Friday, June 22, 2007

Kampus-Glodok Bersama Sang Dewi

Matahari tersenyum manis menggoda keringatku untuk keluar. Kususuri jalan menuju kampus teringat akan janji dengan seorang dewi yang mengajakku berburu piringan padat. Gerbang kampus kulewati seraya menyapa bapak satpam yang sedang berjaga. Terdengar senda gurau para mahasiswa di koridor kanan dan kiri. Ada pula yang diam termenung memikirkan bahan skripsi yang tak kunjung diterima dosen.

Hal itu sudah baru saja kulalui. Kini, hatiku terasa lega walau terkadang masih terngiang celaan para dosen penguji terhadap karyaku. Aku berjalan gontai ke perpustakaan. Terpampang di pintu perpustakaan, sebuah peringatan "Dilarang Berisik". Ironisnya, masih ada saja suara-suara bising yang kerap terdengar dari dalam tempat peminjaman buku tersebut.

Sebuah bilik berwarna coklat menjadi sasaranku untuk menaruh bokong yang sudah lama tak melihat tempat duduk. Bilik itu dikelilingi kayu berwarna coklat natural. Saking tingginya bilik tersebut, terkadang bisa menutupi separuh bahkan semua rupa kita. Waktu sudah menunjukkan pukul 11.00 WIB, namun sang dewi tak kunjung turun dari khayangan. Kendati demikian, penantian tersebut tak berpengaruh bagiku. Pasalnya, kuisi penantian tersebut dengan bayang-bayang paras sang dewi.

Saat yang ditunggu pun tiba, sang dewi menampakkan wajahnya. Dia jauh berbeda dengan penampilan sebelumnya. Sang dewi terlihat lebih cantik, bahkan paling cantik. Dengan kuncir domba bak Putri Leia dalam film antariksa Star Wars. Baju terusan berwarna coklat serta celana jeans melekat di tubuhnya. Dirinya bagai daun bermandi embun dingin, menyegarkan siapa saja yang menatapnya, Strange But Beautiful.

"Akankah Sang Pencipta marah bila aku mengajak salah satu malaikatnya berkelana?" inilah pertanyaan yang terbersit ketika kumelihat paras sang dewi. Pandanganku masih mengikuti gerak-gerik sang dewi. Memang, dia terlalu cantik untuk berada di bumi. Dia memandangku seraya menuju ke tempat peraduanku.

Degup jantungku semakin menggema mengisi ruas dadaku. Udara nan sejuk mengalir di tubuhku kala sang dewi duduk di samping. Kita berbicara mengenai rencana berburu piringan padat yang digemari olehnya."Kemana kita akan pergi?," tanyaku. Dia menjawab,"Ke Glodok aja, soalnya di sana lebih lengkap," tutur sang dewi seraya tersenyum padaku. Kendati banyak memperdagangkan piringan ilegal, namun Glodok menjadi salah satu tempat yang paling dituju untuk berburu piringan.

Sang dewi tak betah berlama-lama di ruang sesak penuh buku tersebut. Kontan, dia segera mengajakku ke tempat tujuan. Kulalui kembali lorong-lorong kampus yang kurang penyinaran. Ku mendongakan kepalaku menunjukkan kesombongan yang beralasan. Ini karena aku bersanding dengan seorang dewi tercantik yang pernah kutemui.

Kita berjalan beriringan tiada berusaha untuk membalap satu sama lain. Bahkan laju motor para mahasiswa pun tak menghalangi jalan kita. Panas terik begitu membakar kulitku. Anehnya, sang dewi sama sekali tak bergeming tatkala sinar sang surya membelai kulitnya. Dia hanya tersenyum simpul ke arahku dan berkata "Gak panas kok," ujarnya seraya melihatku yang bersimbah peluh.

Aku dan dia membelah jalan menuju tempat perhentian busway. Sebelumnya, kubertanya "lo gak apa-apa kalo naik bus,?". Lalu dia menjawab "Ga apa-apa kok, gw udah biasa nge-bus,". Kontan jawaban tersebut merajam benakku, pasalnya jarang sekali seorang dewi mau berhimpitan dan terkadang berdiri di dalam bus. Sugoi - kata Jepang untuk menggambarkan rasa kagum - terlontar dari mulutku.

Sesampainya di Halte Busway, Kita membeli tiket untuk masuk ke area tunggu bus. Kuberdiri di sampingnya, terkadang aku pun meliriknya untuk memancing pandangannya ke arahku. Namun, tatapan matanya tetap melurus ke badan jalan. Aku tetap memandangnya, walau dirinya tak bergeming. Pembicaraan pun mulai terjadi, kita berbicara mengenai kampung halaman kita yang notabene sama-sama di bumi parahyangan.

Sang dewi pun bercerita mengenai keindahan kampung halamannya yang tak jauh berbeda dengan keindahan sosoknya. Waktu berjalan seiring datangnya sebuah kendaraan besar berwarna merah dan bergambar sosok rajawali di sampingnya. Pintunya pun terbuka lebar bersamaan dengan terbukannya pintu halte. Kita pun berebut dengan penumpang lainnya untuk masuk ke dalam. Aku dan dia kaget ketika melihat keramaian di dalam bus tersebut.