Wednesday, June 20, 2012

Kisah Unik Seputar Patung Pancoran

Jika melewati jembatan Pancoran, Jakarta Selatan, Anda bakal menemui tugu melengkung yang dihiasi oleh sebuah patung di atasnya. Ya, namanya adalah Patung Dirgantara, namun masyarakat lebih mengenalnya dengan sebutan Patung Pancoran--karena lokasinya berada di bilangan Pancoran.

Namun, tahukah Anda? Ada kisah unik dibalik pembuatan patung tersebut. Ya, Patung Dirgantara di bundaran Jalan Jenderal Gatot Subroto itu dibuat berdasarkan rancangan Edhi Sunarso, dikerjakan oleh pematung keluarga Arca Yogyakarta pimpinan Edhi Sunarso.

Ide pertama pembuatan patung itu datang dari Presiden RI Pertama, Ir. Soekarno yang menghendaki agar dibuat sebuah patung mengenai dunia penerbangan Indonesia atau kedirgantaraan. Patung ini menggambarkan manusia angkasa, yang menyimbolkan semangat keberanian bangsa Indonesia menjelajah angkasa.

Pada awalnya pembuatan patung itu, Bung Karno sendirilah yang menjadi modelnya. Sebelum maket patung dikerjakan oleh Edhi Sunarso, Bung Karno berulang kali memperagakan bagaimana model patung itu harus berdiri. Dan, biaya pemasangan patung ini berasal dari kocek pribadi Bung Karno dengan menjual sebuah mobil pribadinya.

Proses pemasangan Patung Dirgantara selalu ditunggui oleh Bung Karno. Alhasil, kehadirannya selalu merepotkan aparat negara yang bertugas menjaga keamanan sang Kepala Negara.

Alat pemasangannya pun sederhana saja: dengan menggunakan Derek tarikan tangan. Patung yang berat keseluruhannya 11 ton tersebut terbagi dalam potongan-potongan yang masing-masing beratnya 1 ton.

Patung ini terbuat dari bahan perunggu. Berat patung tersebut 11 ton dengah tinggi 11 meter. Sementara tinggi voetstuk (kaki patung) 27 meter, dikerjakan oleh PN Hutama Karya dengan Ir. Sutami sebagai arsitek pelaksana.

Ada pula isu menarik seputar Patung Pancoran. Konon, patung itu menunjuk sebuah tempat dimana Bung Karno meletakkan harta kekayaannya. Dan, harta itu dipercaya dapat melunasi utang-utang negara.

Selain itu, beberapa orang menceritakan bahwa patung ini menghadap ke sebuah Pelabuhan Sunda Kelapa. Nah, selama masa penjajahan Belanda, pelabuhan tersebut menjadi jantung peradaban bangsa Indonesia.

Potret Sejarah Tanah Abang

Apa yang Anda temukan ketika melewati bilangan Tanah Abang? Nadi perekonomian yang tak henti-hentinya berdetak. Keramaian yang tak kunjung selesai, terlebih ketika musim liburan datang. Kawasan tersebut menjadi salah satu jantung perekonomian warga Jakarta. Ingin berburu baju, oleh-oleh, atau pernak-pernak lainnya? Tanah Abang lah tempatnya.

Namun, tak jarang pula yang mengetahui kawasan Tanah Abang adalah salah satu wilayah yang cukup tua di Jakarta. Ada dua pendapat mengenai asal mula nama Tanah Abang. Pertama, dihubungkan dengan penyerangan Kota Batavia oleh pasukan Mataram pada tahun 1628. Serangan dilancarkan ke arah kota melalui daerah selatan, yaitu Tanah Abang.

Tempat tersebut digunakan sebagai pangkalan karena kondisinya yang berupa tanah bukit dengan daerah rawa-rawa dan ada Kali Krukut di sekitarnya. Karena tanahnya yang merah, maka mereka menyebutnya “tanah abang” yang dalam bahasa Jawa berarti merah.

Kedua, adanya pendapat yang mengartikan Tanah Abang dari kata “abang dan adik”, yaitu dua orang bersaudara kakak dan adik. Karena adiknya tidak mempunyai rumah, ia minta kepada abangnya untuk mendirikan rumah. Tanah yang ditempati disebut tanah abang.

Nama Tanah Abang mulai dikenal ketika seorang kapten Cina bernama Phoa Bhingam minta izin kepada Pemerintah Belanda untuk membuat sebuah terusan pada tahun 1648. Penggalian terusan dimulai dari arah selatan sampai dekat hutan kemudian dipecah menjadi dua bagian, daerah timur sampai ke Kali Ciliwung dan ke arah Barat sampai Kali Krukut.

Terusan ini bernama Molenvliet dan berfungsi sebagai sarana transportasi untuk mengangkut hasil bumi dengan menggunakan perahu ke arah selatan sampai dekat hutan. Adanya Molenvliet memperlancar hubungan dan perkembangan daerah kota ke selatan.

Bahkan jalan-jalan yang berada di sebelah kiri dan kanan terusan itu merupakan urat nadi yang menghubungkan Lapangan Banteng, Merdeka, Tanah Abang, dan Jakarta Kota.

Daerah selatan kemudian muncul menjadi daerah perkebunan yang diusahakan oleh tuan tanah orang Belanda dan Cina. Jenis perkebunan yang diusahakan antara lain kebun kacang (saat itu minyak kacang merupakan bahan komoditi yang laris), kebun jahe, kebun melati, kebun sirih, dan lainnya yang kemudian menjadi nama wilayah sampai sekarang.

Karena melimpahnya hasil-hasil perkebunan di daerah tersebut mendorong Justinus Vinek untuk mengajukan permohonan mendirikan sebuah pasar di daerah Tanah Abang dan Senen. Setelah mendapat izin dari Gubernur Jenderal Abraham Patras pada tanggal 30 Agustus 1735, Vinck membangun dua pasar, yaitu Pasar Tanah Abang dan Pasar Senen.

Peranan Kali Krukut pun makin penting sebagai tempat berlabuhnya perahu yang memuat barang-barang yang akan djual ke Pasar Tanah Abang. Selain digunakan sebagai sarana transportasi, Kali Krukut juga digunakan untuk keperluan sehari-sehari penduduk. Untuk menjaga kebersihan dan mencegah banjir, Pemerintah Belanda membuat pintu airpada tahun 1917.

Di bawah kekuasaan penjajah penduduk Tanah Abang juga tidak tinggal diam. Pernah terjadi pertempuran antara pasukan Belanda dengan penduduk daerah Tanah Abang di Kampung Karet dekat kuburan. Waktu itu Belanda mencoba menduduki kantor cabang polisi supaya Tanah Abang terputus hubungannya dengan daerah-daerah lain.

Wilayah Tanah Abang meliputi Kelurahan Kampung Bali, Kebon Kacang, dan Kebon Melati. Tetapi yang menjadi inti Kampung Tanah Abang adalah di sekeliling Pasar Tanah Abang. Asal mula nama Kampung Bali berawal dari banyaknya orang Bali yang tinggal di sana.

Pada waktu itu pemerintah Belanda memberikan pangkat kapten kepada kepala kelompok suku-suku bangsa yang ada di Batavia. Sehingga muncul nama Kampung Bali, Kampung Bugis, Kampung Melayu, Kampung Ambon, Kampung Cina, dll.

Bahkan menjelang akhir abad ke-19 banyak orang Arab yang menghuni wilayah ini. Di tahun 1920 jumlahnya mencapai 13.000 jiwa. Untuk memenuhi kesukaan orang-orang Arab makan daging kambing, Pasar Tanah Abang pun makin ramai melayani keperluan kambing.

Ada juga suatu daerah yang disebut Kombongan. Dulu tempat ini dipakai kusir saldo dan delman untuk beristirahat sambil memberi makan kudanya. Makanan kuda itu diletakkan di sebuat tempat yang disebut kombongan, yaitu alat (wadah) yang bentuknya bulat, terbuat dari batu dan semen.

Tidak jauh dari pangkalan-pangkalan saldo dan delman, terbentang perkebunan pohon jati yang luas. Penduduk di sekitarnya menyebut daerah itu Jatibaru. Nama Kebun Dalam berasal dari sebuah kebun milik tuan tanah Cina, Tan Hu Teng yang agak menjorok ke dalam. Nama Tanah Rendah, karena tanahnya agak rendah dan letaknya berdekatan dengan Kali Krukut.

Wednesday, June 6, 2012

Anonim

Ketika hari tertiup bayu
Aku pandangi wajahmu
Tanpa senyum merindu
Hanya ada untaian kalbu

Kini, kau nun di sana
Dalam pelukan waktu
Geliat surga bergembira
Tapi, neraka bagiku kini

Aku merindukan wajah itu
Senyum dingin, mata sayu
Ketika kau tidak melirik
Hanya hatiku nan bergidik

Tuesday, June 5, 2012

Komunitas Jelajah Budaya

Modernisasi menggerus seni budaya dan sejarah Jakarta. Alhasil, keduanya kurang diapresiasi masyarakat, bahkan cenderung telantar. Berangkat dari keprihatinan ini, berdirilah Komunitas Jelajah Budaya. Diprakarsai pada 17 Agustus 2003, komunitas ini ingin menjawab keresahan masyarakat atas kurangnya informasi sejarah Jakarta.

"Dulu pemrakarsa KJB berpikir, kita kini tinggal di Jakarta, tapi nggak tahu banyak bahkan buta sejarah Jakarta. Jadi, keprihatinan ini muncul dan mendorong kita bisa menumbuhkan perhatian dan apresiasi atas kekayaan warisan bangsa. Sebab, bagaimana mungkin apresiasi tumbuh, kalau tidak tahu akar sejarah," tutur Kartum Setiawan, penggerak KJB sekaligus peneliti di Museum Mandiri kepada Warta Kota, belum lama ini.

Warisan budaya yang dimaksud Kartum, di antaranya seni, budaya, bahasa, ilmu dan teknologi, bangunan bersejarah yang menjadi Bangunan Cagar Budaya (BCB), termasuk peristiwa dan tokoh-tokohnya. Keprihatinan itu kian nyata tatkala memudarnya ciri-ciri budaya. Padahal, itu sebagai karakter etnik dan suku bangsa kita di tengah imbas globalisasi.

Sejak KJB berdiri, mulai muncul berbagai pertemuan. Isinya adalah kegiatan diskusi. Dalam waktu dua tahun, diskusi itu berkembang. Bahkan, mereka yang merasa antusias untuk mengembankan KJB. Bukan hanya diurus oleh para pemrakarsanya, yakni kalangan mahasiswa dan sarjana di bidang Sejarah dan Arkeologi. Berbagai kelompok dan individu dari lintas disiplin dan ilmu pun bergabung.

Kini, tutur Kartum, anggota KJB di dunia maya, terutama di jejaring sosial, menyentuh angka 3.600 orang. "Kalau di Facebook, jumlahnya terus bertambah. Malah, nggak pernah turun," tutur Kartum. Sedangkan, anggota aktif KJB berjumlah lebih dari 50 orang.

Saban bulan, KJB selalu memiliki program. Bahkan, kata Kartum yang menjadi motor acara jalan-jalan KJB, mengatakan seringkali satu bulan mereka menjalankan tiga kegiatan sekaligus.

"Seperti bulan ini, misalnya, kita punya tiga program. Selain ke Istana Negara, juga ke Kota Tua, dan tempat peninggalan sejarah lainnya," ungkap Kartum. Dia pun menyebutkan bahwa target utama Jalan-Jalan KJB adalah melakukan lawatan ke museum, situs peninggalan dan Kota Tua.

Komunitas Jelajah Budaya
Jalan Lapangan Stasiun No. 1 Jakarta-Kota
Kontak: 0817 9940 173
E-mail: kartum_boy@yahoo.com
jelajahbudaya.blogspot.com