Thursday, May 31, 2012

Dan, Kisahmu Mengalun

Segelas es teh manis, dan sebatang rokok mengawal penantianku. Tak hanya itu, keduanya pun menjadi pelipur lara ketika mentari bersinar menyengat yang senantiasa memancing peluh keluar dari sarangnya seraya membasahi hampir seluruh sela-sela tubuh. Saat asap mengepul, tiada nan bisa membedakan dengan hawa dingin dari batu es.

Di sebuah Warung Tegal—sebuah franchise asli Indonesia yang berada di seluruh pelosok kota--, aku duduk di belakang meja makan. Namun tak ada yang teronggok di sana, selain segelas es teh manis, dan sebuah asbak yang sarat dengan abu rokok. Raga ini menghadap di depan kaca. Tatapanku tertuju pada lalu lalang kendaraan di satu kampus di bilangan Kemanggisan.

“Aku menunggu seorang malaikat yang akan turun ke bumi. Tuhan telah mengizinkannya untuk mengisi senja bersamaku. Namun, Dia berpesan agar aku tidak membawanya terlalu jauh, dan memulangkan malaikat itu tepat waktu. Tidak larut malam pula,” ungkapku kepada kertas di sebuah buku kecil yang selalu kubawa kemanapun kupergi.

Waktu menunjukkan pukul 15.30 WIB, namun langit masih cerah. Tidak ada tanda-tanda dirinya hendak melayang menyambangi jejak di peraduan Ibu Pertiwi. Sedangkan, aku melihat Semesta tengah bergumam seraya menatap kalender dinding yang menunjukkan “Sabtu, 26 Mei 2012.” Sembari melamun, Dia menggulirkan waktu. Buana pun bergerak, berotasi.

Tak seberapa lama, dia datang. Tanpa sayap, berbalut pakaian berwarna merah muda, celana jeans abu-abu dan sepatu putih yang mampu menuai pandangku. Tak lupa, aku membayar minuman. Kala bertransaksi dengan sang penjual yang kental berbahasa Tegal, pandangku tak bisa lepas darinya. O, Tuhan. Sudah lama aku tak memandang dia sedekat ini.

“Mau kemana kita?” ucapnya kepadaku, tanpa sedikitpun senyum yang tersungging di bibirnya. “Lihat saja nanti,” kataku sambil tertawa, seraya memancing agar senyum itu merekah indah. “O, kejutan lain ya. Kamu banget,” ungkapnya, masih tanpa bibir yang ujung-ujung tak bergerak ke atas sama sekali. Wajah itu, o, dingin itu. Tapi, itu yang buatku terbuai.

Sepeda motor melaju meniti jalan yang penuh dengan berbondong-bondong manusia. Maklum, inikan malam minggu (mengutip dari sepenggal lirik lagu dangdut koplo). Gelombang pergerakan mereka bagaikan ombak yang menerjang menuju pantai. Aku dan sepeda motorku terombang-ambing kesana-kemari. Tak ada bedanya Sabtu dan hari-hari biasa.

Diam, sepanjang jalan aku hanya mendengar suara jangkrik yang membelah di selasar otakku. Sembari menyetir, aku mencari topik-topik yang hendak aku lontarkan. Alhasil, tak ada suara lain, selain bising kendaraan berpolusi Ibu Kota. Ya, aku dan dia terdiam. Entah apa yang kami pikirkan. Hanya sesekali aku berbicara dengannya. Sisanya, hanya diam menghiasi.

Sepanjang jalan, hatiku tak hentinya tersenyum dan bernyanyi. Seolah, aku tak ingin hari ini berakhir. Begitulah rapal doaku kepada Sang Pencipta. Lagu You Gave Me The Answer dari Paul McCartney & Wings pun mengalun lembut. Sendu jiwa. “Heading back to old familiar places. Places where the cobwebs blow away. I can forget the airs and graces.”

Singgah sejenak di Masjid Sunda Kelapa. Memarkirkan sepeda motor, sekaligus menunaikan ibadah. Setelah itu, “Sekarang kita kemana?” ungkapnya kepadaku. Kini bibir itu mulai bermurah hati untuk tersenyum. “Maaf aku menculikmu lagi. Tempatnya di belakang masjid ini kok. Bisa dijangkau dengan berjalan kaki kok,” kata diriku menyambut senyuman yang secuil itu.

Senja menegur setiap manusia yang menyapanya. Kemudian, senja balik menyapa mereka dengan pelukan yang penuh kehangatan berisi sinar mentari yang muram dan wangi daun yang meranggas menyentuh tanah basah. Jalan setapak pun jauh dari gersang usai diusap mentari siang yang terlampau tegas kepada mahluk bumi, dan membuat mereka bersimbah peluh.

Kawasan Menteng, Jakarta Pusat, cukup ramai dengan mobil yang lalu lalang. Mereka termasuk ke dalam gerombolan manusia yang hendak menikmati malam minggu. Tak jarang pula yang menggunakan sepeda motor. Berupaya melawan dinginnya hawa malam nanti dan muramnya cuaca senja demi ritual yang digandrungi sejak para tetua kita masih muda.

Aku dan dia menuju sebuah taman. Taman Surapati, namanya. Tak berubah, taman itu masih dihiasi dengan pohon-pohon besar yang mengelilingi taman, selain parit tempat tongkrongan jejaka muda. Senja itu, taman sarat dengan manusia. Ada yang berpasangan, ada yang bersama rombongan keluarga, ada pula yang sendiri demi sejentik insipirasi.

Kami duduk sebuah pelataran taman, menghadap ke gedung seraya menatap lembayung menghiasi petang ini. Tidak jingga seperti biasa, namun biru muda. Warna yang sama ketika langit berucap siang, tapi dengan hawa yang berbeda. Lebih hangat, tidak panas. Aku menatapmu sejenak. Tak henti, aku berterima kasih kepada suasana yang merencanakan skenario ini.

Sesosok wajah yang kerap membelakangiku, kini berdiri di depanku. Suara yang sayup-sayup dulu kudengarkan dari balik sekat kaca, kini terdengar jelas di telingaku. Aku merindukan cerita itu, ceritamu. Seperti kata Yes dalam lagu Wonderous Stories. “I beg to leave to hear your wonderous stories. Beg to hear your wonderous stories.”

“Aku senang mendengarkan cerita-ceritamu, baik itu tentang masalah dunia, keluarga, hingga dirimu sendiri. Rindu inilah yang memaksaku untuk berbicara denganmu. Untuk memancing agar cerita-cerita itu mengalir dari bibirmu. Bagaikan nyanyian yang teralun dari sebuah alat musik harpa. Penuh kerinduan dan kesenduan,” tuturku kepadanya.

Dengan wajah yang menuai banyak pikiran, dia pun berkata “mengapa kamu suka dengan cerita-ceritaku? Bukankah itu hanya cerita biasa?” Aku melihat senyuman di wajahnya. O, Tuhan. Terima kasih karena Engkau telah menggerakkan bibir itu. Dengan senyum itu, seluruh dunia akan menyambutnya dengan rasa suka cita.

“Tak semua hal memiliki alasan. Banyak pula kejadian yang tidak membutuhkan alasan untuk mencernanya. Pun demikian dengan kegemaran dan kerinduanku terhadap ceritamu. Cerita itu membuatku terus ingin menyimak, bagaikan seorang anak yang mendapatkan dongeng dari ibunya. Terlebih, cerita itu mengalir dari seorang yang tak biasa di mataku,” pungkasku.

Seolah suasana mencair. Tak ada lagi gumam di hati, tawa ceria mencuat di tengah taman, meski tak menganggu manusia lainnya. Obrolan pun mengalir dari yang serius hingga tidak serius. Entah kenapa hal seperti ini yang aku rindukan pula. Suasana nyaman, dengan seorang yang tepat untuk mendengarkan cerita itu. Tanpa beban, dan bisa menjadi diri sendiri.

Momen ini diabadikan oleh manusia-manusia di sekelilingku dengan rimbunnya obrolan di antara mereka. Penjual minuman pun tak kugubris saat menawarkan dagangannya. Bahkan, bebunyian orkestra taman tidak membuat telinga ini bergeming. Aku terus menyimak cerita itu. Dia pun senantiasa bernyanyi lagu yang sarat keindahan dan juga nestapa.

Cerita itu mencapai titik sendu, ketika aku melihat matanya. Beribu pikiran dan masalah tercermin dari balik indahnya bola mata itu. Seakan, mata itu selalu membasah ketika dia bercerita. Dari balik tawanya yang tersempil di antara cerita-cerita itu, aku merasakan kesedihan dan kemuakkan terhadap dunia yang mengelilingi. Yah, mungkin itu hanya sebuah intuisi semata.

Pandangannya nanar, meski cerita itu tengah mencapai babak kebahagiaan. Sebuah utopia, dunia impian, tercermin dari matanya. Seluruh kesedihan dan kebahagiaan terbungkus oleh raga yang selalu bersikap dewasa dalam setiap perilaku. Konflik batin dan pikiran-pikiran menerawang tersimpan rapat di dalam selasar otaknya. Dia tegar menghadapi dunia yang mengitarinya.

“Itulah yang membuatku mencintaimu. Kau berada di dunia yang tidak semestinya. Tapi, tidak menyerah dan bertahan. Itulah yang kau lakukan selama ini. Seperti diriku yang mendambakan sebuah utopia, dunia impian, di dalam kondisiku yang diliput nestapa. Dan, kegetiran itu aku tutupi dengan senyuman,” ujar diriku di dalam hati.

Aku melihat semuanya. Bukan dari cerita-cerita itu, tapi dari caranya menuturkan kisah itu. Ketika berbicara, beberapa kali aku melihat dia terdiam. Dengan mata yang berputar, dia memikirkan sesuatu. Entah apa itu. “Aku memang seorang pemikir. Aku selalu berpikir tentang apapun,” ujarnya kepada diriku seraya kembali terdiam.

“Nothing is real.” Kalimat itu disematkan The Beatles dalam lagu Strawberry Fields Forever. Tidak ada yang nyata, ketika aku mendengarkan apa yang diucapkannya. Aku hanya membaca tanda-tanda untuk mengetahui cerita di balik kisah-kisah itu. Karena dengan begitu, aku berharap bisa mengenal dirinya, lebih dari apapun. Bukan hanya sekadar dari kata-kata yang teruntai.

“Sudah lama, kita tidak mengobrol seperti ini. Sejak 4 Maret 2012, ketika itu aku terakhir berbincang denganmu di sebuah rumah makan vegetarian,” ujarku. “Kamu masih ingat saja,” tandas dirinya setengah tersenyum. “Aku bukan pengingat yang baik, bahkan cenderung pelupa. Entah kenapa, momen denganmu selalu melekat di otak ini,” jawabku.

“Lama juga kau mengacuhkan aku. Membuatku memohon kepada Sang Pencipta. Sejak kisah-kisah itu bergulir, malam itu dan saat aku menyatakan cinta kepadamu. Lalu kau mengacuhkan aku. Hingga kini, aku bisa mengatakan semua di depanmu, dan melihat wajahmu sedekat ini. Selama ini, aku hanya bisa menatap jauh punggungmu yang membelakangiku,” ungkapku, tersenyum.

“Iya, berterima kasihlah kepada kebodohanmu. Kebodohan yang menyebabkan raga ini enggan menggubris dan mengacuhkan dirimu,” ujarnya seraya menatap langit yang nampak mulai menggelap dan kemudian dia tertawa. Entah mengapa, aku senang mendengar tawa itu. “Inilah cinta, nona. Seluruh tubuh manusia tak lebih diselimuti kebodohan,” tandasku.

Dan, aku tak henti melihat mata itu, senyum itu. Seolah, dia mengetahui bahwa tak ada wanita yang membuat aku seperti ini, kecuali dirinya. Seakan dia tahu, hati ini telah terbelah, dan setengahnya aku berikan kepada dia. Aku tak lebih sesosok jiwa yang pincang dan mudah letih, bagaikan manusia yang diambil sebagian fungsi tubuhnya. Itulah aku, kini.

Sinar mentari yang redup, kini padam sama sekali. Bergantian, bulan naik ke pangkuan malam. Berkedip bintang, ramai menghiasi pesta yang diadakan sang putri malam. Adzan Maghrib pun berkumandang, mengingatkan manusia untuk memenuhi panggilan untuk bertemu dengan-Nya. Tak ayal, Masjid Sunda Kelapa menjadi destinasi kami kembali.

Dingin malam kian menusuk kalbu. Tidak panas, karena cuaca yang diliputi sang mendung. “Kita pulang. Ayahmu khawatir tampaknya, tampak dari nada suara saat meneleponmu,” ujarku. “Ya, kekhawatiran itupun akibat kebodohan kamu,” tuturnya kepadaku. Gelak tawa pun membahana, mengganggu manusia lain yang tengah bersantap malam di depan masjid itu.

Kembali berkendara sepeda motor. Kendara kali ini berbeda. Aku dan dia berbicara, meski tak saling melihat. Lampu jalanan, mobil lalu lalang, hiruk pikuk manusia, dan dinginnya. Semua aku acuhkan, demi mendengar ceritanya. Sepeda motor pun melaju rada kencang. Aku enggan membiarkan kekhawatiran di dalam hati ayahnya, yang senantiasa menanti sang putri pulang.

Hari ini memang seperti hari-hari kemarin. Namun, hari ini aku tak hanya berbicara dan mendengar ceritanya. Tapi, aku bisa melihat senyum dan tawa di wajahnya. Berbeda ketika dia mengacuhkanku. Aku merasakan kedekatan yang tak biasa. Inikah cinta atau hanya intuisi semata yang datang dan musnah tiba-tiba? Dan, aku pun ingin mencari jawabnya.

Monday, May 21, 2012

Puan

Katakan kepada sang waktu
Benarkan hidup itu semu?

Aku bergulir bak roda pedati
Memecah langit, merangkai hari
Sadarkan diri nan sarat hati
Rindukan puanku kini

Senja terus berganti
Namun, tidak hari ini
Remangnya sunyi
Tanpa dia di sini

Wahai sang waktu
Kau memijakkan kaki kini
Tak berderap, langkah henti
Tanpa sang puan di sisi

Sunday, May 13, 2012

Prosa Pagi Ini

Katakanlah? Ketika engkau memejamkan mata, apa yang terlihat? Ketika musik mengalun, apa yang terdengar? Satukanlah imajinasi itu, maka kelak akan tercipta adegan demi adegan. Semuanya saling bersinergi. Imajinasi utuh pun tercipta.

Namun, apa yang terjadi jika seluruh imajinasi itu tertutup oleh bayangan kerinduan? Sebuah kabut tebal yang biasa menyelimuti pegunungan. Imajiku bagaikan pelangi yang terhalang oleh rapatnya selasar awan gemawan. Tak tampak, tak terasa pula.

Bayangan itu adalah kamu. Mengendap jauh di lubuk pemikiranku. Mengacak-acak emosiku. Dari kerinduan hingga cinta yang mendalam. Buah karya ciptaan Sang Semesta, yang menghipnotis mata seraya menjatuhkan harga diri sebuah jiwa.

Hanya lewat tulisan ini aku berkata. Persetan dengan segala ekspresi kasat mata yang selalu menaungi wajah ini. Tawa lepas, canda raya. Semuanya semu ketika kau melihat apa yang tampak dibaliknya. Sebuah ekspresi kerinduan, tak kasat mata.

Rapuh mungkin. Namun, inilah ekspresiku. Ketika imajinasi tak kuasa untuk menggambarkan masa depanku. Saat seluruh dunia dengan segala masalahnya tak kugubris. Karena, duniaku adalah kamu, yang senantiasa mengajak jiwa ini mengarungi semesta.


Monday, May 7, 2012

Dead Poets Society II

"No matter what anybody tells you, words and ideas can change the world." _John Keating_

Dead Poets Society

"We read and write poetry because we are members of the human race. And the human race is filled with passion. And medicine, law, business, engineering, these are noble pursuits and necessary to sustain life. But poetry, beauty, romance, love, these are what we stay alive for." _John Keating_

Thursday, May 3, 2012

Fantasi Ganjil

Tanah terapung
Pulau nan jauh
Gapai sang sukma
Gegap gempita

Imaji nan tertatih
Nun peluk mesra
Jiwa mengelak
Kerinduan dunia

Lengkung awan
Biru langit
Cakrawala senja
Bertabur swara

Lelap terjaga
Titian bermuara
Sungai memadu
Resah dalam rindu


Wednesday, May 2, 2012

Bayang

Dihantui bayangmu?
Ku berpikir bukan itu
Itu hanyalah  perpektif
Pandangku atas dirimu

Kendati menghitam
Namun cukup nyata
Tersirat noda kelam
Ruang yang terlunta

Berbuai kerinduan
Berlumur cinta
Berharap santunan
Hati nan luka

Perahu Kertas

"Karena hanya bersamamu, aku tak takut lagi menjadi pemimpi," _Perahu Kertas_

Riak

Bising Hati
Riak Gejolak Kalbu
Suram Pelangi
Semua menyatu

Dalam titian sepi
Guratan raut wajah
Terduduk menepi
Menanti sang cerah

Tampak, roda melaju
Berpacu dengan waktu
Tak terbersit ragu
Kala melihat dirimu