilah sejenak indahnya laut, kendati pahit terasa.

hidup terkadang membelenggu. ikatannya kuat dan erat. kau bagaikan terpasung dalam mahligai kebusukan dunia. tiada yang bisa kauperbuat. namun, itulah esensi hidup. kau menunggu, seraya berupaya keluar dari pasungan itu. hingga satu saat nanti, pertolongan kan datang dari Sang Raja Manusia, membawamu ke alam keabadian.

(ras/20012012)

lembayung

aku melihat sebuah lembayung. tampak, sesat menaungi langit biru. sejuta penyesalan menyeruak. hati bagai riak air yang dipecah oleh hujaman batu. sakit memang, namun dunia merupakan elemen tanpa sesal. takdir terus melaju, kendati wajahnya tak kuasa disirnakan rasa. geliat cinta, dikotori keraguan.

sore ini, riak itu terus membesar. buah gelombang menyebar di sela-sela air. sebuah kubangan yang tak kuasa menahan, hingga air bercucuran di sisinya. air pun jatuh menimpa tanah, basah dan lembab. namun, rumput coba halangi, kendati hasilnya nihil. anak baruna tetap jatuh membasahi tanah yang ruam dan coklat tua.

seiring berjalan waktu, sakit terus menaungi. sesak yang tak kuasa kutahan. tapi, keharusan menciptakan kata "maklum". ya, semua di dunia ini harus dimaklumi. Derita, nestapa, duka, dan segala sesuatu yang memiliki unsur abu-abu. ketika kucoba berhenti, dia tetap melaju.

aku melihat sepasang merpati. mereka terbang melintasi cakrawala. ya, cakrawala jingga, ketika sinar mentari menelusup di sela mega. mendung nun di sana, namun merpati tetap terbang jauh. keduanya sejenak singgah di pohon tak berpenghuni, tak berakar dan tak berdaun. bukan berteduh, hanya rehat sepintas.

kapankah bumi terbuka? aku ingin menimbun diri di sana. jauh dari kerumunan manusia. mereka yang mengenaliku dan memusuhiku. mereka yang kusebut "teman". ingin kubelakangi dunia, melihat akhirat dari sisi yang berbeda. sisi hitam dan nestapa. dimana surga? dia tersembunyi di dunia bernama utopia, impian manusia kelana.

jejak ini takkan pernah menjadi langkah. sebab, kata henti ada di dirinya. aku terus melaju dan melaju, kuterobos aral melintang, meski kesulitan membentur jerat yang bermandikan tumbuhan berduri dan akar yang menancap ke samudera. jauh di jurang tak berdasar di bumi para manusia.

(ras/20012012)

Wednesday, January 18, 2012

pergi senja, datang malam

lama tak bersua
rindukan suasana senja
ketika awan menjingga
dan, bulan sayup tiba

kidung sore bergema
selimuti wajah kehidupan
raga pun terpaku
kala, dua cahaya berpadu

renungan senja menggelayuti asa
menari di pelupuk mata
akupun tertunduk
memandang dengan sayup

pergi senja datang malam
tersenyum simpul menghantar rembulan
bayangnya masih muncul
bersama datangnya fajar

silaunya sinar yang baru
menyayat hati dalam kehangatan
hilang timbul bagai angin
yang menyerukan kerinduan

(ras/ef)