Wednesday, February 25, 2009

Stagnan

Bukit itu begitu terjal
Menjulang merobek cakrawala
Jurang itupun sangat dalam
Bagai sumur tak berdasar

Hati ini gamang
Gundah menentukan arah
Aku terdiam di satu titik
Stagnan dan tiada bergerak

Rutinitas ini membunuh
Mengoyak kreativitas
Dia datang laksana ajal
Perlahan mencabut nyawa

(RAS/250209)

Friday, February 20, 2009

Melodi Cinta

Aku mengantuk dan lelah. Mata seolah dibebani pemberat. Maklum malam tadi, aku bekerja. Aku mendapat giliran shift malam. Namun toh aku harus tetap pulang. Mustahil aku bertahan di kantor di sela kesibukan buruh shift pagi.

Perjalanan pulang begitu panjang. Aku turun di Cawang dari mobil operasional. Jalan begitu terjal. Matahari seakan meredup di mataku. Tidak gilang gemilang dan secemerlang biasanya. Hanya cahayanya nan menghunus tubuh dan menari di kulit.

Ada bus Mayasari 57 jurusan Blok M-Pulogadung. Langsung saja aku naik. Dengan mata rada nyalang, aku mencari tempat duduk. Aku duduk bagian tengah sebelah kanan. Kubersandar di kursi paling pojok. Beradu bahu dengan para pekerja.

Pagi itu memang terlampau melelahkan. Nyaris aku terlelap di bus. Tapi ada seseorang yang menarik perhatianku. Dia bukan wanita cantik bertubuh molek laksana ratu sejagad atau pencopet yang digebuki massa. Dia hanya seorang pengamen berusia senja

Dengan jalan terbata-bata dan postur agak bongkok, dia menyusuri setiap bangku di bus. Dari belakang ke depan. Hingga akhirnya sang pengamen tua menancapkan kaki di belakang kursi sopir. Siap-siap untuk tampil dan menghibur penumpang.

Tampilannya bersahaja. Rambutnya ikal memutih berselimuti uban yang tertutup peci hitam. Matanya lesu memancarkan sinar prihatin. Dia membawa kotak pemutar kaset bertenaga aki bertuliskan Melodi cinta yang diselempangkan di bahunya.

Melalui mikrofonnya, dia menyapa penumpang. "Selamat pagi para penumpang. Izinkan saya menghibur Anda," tukas sang pengamen. Dia bersiap dengan berpegangan ke tiang bus. Maklum bus melaju kencang dan sang pengamen tentunya tak mau terpelanting.

Tanpa basa-basi, dia langsung membuka dengan lagu pertama. Sebuah lagu dangdut yang entah judulnya apa. Dengan semangat anak muda, sang kakek bergoyang. Meski goyangannya hanya di tempat seperti boneka yang tertancap, aksinya terbilang menakjubkan.

Sambil merem-melek berupaya menikmati lagu, kepala sang pengamen mengangguk-ngangguk. Dari gaya tersebut, vibrato tercipta. Dan vibranya mirip dengan penyanyi dangdut kawakan. Tak jarang pula sang pengamen melempar senyum kepada penumpang.

Ingin tertawa. Namun hanya senyum yang tersungging di bibirku. Dibalik untaian kebahagiaan semu si kakek, tersirat aroma kesusahan dan kemiskinan. Inilah kegigihan seorang kakek mencari sesuap nasi. Mungkin pula hasilnya untuk sekolah anak cucunya.

Lagu kedua dilantunkan. Nah aku baru tahu tembang ini. Judulnya adalah Gubuk Derita yang dipopulerkan pedangdut gaek berwajah sendu, Meggy Z. "Di dalam gubuk bambu, suka dukaku," nyanyi pak tua seolah menjelaskan kehidupannya.

Sama seperti lagu pertama, di nomor kedua ini sang pengamen masih tetap bergoyang. Bahkan goyangan lebih hebat dari lagu pertama. Meski tua, dia tetap ingin memanaskan suasana dan menghibur penumpang yang hendak melakoni rutinitas pekerjaan.

Reaksi penumpang beragam. Tak jarang yang tersenyum dan ikut bernyanyi meski dengan suara mendesis. Ada yang malu bernyanyi, namun cukup berani untuk menggoyangkan kaki. Ada pula yang tak bereaksi, tertidur seperti jasad tak bernyawa.

Dua lagu dilempar sudah. Pertunjukkan pun selesai. Kini saatnya sang pengamen memohon keikhlasan penumpang untuk memberikan sebagian uangnya. Bukan uang besar. Uang kecil saja dan ucapan terima kasih cukup memancing senyum di bibir pengamen.

Pagi itu aku sungguh menyesal. Sebab saat dia meminta uang kepadaku, kantongku tidak mendukung. Uangku tinggal selembar Rp 20 ribu. Tak mungkin aku minta kembalian darinya. Aku hanya bisa berucap kata maaf kepadanya. Dan pengamen tua pun tersenyum.

Di salah satu perempatan lampu merah, sang pengamen tua turun dari bus. Masih dengan langkah terbata-bata, dia berjalan menyisir gersangnya trotoar. Sepertinya dia kelelahan. Ini sangat berbeda dengan si kakek yang tampil bak penyanyi dangdut kawakan tadi.

Dengan langkah gontai, dia berjalan. Hingga akhirnya dia duduk di pinggir trotoar. Kecapekan dan letih. Namun kotak bertuliskan Melodi Cinta itu masih terselempang di bahunya. Dan selalu menemaninya mencari nafkah untuk keluarga di rumah.

(RAS/200209)

Thursday, February 19, 2009

Tak kuasa air mata berlinang. Menyusuri wajah dengan kelembaban. Membasahi kulit laksana air yang menyisir sungai. Dari hilir hingga muara. Dari tepian hingga ke seberang.

Berat hati memendam duka saat sang surya enggan menampakkan cahaya. Rindu menghujam kala menanti deraian hujan di marcapada. Hati ini gamang. Jiwa ini penuh keresahan.

Siapa dinyana, timbul suatu keinginan. Tiada terpendam dan langsung mencuat ke permukaan. Aku menginginkan dia. Dia yang bisa menjadikan hati ini taman surga dengan cinta dan ketulusan.

(RAS/200209)

Friday, February 13, 2009

Kesal

Ingin menuai predikat selangit namun dengan usaha sebiji. Berupaya meraih cawan kudus dengan racun diisinya. Di luar hebat, tapi di dalam bobrok. Hancur dan luluh lantak.

Saat itu Jumat menapaki angka 14 Februari bertepatan dengan hari Santo Valentine. Seperti biasa, saya bekerja sebagai copy editor kala sang surya pamit meninggalkan buana.

Seketika hati ini langsung dibuat panas. Internet lemot. Proses memasukkan video ke situs perusahaan saya pun menjadi tersendat. Sialan, bentakku sambil menggebrak meja.

Betapa tidak, update berita yang seharusnya bisa cepat kini padat merayap laksana lalu lintas Jakarta. Bahkan nyaris macet total. Garuk-garuk kepala saya dibuatnya.

Pusing menunggu loading internet berjalan bak siput yang hamil tua. Lambat dan lelet. Padahal perusahaan tersebut cukup bonafide. Yang punya saja seorang politisi dan taipan kelas atas.

Tapi anehnya. Terlepas dari rusaknya server atau apalah. Pengadaan bandwith internet terbilang minim. Sedangkan keinginan meraup pundi uang cukup besar dan ambisius.

Internet ini memang adalah contoh kecil. Namun jika tidak diatasi, permasalahan ini bisa menjadi duri dalam daging dan merambat bak benalu. Coba saja...

(RAS/130209)
Apabila cinta memanggilmu
Ikutilah dia walau jalannya berliku
Dan apabila sayapnya merangkummu
Pasrahlah serta menyerah
Meski pedang tersembunyi di sela sayap itu melukaimu

(Kahlil Gibran)

Thursday, February 12, 2009

Tangis Tabib Belia

Dukun cilik itu menangis
Air mata perenung nasib
Melihat bocah lain bermain
Riang gembira tanpa beban

Pun dia bersimbah tangis
Bangku sekolah menanti
Tapi dia tak kuasa
Hasrat pendidikan sirna sudah

Oh Ponari
Cahaya terang kan menyinari
Membawa beribu harapan
Dan kelak kan menjadi kenyataan

Bocah dengan batu magis penyembuh penyakit. Kekuatannya mengundang ribuan warga ke kediamannya. Penasaran sangat akan sosoknya. Usai melihat tayangan di Metro TV, saya pun terdiam. Haru.

Kasihan sekali dia. Di usianya yang belia, 10 tahun, dia harus menjadi pusat perhatian ribuan orang. Betapa tidak, nyaris saban hari, rumahnya dikerubuti warga. Persis seperti ribuan lalat yang menyerbu seonggok bangkai anjing.

Apalagi saat melihat raut wajahnya. Dia hanya bocah yang seharusnya bermain bersama teman-temannya. Dan dia sejatinya mengenyam bangku pendidikan. Tapi apa lacur. Keluar rumah saja susah. Maklum warga mengepung rumahnya saban hari.

Mungkin, dalam benak saya, Ponari pun tak tahu menahu soal kekuatan yang dianugerahkan. Jika saja bisa menjerit kepada alam, dia sepertinya ingin sekali magis tersebut hilang dari dirinya. Andai saja...

(RAS/120209)

Saya Rindu

Sepertinya jauh sangat kota itu. Tapi disana cinta saya bersemayam. Bak selaksa embun surga, dia jatuh menetes dari mahkota melati pujaan jiwa. Saya terjun bebas ke lembah cinta. Tiada yang menolong. Ini kemauan saya.

"Biarlah saya terjerumus. Terjerembab sudah," ucap benak jiwa saya, pasrah tanpa perlawanan. Seketika, saya terbuai dalam lamunan. Dan sang smara menggelitik hati saya. Teringat dia kembali. Tak pelak, saya terperosok jauh menuju alam rindu.

(RAS/120209)

Wednesday, February 11, 2009

Hidup ialah seorang perayu
Yang menggoda kita dengan kecantikannya
Tapi orang yang tahu muslihatnya
Akan menghindari bujukannya

(Kahlil Gibran/Suara Sang Guru)

Di Tepi Sungai Ini

Teratai bergoyang tertiup angin. Sepoi-sepoi bak penyanyi melantunkan lagu sendu. Ada kesedihan di sana. Aku duduk di bibir sungai. Sesekali, kulontarkan kerikil-kerikil mungil. Dan pecahlah kedamaian di air.

Saat itu tak kunjung tiba. Perawan yang kunantikan dari sejam lalu.
"Kemana engkau gerangan wahai putri perona jiwa?" ujar sang penanti. Menunggu sekian lama. Namun kau tak juga muncul.

Kasih, tak kah kau sadari. Aku masih disini, meski panas menarik peluhku. Awan pun lamat-lamat tersibak. Dan matahari dengan galaknya tersenyum. Menyeringai tajam menusuk raga.

Tiba-tiba teringat masa itu. Kala dia senantiasa menggamit mesra cintaku. Duka tak pernah menyentuhku. Durjana pergi menghilang saat aku memoles halus wajahnya. Indahnya saat itu.

Kini sirna sudah kemesraan itu. Dan berganti dengan hujan kecemburuan, ketidaksetiaan, keserakahan dan nafsu angkara. Inikah jalanku? Menanggung apa yang tiada kuharapkan.

Terkadang aku menghujat Tuhan. Ini seharusnya bukan takdirku. Tak kuasa menahan derita ini. Tapi aku tetap bergeming, kelu dan terdiam. Hingga kiwari, aku di sini menunggu. Di tepi sungai ini.

(RAS/110209)

Tabir

Tabir itu terdiam, tak bergeming
Badai berulang kali menghunjam
Mencoba mengikis asmara di antara kita
Kuat sudah ikatan ini

Hari demi hari
Lewati waktu dan dimensi
Kemesraan tetap mewarnai
Terpujilah kau cinta

Jauh dari sedih
Tiada air mata hitam
Awan gemawan tiada kelabu
Pergilah wahai kau duka

Lamat-lamat merah jambu berkibar
Kini tiada yang bisa mengoyangnya
Kasih, ini bukan akhir kisah
Tapi ini awal segalanya

(RAS/110209)

Saturday, February 7, 2009

Doorrrr!!

Terlarutlah hatiku saat bersua dengannya
Tiada terbantahkan
Inilah cinta

Siang itu, galak matahari menusuk tubuh. Merangsang pelu. Tapi itu semua sirna sudah. Di sampingku ada sang putri. Hatiku pun trengginas. Aku dan dia berjalan menuju sebuah kedai es krim di Jalan Juanda. Ragusa namanya.

Kedai penuh nuansa zaman dulu. Jadi teringat saat nenek moyang kita dengan bangganya mengenakan busana ala Eropa. Mereka bersanding dengan para kulit putih dari negeri nun jauh di sana.

Selasar kedai kususuri. Kami duduk di bagian belakang. Lidah ini kaku. Tiada berbicara. Kelu. Maklum aku merencanakan suatu hal: ingin menembakkan panahku ke hatinya. Aku tak perlu Cupid atau Aphrodite. Hanya aku seorang. Tentunya dengan bantuan Tangan Sang Maha Esa.

"Harus hari ini," itu yang terlontar di benakku.
"Gue gak mau kehilangan momen ini dan seterusnya," benakku terus bernyanyi.

Tak kuat memendam cinta ini. Jangan sampe muncrat karena cinta bukanlah pancuran. Dan jangan sampe meledak karena cinta bukanlah bom. Lagipula kutakut ledakan menuai kehadiran Gegana ataupun Densus 88. Aku tak bermaksud berlagak bak teroris.

Saat itu datang.
"Gue sakit perut nih. Lo tau kenapa gue begini," kataku bermandi keringat dingin.
"Kenapa," ucap si wanita. Singkat.
"Karena gue sayang sama elo," ujarku.

Aduuuh legaaaa eeuy. Eiiit tapi belum sepenuhya lega. Tinggal nunggu jawaban. Tapi sejenak dia terdiam. Ditolak atau diterima. Kalo ditolak, aku rasanya ingin membenamkan diri ke dalam badan ini. Kalo diterima, ya you know lah.

"Ayo dong dijawab," kataku terburu-buru. Jadi inget waktu dikejar anjing tetangga, pengennya buru-buru.
"Gue juga sayang sama lo," ucap dia dengan seribu malu di wajahnya.

Aiiih.. Dunia bagaikan surgawi. Harum bunga membahana. Seakan puspa indah yang dilantunkan almarhum Chrisye menjadi kenyataan. Ku melihat dewa-dewi menari-nari sambil berkata "Ciee, ciee, ciee". Lagu kelabu pun sontak menjadi tembang cinta yang penuh romansa.

(RAS/070209)

Friday, February 6, 2009

SORE

SORE mungkin hanya sebatas grup musik jazz bagi kebanyakan. Tapi SORE punya makna mendalam buatku. SORE pertemukan sepasang manusia: Aku dan dia merajut benang asmara. SORE membuat bara bergelora. Menjilat hati kami penuh ketulusan.

Suatu hari saat kami terpisah jarak. Teringat percakapan itu.
"Lo suka SORE?" kuberkata.
"Iya gue suka banget," suara indah itu menjawab.

Sejak itu kata SORE selalu terngiang. Memenuhi pikiranku. Dulu aku tahu nama itu. Tapi tak seantusias kini. Dulu bagiku mereka biasa saja. Namun kini mereka lah yang menjadi benang merah antara aku dan dia. SORE.

(RAS/060209)