Wednesday, October 30, 2013

Keberadaan Abu Freddie Mercury Terungkap

LEBIH dari 20 tahun setelah kematiannya, akhirnya terkuak sudah misteri tempat peristirahatan terakhir vokalis band rock legendaris Queen, mendiang Freddie Mercury.

Sejumlah spekulasi menyebutkan, abu Freddie itu disebar ke Danau Jenewa, Afrika timur, Pulau Zanzibar atau di rumahnya di Kensington, London, Inggris. Namun, belum lama ini, ditemukan plakat peringatan untuk Freddie di pemakaman di London Barat.

Saturday, October 19, 2013

Kamu...

Aku menyayangi kamu
Kamu dengan mahkota waktu
Hati pun tak menentu
Saat bertemu kamu

Aku merindukan kamu
Namamu nan terbawa angin lalu
Di sela hujan air mata sendu
Namun kamu tetaplah syahdu

Kamu menghiasi ruang hidupku
Terbilang hari, menanti saat itu
Bertabur cinta, buluh perindu

Saat aku dan kamu satu...

Friday, October 18, 2013

Akhir Hayat Sang Vokalis Flamboyan...

NOVEMBER 1991. Di sebuah rumah di Kensington, Inggris, sesosok tubuh lunglai terbaring tak berdaya. Hampir seluruh inderanya--terutama penglihatan--mulai berkurang. Kondisinya rapuh, stamina menurun drastis. Di samping raganya yang mulai sirna, dua ekor kucing setia menemani. Melingkar di atas tempat tidur, dimana sang tuan tergolek lemah. Tubuh itu adalah milik Farrokh Bulsara atau yang lebih dikenal dengan nama panggungnya: Freddie Mercury.

Di kamar itu, Freddie berada di ambang kematian. "Pee pee (buang air kecil)," kata Freddie kepada dua orang yang menemaninya, Peter "Phoebe" Freestone, asisten pribadi Freddie; dan Jim Hutton, pacar gay Freddie. Siapa nyana, itu adalah kata-kata terakhir yang diucapkan oleh vokalis band terkenal, Queen, ini. Tubuhnya yang lemas, membuat Freddie harus dibopong. Dia meminta tolong kepada mereka untuk diantarkan ke kamar mandi.

Jim menggendong Freddie. Dilingkarkannya tubuh Freddie ke badan Jim. Saat hendak turun dari tempat tidur, terdengar bunyi retakan tulang. Seperti suara tulang yang patah dari tubuh Freddie yang lemah. Sang biduan bersuara emas itupun berteriak. Merintih kesakitan, dan langsung pingsan tak sadarkan diri. "Seperti suara ranting pohon yang terinjak," terang Jim Hutton.

Sosok Freddie yang tak berdaya ini sangat berbeda ketimbang di masa jayanya. Freddie merupakan seorang vokalis yang enerjik. Polah tingkahnya di atas panggung selalu bisa membakar emosi penonton. Gaya serta kharisma dari seorang Freddie membuat 120 ribu orang rela berdesak-desakan memadati di Lapangan Knebworth, Stevenage, Inggris. Tujuannya cuma satu: melihat Freddie dan bandnya, Queen, mengguncang panggung.

Knebworth mungkin merupakan salah satu konser terbaik dari Queen. Namun, Live Aid pada 13 Juli 1985 merupakan penampilan paling terbaik Queen. Terbaik dari yang terbaik. Betapa tidak, Queen mencuri perhatian para penonton yang notabene bukan hanya penggemar dari grup tersebut. Mereka berasal dari beragam lapisan penggemar. Maklum, saat itu, ada sejumlah band hebat yang tampil dalam acara penggalangan dana tersebut. salah satunya Led Zeppelin.

Mungkin banyak menduga Led Zeppelin lah band yang paling ditunggu. Pasalnya, sejak kematian sang drummer John Bonham pada 1978, band tersebut jarang, bahkan tidak pernah, tampil di depan publik dalam suatu konser. Namun, demi menggalang dana untuk korban kelaparan di Ethiopia itu, Led Zeppelin kembali tampil. Tanpa John Bonham tentunya. Zeppelin mengajak drummer Genesis, Phil Collins, mengisi kekosongan.

Namun, Freddie dan Queen merupakan sosok yang paling ditunggu-tunggu. Maklum, Queen kembali setelah vakum. Kreativitas yang mangkrak membuat masing-masing personelnya sibuk mengerjakan proyek solo karier. Queen pun telantar. Kendati begitu, mereka sadar. Queen masih menancap dalam di hati penggemar. Mereka raib di puncak kejayaan. Kini, mereka siap mengibarkan bendera berlambang huruf Q dengan ornamen dua singa, kepiting, dan perawan kembar itu.

Suara gemuruh penonton membahana. Mengisi setiap sudut di Stadion Wembley, London, tempat penyelenggaraan Konser Live Aid. Freddie, Brian May, John Deacon dan Roger Taylor, tengah bersiap di belakang panggung. Mereka siap tampil. Penonton terus bergemuruh. Beberapa di antaranya membawa atribut slater yang dibentangkan bertuliskan "Queen Works." Langit pun siap menanti kehadiran salah satu band terbaik di dunia itu.

Saat itu, Freddie yang sempat dikabarkan terpapar virus mematikan HIV/AIDS, tengah menderita penyakit tenggorokan. Dokter pribadi sempat menasehati pria kelahiran Stone Town, Zanzibar, 5 September 1946, itu untuk tidak tampil di Live Aid. Namun, Freddie tidak mengindahkan. Dia tahu, hidupnya hanyalah untuk menyenangkan para penikmat suara dan aksi panggungnya. Dia enggan mengecewakan para penggemarnya.

Queen masuk ke panggung. Langit tak kuasa menahan riuh penonton. Awan pun tersibak, mempersilahkan sinar matahari menyinari tahta sang 'ratu' saat tampil di atas panggung. Lagu pertama langsung dinyanyikan oleh Freddie. Denting piano berbunyi. 'Bohemian Rhapsody' mengalun. Penggemar bersorak, ada pula yang meneteskan air mata. Dengan suara yang rada serak namun masih perkasa, Freddie menyanyikan lagu monumental Queen itu.

Meski hanya diberikan waktu hampir setengah jam, Queen tak henti menggeber lagu-lagunya. Kontan, penonton kian terbakar. Dimulai dari 'Bohemian Rhapsody', 'Radio Ga Ga', ditambah improvisasi vokal Freddie yang mengajak penonton bernyanyi, 'Hammer To Fall', 'Crazy Little Thing Called Love', dan lagu pamungkas 'we Are The Champions'. Setengah jam yang mengagumkan.

Tak terbantahkan, Freddie memang merupakan sosok yang flamboyan dan percaya diri di atas panggung. Padahal, Freddie pernah mengakui dirinya adalah seorang introvert, cenderung pemalu. Dia tidak suka diwawancarai, dan hampir tertutup terhadap media. Namun, ketika berada di atas panggung, jubah itu ditanggalkan. Freddie menjadi seorang sosok yang jauh berbeda. Seorang frontman yang bisa membawa emosi penonton, hingga klimaks.

Namun, HIV/AIDS menggerogotinya. Hal ini dikarenakan gaya hidup bebas yang dianutnya. Freddie merupakan biseksual. Dia pernah memiliki istri bernama Mary Austin, yang hingga akhir hayatnya, menjadi teman terbaik Freddie. Freddie pun memiliki seorang kekasih gay bernama Jim Hutton. Freddie dan Jim yang juga seorang hairdresser itu, di sebuah bar pada 1984.

Kabar penyakit HIV/AIDS yang diderita Freddie sudah terendus oleh media. Namun, orang-orang di sekeliling Freddie menutupinya. Kendati begitu, mata manusia tidak bisa dibohongi. Semakin lama, fisik Freddie semakin kurus dan kuyu. Matanya sayu. Tatapannya lemah. Kondisi tubuhnya semakin menurun. Tapi, tak ada seorang pun yang berani bicara terkait lekatnya HIV/AIDS di tubuh Freddie.

Koran The Sun edisi 29 April 1991 menguak misteri itu. Di halaman depan koran, terpampang foto Freddie Mercury dengan kondisi yang sangat tidak biasa. Foto dari samping badan itu memperlihatkan Freddie dengan seorang temannya, melangkah dari sebuah rumah. Kondisi badannya tampak kurus dan lemah. Bertolak belakang dengan kondisi Freddie yang enerjik dan sehat.

Meski sakit dan kondisinya lemah, Freddie tetap bersumpah setia pada Queen. Album demi album diselesaikannya di tengah ancaman HIV/AIDS. Tujuannya: demi memuaskan dan tidak mengecewakan para penggemarnya. Album 'The Miracle' dan 'Innuendo' pun dirilis. Saat itu, kondisi Freddie sudah menunjukkan gejala penurunan.

Puncaknya, saat pembuatan video klip lagu 'These Are The Days Of Our Live' pada Mei 1991. Dalam vido klip tersebut, Freddie mengenakan kemeja dengan motif warna-warni yang tampak terlalu besar untuk tubuhnya. Mata sayu. Badan kurus. Suaranya pun kian menipis, tidak segarang dulu. Namun, vokalis flamboyan ini tetap ingin bergaya. Siapa sangka, itu adalah penampilan terakhirnya di kamera.

Freddie merampungkan rekamannya bersama Queen pada Juni 1991. Sehabis itu, dia memilih untuk menyendiri di rumah di Kensington. Marie Austin merupakan salah satu orang yang menemani Freddie di saat-saat terakhir. Marie selalu rutin mengunjungi Freddie. Kondisinya memburuk. Freddie memutuskan untuk mempercepat kematiannya. Dia menolak untuk menenggak obat-obatan.

Pada 23 November 1991, misteri itu terungkap. Melalui manajer Queen, Jim Beach, Mercury mengakui dirinya mengidap HIV/Positif. Hal itu tersirat dalam sebuah surat atas nama Mercury yang dibacakan oleh Jim Beach.

"Saya ingin mengkonfirmasi bahwa saya telah diuji HIV positif dan AIDS. Saya merasa perlu untuk menjaga informasi khusus ini untuk melindungi privasi orang di sekitar saya. Namun, sudah saatnya sekarang untuk teman-teman dan penggemar di seluruh dunia untuk mengetahui kebenaran. Saya berharap bahwa setiap orang akan bergabung dengan saya, dokter saya, dan semua orang di seluruh dunia memerangi penyakit yang mengerikan ini," tulis Freddie.

Pada 24 November 1991 pukul 18.30 waktu setempat, dokter Atkinson meninggalkan rumah Freddie di Kensington. Dia datang setelah Freddie Mercury dikabarkan tak sadarkan diri. Tinggalah, Freddie bersama Jim Hutton dan Phoebe. Saat keduanya beranjak ke kamar Freddie, mereka menemukan Freddie telah membasahi kasur yang ditidurinya. Freddie masih dalam kondisi tidak sadarkan diri saat itu.

Phoebe mulai mengganti seprai kasur tersebut. Di saat yang sama, Jim mengurus Freddie. Dia membantu Freddie mengenakan baju bersih dan celana pendek. Saat itu pula Freddie mengembuskan napasnya. "Saya merasakan dia mengangkat kaki kirinya untuk membantu saya. Itu adalah hal terakhir yang dia lakukan. Saya melihat dia, dan menyadari bahwa Freddie telah tiada," ujar Jim Hutton.

Dunia musik berduka. Seorang vokalis terbaik di dunia telah tutup usia. Menginjak dini hari, berita tentang kematian Freddie telah tersiar di seluruh koran dan televisi pada 25 November 1991. Freddie Mercury telah meninggal. Penyebab resmi kematian Freddie adalah Bronkopneumonia (radang paru-paru) yang merupakan penyakit komplikasi dari HIV/AIDS.

Tanggal 27 November 1991, Freddie dimakamkan dengan ritual yang dilakukan oleh seorang imam Zoroaster. Ritual ini hanya diihadiri untuk 35 teman dekat dan keluarga. Mereka di antaranya anggota tersisa dari Queen dan Elton John. Jasad Freddie dikremasi di Pemakaman Gren Kensal, London Barat. Namun, keberadaan abunya hingga kini hanya diketahui oleh Marie Austin.

Hingga kini, Freddie Mercury menjadi legenda. Seorang penyanyi yang mendedikasikan dirinya untuk dunia musik dan penggemar, sekaligus menjadi ikon peperangan melawan penyakit mematikan yang disebut HIV/AIDS. Si flamboyan nan kharismatik itu telah tiada, namun warisan musiknya masih terngiang hingga kini. Setiap sudut kota masih menggemakan suaranya lewat lagu-lagu yang dinyanyikannya bersama Queen.

'We Are The Champions' selalu menjadi encore di setiap konser. Lagu itu pun menjadi penutup yang tetap di akhir hayat Freddie. Seperti dikutip dalam lirik lagu tersebut, "meski bagaimana pun, Freddie adalah seorang juara. Tidak ada tempat untuk orang yang kalah, karena Freddie tetaplah seorang juara."

Di Lantai Dingin Ruang Kelas

SEKS. Sebuah naluri alami manusia. Mulai merajai jiwa, sejak Adam dan Hawa tercipta. Namun, naluri hanyalah sebuah kata sifat. Terkadang, terselimuti oleh buasnya hawa nafsu. Buntutnya, terjadilah pelecehan dan kasus pemerkosaan. Sebuah penyaluran naluri tanpa memandang rasa manusiawi.

Kemarin, saya membaca sebuah berita. Miris, dan cukup memantik emosi. Hal yang sepatutnya tidak terjadi pada generasi penerus bangsa. Semesta berteriak merintih, gunjingan bertubi-tubi, air mata yang berurai tanpa henti, caci maki menghampiri, dan penjara pun menanti. Semua terjadi hanya gara-gara satu kata: syahwat.

Ruang kelas di lantai dasar Sekolah Menengah Pertama Negeri 4 Jakarta, Sawahbesar, Jakarta Pusat, menjadi saksi bisu. Lantai yang dingin, dan kursi yang sudah tertata rapi. Alih-alih sunyi, malah muncul kegaduhan di akhir jam pelajaran. Saat pulang sekolah tepatnya. AE, seorang siswi kelas IX [baca: delapan] di SMPN 4 tersebut diperkosa oleh adik kelasnya, FP.

Belum beranjak dewasa. Usia pun belum 17 tahun. Namun, sang adik kelas sudah membawa panji syahwat ke dalam ruang kelas. Siang itu, AE akan pulang ke rumah di sebuah lokasi di bilangan Kemayoran. Namun, tiba-tiba, sebuah tangan menariknya. A, salah satu siswi SMPN 4 membetot tangan AE, seraya mengempaskannya ke lantai. Tak pelak, AE yang tak tahu menahu terperanjat. Tapi, raganya kelu. Tak bisa berbuat apa-apa.

Bak adegan di film biru, A menyuruh FP, adik kelasnya yang baru berusia 15 tahun untuk mencium korban. Ketika bibir hendak mendarat, korban menolak. Namun, pisau pun berbicara. Terhunus, sebilah pisau mengancam nyawa sang penyintas [baca: korban yang selamat] bila tidak menuruti kemauan. Kontan, AE tidak bisa berbuat apa-apa di bawah ancaman belati. Tak pelak, korban pasrah untuk melepas kerudung. Ciuman bertubi-tubi mendarat di wajah korban.

Tak puas menganiaya, penyintas juga dipaksa untuk melakukan [maaf] oral seks. Masih di bawah ancaman pisau, AE menuruti keinginan untuk berhubungan layaknya suami-istri. Pencabulan dan pemerkosaan pun pecah. Sang gadis merintih, mencari pertolongan. Namun, semua kelu. Air matanya tak henti membayangkan dunia yang akan jatuh di atas kepalanya. Bisik-bisik masyarakat yang akan mencemoohnya. Namun, kejahatan sudah terjadi.

Seluruh adegan tersebut diabadikan oleh salah seorang siswi. Menggunakan kamera ponsel, seluruh aksi bejat pelaku terekam. Baik dalam bentuk video maupun foto. Ketika itu, lima siswi lainnya tak berbuat apa-apa. Hanya menyaksikan ketika sebuah keperawanan terenggut dengan paksaan dan berlumuran darah kemaksiatan dari punggawa nafsu syahwat.

Ketika perbuatan itu selesai dilakukan, AE ditinggalkan tergolek di lantai dingin ruang kelas. Rambut panjangnya tak tertata. Berantakan, berpencar di seluruh penjuru ruangan. Baju seragamnya pun dalam kondisi acak-acakan. Isak tangis AE menggema. Tak ada yang mendengar, kecuali dinding, lemari, kursi, meja, dan papan tulis nan membisu.

Malu, sedih, kecewa, dan kesal bercampur menjadi satu. Meski sudah mencapai ubun-ubun, AE merahasiakannya. Mulutnya terkunci rapat, hanya wajahnya yang kerap terdiam tanpa kata. Dia sudah berandai-andai, apa yang akan terjadi bila buka suara. Orang akan berdatangan, dan berbicara dengan pendapat yang kosong. Gosip, dan hanya bualan yang keluar dari mulut masyarakat yang tak tahu kejadian sesungguhnya.

Namun, sakit psikis tak luput mencederai fisiknya. Keluarga AE tidak tahu menahu. Namun, AE belakangan sering mengeluh sakit saat buang air kecil dan buang air besar. Kecurigaan membuncah, membuat EAN, ibu penyintas, menanyakan penyebab rasa sakit pada kemaluan itu. Dia tetap kelu tidak mengaku. Setelah didesak, anak pendiam itu mulai mengangkat suara. Dengan terbata-bata, dia mengaku telah menjadi korban nafsu bejat pelaku.

Sang nenek korban mengamini apa yang dialami cucunya. Nada marah terlontar, diiringi dengan mata yang menyala. "Benar, cucu saya diperkosa," kata nenek bernama Dewi, dengan suara lamat-lamat dan terbata-bata. Dia terkejut. Tidak pernah terbersit bahwa peristiwa itu menghampiri cucunya.

Kini, AE terpukul. Terngiang peristiwa keji tersebut di benaknya. Bagai luka yang menganga, sulit untuk diobati. Namun, ini bukanlah luka yang tampak. Ini adalah luka yang tergores jauh di lubuk hati, dan menghantam psikologis AE. Tak pelak, penyintas mengucilkan diri. Bersama sang bunda yang selalu menemani, dia mengasingkan diri ke tempat yang terpencil.

Kemana? Sang nenek pun mengangkat bahu. Dia tidak tahu. "Saat ini cucu saya sama ibunya tidak ada di rumah," katanya. Hingga kini, Dewi belum mengetahui kejadian sesungguhnya. Namun, hukum harus berbicara. Dia akan menyiapkan pengacara untuk membawa kasus tersebut ke meja hijau. Ingin mengempaskan pelaku ke jurang pembalasan, di sebuah tempat bernama penjara.

Menurut sang nenek, AE merupakan pribadi tertutup terhadap kaum Adam. Tidak pernah ada pria yang datang ke rumah, baik untuk mampir maupun bertegur sapa. Meski kerap pulang sore, kegiatan AE masih bisa dibilang seperti layaknya anak sekolah: menjalani ekstrakurikuler atau les.

Sekolah dinilai lengah. Ya, hal itu dikatakan Kepala Dinas Pendidikan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Taufik Yudi Mulyanto, yang tengah melakukan penyelidikan atas kasus tersebut. Sekolah lalai melakukan pengawasan hingga terjadi pemerkosaan di sebuah ruang yang harusnya menjadi contoh dan kawah candra dimuka bagi para generasi yang mengenyam pendidikan: ruang kelas.

Apakah hanya pengawasan yang dilakukan? Menurut saya, pengawasan hanya sebuah alasan yang berada di atas permukaan. Pengawasan hanya memberikan stimulus yang mungkin tidak akan mengubah sebuah persepsi nan fundamental. Lalu, apakah yang harus dilakukan? Jika diibaratkan sebuah sungai, maka cegah lah dari hulunya. Bukan hanya sebatas memperketat pengawasan.

Bisa dikatakan, salah satu hulu dari masalah ini adalah sosialisasi pendidikan seks yang kebablasan. Hal ini didapat dari derasnya arus teknologi. Alhasil, konten-konten pornografi tak terbendung. Dan, ini pun bisa diakses oleh anak remaja yang notabene masih belum bisa membedakan baik dan buruk. Dari pornografi, tercetuslah sebuah insipirasi untuk menunaikan adegan di dalamnya.

Adegan memerlukan pemeran. Suka atau tidak, remaja yang sudah kerasukan setan seks, akan mencari lawan mainnya. Baik dengan ajakan maupun dengan paksaan. Dalam kasus AE, paksaan adalah sebuah kata yang tepat. Dengan paksaan, pastinya ada orang yang tersakiti. Resistensi, namun tak kuasa apabila di bawah ancaman. Mau tidak mau, meski menahan perih dan malu, adegan itu pun berlangsung. Pemerkosaan terjadi.

Dunia memang mengalami deras informasi. Baik yang positif maupun negatif. Konten-konten seksual terus menjamah internet. Apakah bisa difiltrasi? Hingga kini, belum ada perangkat lunak yang bisa menjaring konten-konten tersebut. Pasalnya, sistem itu bagaikan sebuah dinding, tak luput dari celah. Alhasil, konten-konten tersebut bisa diakses, meski perangkap telah ditebar di setiap sudut dunia maya.

Apalagi, kini akses tersebut berada dalam genggaman. Gadget dalam bentuk ponsel dan tablet. Keduanya menjadi media yang tersembunyi untuk menyambangi situs pornografi. Layanan internet yang disediakan operator pun tak sampai merogoh kocek dalam-dalam. Terlebih untuk ukuran siswa. Untuk itu, kembali ke hulu. Pemerintah menjadi kunci yang bisa berperan menjaring konten itu di tingkap operator.

Dan, tentunya, kembali ke diri kita masing-masing. Perbuatan yang paling keji, adalah perbuatan yang merugikan orang hingga merusak masa depan yang bersangkutan. Sebab, luka yang menganga tidak hanya sampai fisik, tapi juga bisa berpengaruh secara psikis.

Kasus ini terus bergulir hingga kini. Pelaku bakal diburu. Tak lama lagi, dia akan merasakan dinginnya lantai penjara. Hukum sudah menanti. Hal itu disampaikan Kepala Disdik Pemprov DKI Jakarta, Taufik Yudi Mulyanto. Polisi sudah beranjak dari kursi, mulai memburu pelaku. Pasalnya, kata Taufik, kenakalan remaja seperti pencabulan sudah melanggar hukum.

Namun, hingga kini, pelaku masih duduk di bangku SMPN 4 Jakarta. Belum ada instruksi 'dikeluarkan' hingga dirinya terbukti bersalah. Tapi, jika benar pelaku melakukan hal itu, sekolah akan menendangnya dari SMPN 4. Satu lagi remaja menjadi penyintas pemerkosaan, dengan masa depan yang dirusak. Satu lainnya remaja yang dicap pemerkosa, menanti keadilan dari negara dan mungkin dari masyarakat. Hanya karena satu hal: syahwat