Tuesday, February 28, 2012

Senja dan Surat Cinta untuk Gaia

Gerimis melanda Jakarta senja itu. Kendati begitu, Ibu Kota tetap tak sanggup mengurai asap kendaraan yang lalu lalang. Seorang pria menyeberang Jalan Cikini Raya, Jakarta Pusat, menuju Taman Ismail Marzuki, dimana para seniman bersenda gurau dan bercengkerama dengan alam maupun sesama.

Pria itu adalah aku, pemburu senja dan penikmat semesta. Alih-alih ingin menikmati senja, hujan malah mengguyur Taman Ismail Marzuki. Aku berteduh di dekat pelataran, usai melewati beberapa anak tangga di sana. Tampak manusia berlomba dengan sepeda motor untuk mencari tempat singgah berteduh sejenak, hindari basah.

Matahari bersembunyi. Sinarnya terhalangnya pekatnya awan mendung. Untuk mengintip saja, Batara Surya tak kuasa. Alhasil, dia buatlah awan menangis tersedu-sedu. Air matanya membasahi bumi, rumput dan tanah hingga akhirnya kelembaban melanda. Aku menghirup wangi tanah dan rumput basah.

Aku melihat mobil lalu-lalang. Kebut-kebutan. Apa yang mereka cari? Waktukah? Sebegitu pentingkah waktu, sehingga mereka rela menerobos lampu merah dan nyaris sikut-sikutan dengan kendaraan lain? Lalu lebih berharga mana? Waktu atau nyawa? Sudahlah. Biarlah mereka yang menjawab, toh mereka sudah besar kok.

Hujan, yang tadinya gerimis, membuat dagangan para warung kopi laku keras. Biasanya, pelanggan mereka adalah pengendara sepeda motor. Dengan mudah, mereka memarkirkan sepeda motornya di pelataran. Kalau pengendara mobil, jangan harap! Banyak bajaj yang menghalangi jalannya kendaraan seukuran mobil.

Wangi siomay mengibas-ngibas indera penciumanku. Tak dinyana, liur pun nyaris tumpah ruah. Ingin kubeli, namun apa daya hujan begitu deras, tak merestui keinginan ini. Hanya kopi yang menjadi temanku. Kuseruput sedikit demi sedikit, kunikmati hingga tetes terakhir. Tanpa ampas tentunya.

Di depan Taman Ismail Marzuki, menjulang dua gedung cukup tinggi yang mengapit sebuah jalan kecil menuju Jalan Gondangdia. Senja ramai di jalanan ini. Sebab, jalan ini menjadi akses penting bagi orang-orang yang baru pulang bekerja, dan ingin kebut-kebutan mengejar waktu di rumah.

Taman Ismail Marzuki menjadi tempat nongkrong para remaja, terutama mahasiswa Institut Kesenian Jakarta, serta seniman-seniman yang tengah bergaul serta mencari ilham. Meski inspirasi dan ilham terkadang kabur-kaburan, seniman itu tak kelu. Mereka mengisi hari dengan mengisap rokok dan minum kopi.

Di dalam, Taman Ismail Marzuki terdapat bioskop yang juga cukup lawas di Jakarta. Namanya, TIM 21. Sebelum memasuki area bioskop, aku melihat banyak jajanan dengan tenda-tenda berbentuk payung. Nikmat tampaknya, namun aku terus jalan mengarah menuju bioskop TIM 21 untuk menjelajahi toko buku di sebelahnya.

Aku duduk sejenak di pelataran bioskop. Dudukku diapit oleh dua orang pasangan yang saling bercumbu. Aku hanya terpaku, menikmati pemandangan ini dengan kelu. Biarlah mereka yang sedang asyik, aku ingin merenung sejenak menikmati hujan ini, dan wangi rumput Taman Ismail Marzuki yang membasah.

Tak sengaja, aku menemukan sepucuk surat di dekat tempatku bersandar. Surat yang ditulis dalam kertas bergaris. Telanjang, tanpa amplop. Tanpa nama penulis. Kertasnya pun agak lecek, terkena air hujan dan jatuh ke jalanan yang becek. Kendati begitu, isinya masih terbaca. Di sana tertulis:

Kepada kekasihku Gaia, sang pencinta tumbuhan dan pemuja kesunyian,

Hatiku berisi peperangan batin yang mendalam. Bagai Bharatyudha di Medan Kurusetra dalam kisah Mahabharata. Logika dan rasa tengah berkecamuk. Seluruh isi hati ini menjadi korban. Namun, rasa memang selalu menang. Akibatnya, timbullah kerinduanku padamu wahai kasihku serta keikhlasanku untuk mencintai dan memujamu.

Suara-suara di pikiranku selalu menyebut namamu. Kucoba teriakkan, namun nama itu tak kunjung hilang. Terus terngiang di antara sekumpulan ide-ide dan inspirasi. Ketika kutuangkan nama itu dalam tulisan, suara itu sayup-sayup memudar. Kendati demikian, mereka muncul kembali. Terus menerus merapal nama indahmu.

Aku mengakui dalamnya cinta ini. Tenggelam dalam jurang yang tak berdasar. Meski sempat memegang tepian, aku memilih jatuh. Namun, hingga kini, aku tidak kunjung terhempas ke dasar jurang itu. Aku kini masih senantiasa melawan angin, dan entah sampai kapan. Inilah cinta, ketika kuambil resiko untuk tersakiti.

Wahai Gaia, dunia bagaikan terhenti sejenak. Aku melihat manusia terdiam, kelu. Bagaikan Adam sebelum Tuhan menciptakan Hawa di surga, hingga akhirnya diusir ke bumi. Hanya aku dan suara alam yang terdengar. Sedangkan, manusia hanyalah ornamen hiasan dunia. Di jiwa ini, hanya ada kamu dan dunia yang mengelilingimu.

Kerap kali kudengar tawamu. Ceria yang terbungkus oleh sikap dinginmu. Bahagiaku mendengar tawa itu, cukup untuk mengobati nestapa di hatiku. Bayanganmu yang tiba-tiba melintas dari jendela, kerap menuai pandanganku. Aku pun terpaku sejenak, meninggalkan segala nikmat di dunia.

O, Gaia. Apa salahku? Semesta memaksaku berkata cinta. Sang Smara menciptakan pergolakan yang hebat di hati. Puncaknya adalah malam itu, sehingga aku memutuskan untuk mengungkapkan semua rasa yang ada. Namun, kusadari kesalahan itu. Sebuah momen yang salah, tapi aku mengungkapkan perasaan yang tak lebih dari sebuah kebenaran.

Aku tak bisa menyentuh jiwamu, kini. Ada tembok besar yang menghalangi. Entah kau atau aku yang membuat. Hanya lewat surat ini, aku ungkapkan rasa cinta dan pujaku kepadamu. Aku tak ingin membuat Tuhan cemburu. Tapi, kuakui kau adalah ciptaan-Nya yang terindah di muka bumi. Bukan dusta yang kuungkap, melainkan kebenaran.

Kau dan aku adalah jiwa yang berbeda, sangat berbeda. Tapi, aku ingin memasuki duniamu. Dengan segala kerendahan hati, aku ingin melangkah di jalan yang kau lalui, bergandeng tangan denganmu, dan merajut tali suci. Duniamu membuatku berbeda, begitu pula duniaku bagi dirimu.

Pandanglah mata ini, jika kau bertemu denganku. Apa yang kau temukan? Hanya seorang lelaki yang tiada munafik dan sombong untuk mengungkapkan kelemahan dirinya. Lebih baik aku memuja kejujuran, daripada kemunafikan yang hanya akan membawa kehancuran hebat bagi harga diri seseorang.

Lelaki ini lemah, namun mengungkapkan segala kejujuran melalui surat ini. Tubuhku tak lebih dari sekumpulan kebenaran yang tiada terbungkus kemunafikan untuk menutupi sesuatu yang aku yakini. Untuk sesuatu tersebut, aku tidak akan menyerah dalam keadaan yang gamang. Jalan ini masih panjang, dan terjal. Banyak bukit curam dan kerikil tajam.

Aku merindukan wajah bekumu yang begitu dekat denganku. Aku merindukan rumah asrimu, tumbuhan-tumbuhan yang memberikan kesejukan serta tawa canda riangmu. Dibalik itu, aku menemukan kesedihan yang tak kuasa kau ungkapkan. Namun, kau simpan rapat-rapat di dalam sebuah peti emas yang terkunci erat.

Gaia, aku ingin menjagamu, membawamu melihat dunia baru. Dunia yang tidak pernah terjamah olehmu, bahkan oleh orang-orang di sekelilingmu. Karena, disanalah kau menemukan kedamaian yang mungkin bisa menghilangkan sejenak penatmu. Setidaknya, izinkan aku untuk berusaha membuatmu tersenyum.

Kasihku Gaia, aku tiada mengenal bumi tempat kau berpijak. Kini, alam berjalan begitu lambat. Bahkan, tetes embun membutuhkan waktu yang sangat lama untuk menghempaskan diri ke bumi ini. Ketika itu pula, aku melihat rumahmu. Saat obrolan terakhir kita mengalir, dan dirimu menjadi sosok yang berbeda di keesokan hari.

Wahai Gaia, bicaralah padaku. Bukan dengan kata-kata indah. Bicaralah dengan kalimat-kalimat yang singkat. Setidaknya aku tahu kalimat itu kau tujukan buatku. Tulislah di secarik kertas, jika kau lelah untuk membuka suara. Izinkan aku untuk mengetahui kabar baik darimu. Aku menyayangimu.

Tertanda
Cronos, Sang Penyair dan Pemuja Senja

Sebuah surat cinta rupanya. Tentang, kesedihan seorang penyair yang membawa nama Cronos. Mungkin, ini hanyalah secarik kertas lecek. Bahkan, pemulung pun ogah untuk memungutnya. Tapi, surat ini tampaknya sangat berharga bagi sang empunya dan orang yang dituju oleh si penyair tersebut.

Lebih baik, aku simpan surat yang menyiratkan ribuan kata dan kalimat ini. Meski hanya secarik, kertas ini bisa saja mengubah dunia. Siapa tahu surat ini milik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono buat Ibu Ani? Tapi, kemungkinan besar tidak. Pasalnya, tokoh dalam surat itu sesosok orang yang patah hati. Tak mungkin, orang sebesar Presiden patah hati.

Dunia menciptakan cinta untuk diungkapkan. Bagaikan dam yang tak kuasa menahan derasnya air sungai. Air adalah cinta, dan dam itu merupakan simbol dari hati para pemujanya. Ketika tekanan begitu deras, dam itu hancur. Terlontarlah kata cinta dan buaian asmara.

Cinta terkadang bagaikan malaikat pencabut nyawa, yang siap menarik nyawa seseorang. Alhasil, para pencinta mengalami sesak di dada. Mungkin hampir semua orang pernah mengalaminya. Berbahagialah bagi mereka yang masih bisa jatuh cinta. Karena tanpa cinta, dunia menjadi hampa.

Aku lanjutkan menikmati senja. Namun, toko buku itu pun sudah di ambang senja pula. Toko tutup, saat aku sibuk membaca surat cinta itu. Mungkin lain kali, mungkin tidak. Manusia boleh berencana, tapi Tuhan selalu yang menentukan. Langkahku pun gontai menuju jalan keluar Taman Ismail Marzuki.

(RAS/28022012)

Monday, February 27, 2012

Cinta Sang Penyair

Though you don't know me well
With every little thing only time will tell
If you believe the things that i do
Then we'll see it through

(Make It With You, Bread, 1970)

Petikan lagu ini mungkin mewakili apa yang dibenakku. Ketika sebuah tanya, mendapatkan sebuah jawaban. Namun, pada nyatanya, jawaban itu bertentangan dengan ekspektasi. Dan, keyakinan pun tak cukup kuat untuk membungkam segala keraguan yang menyusuri setiap relung di jiwa.

Seorang penyair menyenandungkan soneta penuh keindahan dunia. Jatuh cinta, itu yang dirasakan olehnya. Seluruh karyanya berwarna merah jambu. Sebuah warna lambang buah cinta. Semua inspirasi mengalir deras bagaikan sungai yang selalu mencari laut sebagai tempatnya berlabuh.

Dia menemukan satu elemen ketika logika dikalahkan oleh perasaan. Dominasi ini menciptakan bongkahan besar di hati. Di sana, terdapat ribuan peri-peri yang siap menghujamkan panah demi panah ke arah sang pujaan hati. Di sana pula, sang smara bersemayam mencari raganya yang hilang.

Belum lama, sang penyair mengenal dirinya. Satu kedip mata, dan dua tanda tanya. Cinta pun langsung merasuk ke dalam jiwa. Tanpa sadar, virus kerinduan terus menyerang tubuh dan jiwanya. Kini, dia hanya sebuah jiwa, tanpa daging yang melapisi tubuhnya. Semua menjadi benderang.

"O, semesta. Apa yang terjadi dengan diriku? Sebuah cahaya masuk ke tubuhku. Aku tak mengenalnya. Tak seperti ini, cahaya yang disematkan oleh bulan dan matahari. Cahaya ini langsung menusuk ke jantung, dan bersemayam di hati. Tak kuasa kulepaskan, o semesta."

Bahaduri yang sedang diberikan petuah oleh raja. Mungkin seperti inilah apa yang dirasakan oleh sang penyair. Ketika cinta memberinya sabda, dan penyair hanya bisa mengikuti. Dia pun berkata, "terbuat dari apa cinta ini? Mengapa aku tidak bisa memilih dengan siapa aku jatuh cinta?"

Cinta tidak mengizinkan sang penyair untuk memilih. Dia melihat sebuah cahaya yang sama menyinari seorang gadis. Sayup-sayup terdengar suara tawa riangnya, canda cerianya. Lalu, cahaya itu masuk ke dalam tubuhnya. Penyair menyaksikan keagungan itu. Dan, asmara pun tersenyum.

"Dia adalah seorang gadis pendiam, dingin dan senantiasa bergumam dengan jiwanya yang suci. Dengan penuh kerendahan jiwa, aku jatuh cinta kepada dia. Dinginnya, membuatku ingin menyinari selalu dengan cahaya cinta. Diamnya, ingin aku nyanyikan lagu riang, sehingga dia tersenyum."

Seorang gadis membuatnya terhempas dalam jurang kerinduan. Kata sepertinya enggan untuk tumpah ruah dari bibirnya yang mungil. Gerak indera pengecap pun tak leluasa bergejolak dalam keriangan dunia. Bisukah dirinya? Tidak, hanya diam yang menjadi teman setianya. Baik saat nestapa melanda, maupun ketika kebahagiaan bersua.

Sapaan yang tak digubris. Hanya senyum mengembang membuat hati teriris. "Ketika hati ini terbagi, aku serahkan setengah darinya untuk dia. Kini, setengah hatiku entah dimana. Terombang-ambing dalam lautan asmara, nyaris terhempas ke dalam telaga tak bertepi. Berenang dalam ketidakpastian."

Langit tampak tak berujung. Awan yang bertahtakan angkasa biru. Cakrawala membuka, memberikan jalan kepada sang mentari. Kendati, mendung kembali menutup. Dan, awan mencurahkan isi hati seraya menangis. Air matanya terjerembab, menembus angin, laut, dan daratan. Lalu, airnya pun mengering.

Bunga yang lelayu. Terbangun kembali, sang bunga ketika ditangisi oleh air mata sang gemawan. Penyair pun tertegun. Pemandangan indah, nan memukau hadir dalam balutan warna jingga. Rumput yang mengering, kini dengan sigap kembali berdiri tegak. Siap menghadang alur air yang deras sungai.

"Imajinasiku terkunci. Otak kelu. Ketika bayang sang bisu melewati pandangan. Mata tak kuasa memicing, dan terdiam kaku. Tidak terbelalak, meski bayang itu kian nyata. Wanginya, gerak jalannya, warna auranya. Inilah saraswati yang kucari, seonggok intan yang terpendam dalam hangatnya tanah."

Renjana di hati pun tak pelak bangkit. Api yang lama tak menyala, kini senantiasa tertiup bayu. Sang api pun berkobar dahsyat. Terkatung-katung, sang penyair bersaksi ketika dirinya diam mematung. Ketika itu, dunia berhenti berputar, meski sang surya tetap bersinar, namun waktu tiada berpencar.

Baru sejenak, sang penyair menyaksikan keindahan itu. Segampang itukah cinta datang? Tidak ada yang bisa menilai cinta dari sudut pandang logika. Terkadang cinta membuat orang gila, bahkan tak sanggup untuk berkata. Cinta pun yang membawa tragedi bagi Romeo dan Juliet serta Laila dan Qais.

"Aku bersaksi atas nama cinta. Belum pernah aku seyakin ini selama hidupku. Masa mungkin telah memakan zaman sehingga manusianya menjadi para pendusta. Namun, aku hanyalah seorang bodoh yang ingin berkata atas nama cinta. Bukan inginku merayu dengan puisi-puisi kosong."

Mencoba, itu yang diinginkan penyair. Tapi, sang pujaan hati enggan untuk itu. Dalam kebingungan dan nestapa, dia berpikir. Sebuah tanya pun singgah sejenak di benak. Kembali, bingung pun melanda wajah cantik itu. Bagaikan seorang nabi yang bingung menentukan nasib kaumnya.

“Memang baru sejenak aku mengenalmu. Tapi, waktu akan menjawab semuanya. Semesta kuharap tersenyum, dan bersabda kepada sang waktu agar berpihak kepadaku, selalu. Kini, kuserahkan semua kepadamu, o waktu.”

Kebingungan ini sangat dimaklumi sang penyair. Roda terus berputar, meski terkadang menggilas beberapa manusia. Namun, hidup terus berjalan. “Wahai nona, nikmatilah kebingungan ini, seperti aku menikmati kepedihan ini. Tapi, hidup selalu memiliki keindahan tersendiri.”

Semesta bergumul mesra. Pohon pun menari dengan hebat diguncang oleh arah angin yang tak menentu. Ilalang pun menyerukan keagungan bagi ibu pertiwi. Anjangsana yang dipenuhi mahluk-mahluk indah ciptaan Tuhan. Inilah kuasa-Mu.

“Kejujuran ini mungkin pahit bagimu wahai pujaan hati. Kendati begitu, janganlah menghindar dariku. Karena, aku hanya seonggok perasaan tanpa raga. Ketika cinta terlontar, ini semata hanyalah kejujuran yang aku berikan untuk menunjukkan rasa yang terendap lama.”

Sang penyair bergumam dan terdiam. Dia merenung atas kehilangan yang akan terjadi padanya. Namun, Tuhan selalu memiliki rencana. Baik atau buruk, hidup selalu dinamis. Bagaikan burung yang bebas, dia akan bergerak kesana-kemari mencari arti kehidupan.

"Percayalah. Banyak nama yang kuabadikan menjadi puisi, prosa dan drama. Namun, aku ingin satu nama untuk selamanya, yang akan menghiasi hati dan karya-karya itu. Satu nama yang akan mengemban nama belakangku. Satu nama yang akan melahirkan anak-anakku. Satu nama yang kelak membawa surgaku."

Sang gadis belum meyakini. Hanya penantian yang kini menjadi teman terbaik sang penyair. Termangu dirinya, di atas batu besar. Berteman dengan rembulan, secarik kertas dan sebilah pena. Di atas kertas, dia menulis dan menulis, syair tentang cinta dan pengharapan. Hingga kini...

(RAS/27022012)

Sunday, February 26, 2012

O, Bunga Terindah

O Tuhan, aku mencintai bunga itu
Tumbuh di antara ilalang, dan dedaun
Ketika pagi, dirinya lelayu sayu
Saat senja, kuncupnya merekah terbangun

Taman Menteng, Jakarta Pusat, diselimuti awan muram. Mendung terlihat sejauh mata memandang, ketika aku menatap di balik rimbunnya pepohonan. Sinar mentari hanya sesekali menelusup dari jendela lembayung yang berwarna abu-abu. Tidak terbentang, hanya menerobos gelapnya gemawan.

“Senja yang suram dan kelam, seperti suasana hatiku yang dilanda nestapa. Tiada renjana yang biasa terpancar ketika sepasang manusia dilanda asmara. Kini, yang ada hanyalah bulan sabit yang tertutup gelapnya bayangan awan hitam. Hati yang senja, bagaikan malam penuh rindu dendam.”

Nikmati nestapa, dengan secangkir kopi dan sejumlah batang rokok. Anganku menerawang ke suatu tempat, ketika dua anak manusia duduk berdampingan. Syahdu, diam namun penuh kehangatan. Senja kini begitu dingin, tanpa senyum dan tatapan matanya yang indah.

Sejauh mata memandang, aku menyaksikan puluhan manusia yang tengah bercengkerama. Mereka bertegur sapa, ada pula yang memadu asmara. Tapi, aku memilih kesendirian. Hal ini agar aku bisa lebih jelas melihat bayangannya, tanpa ada gangguan dari siapapun. Aku memilih nestapa.

Sebuah bangunan kaca menuai pandangku. Indah, ketika matahari mengintip dari balik awan, dan menerobos lewat ruangan kaca itu. Sinarnya membias, dan menghujam manusia-manusia yang ada di dalamnya. Aku hanya memandang nanar, karena duniaku tidak bersinar seperti itu.

Jiwa dan anganku pun menerawang jauh. Abadilah dirinya dalam prosa dan karya-karyaku, seperti keabadian yang terendap di jiwaku. Dia dan selalu dia. Mengundang tawa ketika dirinya di sisiku, menuai nestapa kala dia jauh berada di sisi lain dunia.

Aku mendengar senandung alam terus membawakan syair indah. Mereka bersama peri-peri semesta menyanyikan lagu riang gembira. Namun, aku sendiri dalam nestapa. Kelam di hati, berkobar dan tak kunjung meredam. Rias raut awan mengerut kencang, seolah mereka terlalu lelah untuk menahan deras sinar sang surya.

Gontai kuberjalan di padang yang tak bertepi. Hanya warna kuning dan ilalang senja sejauh mata memandang. Aku melihat tepi dunia, namun tak kuasa kuraih, kendati perjalanan ini sudah menyusuri ribuan kilometer. Langkah ini tegas, namun tapakku lemas. Aku melangkah dalam dunia yang asing, antah berantah.

Di antara ilalang, aku bertemu sebatang pohon raksasa. Tepat di tengah dunia yang kini mengitari diriku. Rantingnya pun besar. Tumbuh di sana, dedaunan hijau merekah dan bunga-bunga dengan ragam hiasan serta warna-warni dunia. Awan pun senantiasa membelai pucuk sang pohon.

"Wahai pohon raksasa, indah nian bentuk tubuhmu. Kau memiliki anak-anak yang cantik rupawan. Mereka mekar sempurna, dengan duri-duri yang siap melindunginya. Tak pernah kutemukan, pohon segemilang dirimu. Kau menghiasi anjangsana ini, meski hanya kau seorang yang hidup di antara para ilalang."

Sang pohon melambaikan dahannya. Angin membuat dirinya terombang-ambing. Tapi, akar menahan tubuhnya agar sang bayu tak mencuri mahakarya semesta itu. Namun, sang bayu tak menyerang. Diembuskannya, angin yang sang kencang. Sang pohon pun bergoyang kian kencang, ditahannya dia agar tak terbang.

Bunga-bunga yang indah ini menuai perhatianku. Mereka bagaikan gadis-gadis yang siap dipetik oleh para pelamarnya. Seolah, sang pohon adalah raja, bunga-bunga itu bagaikan putri-putrinya. Ya, bunga itu adalah lambang kecantikan, kesempurnaan, dan harum mewangi yang membuat manusia terbuai.

Helai demi helai kuncup mereka berjatuhan. Meranggas dedaunan hingga terhempas ke bumi. Mereka pun merintis tunas baru, meski tak kunjung tumbuh besar. Namun, dedaunan menghiasi ilalang yang hanya berwarna kuning, tanpa menggubris jatuhnya mereka. Ilalang hanya terdiam, tiada bergeming.

Ada satu bunga. Dia masih terbungkus kuncup. Teman-temannya berupa membangunkan bunga itu. Tapi, dia hanya kelu. Tiada menanggapi panggilan itu. Dia tertidur lelap. Seperti, sebuah kepompong yang bergelantungan di dahan-dahan pepohonan. Hanya dedaunan yang menjadi temannya.

"Aku melihat sekuntum bunga yang tiada mekar. Aku mencintainya. Dia berbeda dengan bunga yang lain, dia lebih senang berada di dunianya yang sepi. Di sana, hanya ada dia dan jiwanya yang indah. Aku jatuh cinta kepadanya. Perasaan ini sangat terjal, kendati baru sejenak aku memandangnya. O, cinta."

"Aku memuja dirinya, o Tuhan. Bukan aku menduakan-Mu. Namun, sungguh ciptaan-Mu membuat hati ini terpana. Namun, bunga itu memiliki banyak ragam duri. Aku tahu Engkau sangat melindungi dia, o Tuhan. Dan, dia pun hingga kini tak kunjung mekar. Aku pun mengerti Engkau akan menjadikannya sekuntum bunga yang paling indah di antara yang lain, di akhir masa."

"O, Tuhan. Izinkan aku menanti dirinya mekar berseri. Aku ingin melihatnya dengan mata ini. Izinkan aku menjaganya, dari kumbang-kumbang lain yang datang dan mengganggu lelapnya. Meski Engkau menerpa diriku dengan panas dan hujan, izinkan aku untuk tetap menanti dirinya di bawah pohon ini. Aku ingin berteduh seraya melihat kecantikannya."

Cinta ini sudah terlontar dari hati. Bunga itu merekahkan kuncupnya sedikit. Meski begitu, kuncup itu kembali menutup. Dia masih setia dengan pohon yang memelihara dirinya. "Mungkin aku terlalu cepat berkata cinta, di saat bunga itu belum yakin akan mekar dan tersenyum. Namun, aku akan menunggu."

Aku lontarkan nada kerinduan sekali lagi. Cinta, o, cinta. Namun, sang bunga enggan mekar kembali. Dia terdiam, tanpa satu patah kata pun yang meluncur dari kuncup indahnya. Mungkin aku harus menyampaikan pesan kepada angin. Lalu, angin kan membawa hati ini ke hadapannya, semoga.

“Wahai angin, bantulah aku. Jika bumi tidak bisa menjadi tempatku merapal namanya, semoga dunia mimpi bisa menjadi lahanku untuk bertegur sapa dan memanggil namanya selalu. Sebab, hanya kata yang sanggup aku ucapkan. Bukan cumbu rayu dan cita secinta.”

Penantian. Tak ada yang seindah penantian ini. Sebuah asa yang terlahir dari bunda semesta. Terus merambat ke jiwa bagaikan sulur tanaman yang melahap diri ini. Asa bisa saja punah, namun diri ini akan terus bangkit dalam nestapa. Titik terang akan hadir di saat bumi ini gelap gulita. Itulah asa.

“Hingga suatu hari nanti, ajal menjemput dan masaku berakhir di sini, aku mungkin tak akan sanggup melihat bunga itu mekar berseri. Namun, aku ingin bunga itu tahu ada seseorang yang selalu mengabadikannya dalam prosa, puisi, kata dan tulisan.Dan, aku pun pergi dengan senyuman.”

Tulisan. Hanya goresan tinta, yang mungkin akan terhapus oleh zaman, atau mungkin tidak. Apalah arti sebuah kalimat. "Di sini, aku bukan menuangkan sebaris, dua baris kalimat. Tapi, aku menaruh sepenggal hatiku, dalam kertas-kertas kosong yang tak bertuan. Biarlah hatiku yang merangkai kata demi kata."

Teringat, ketika Tuhan menciptakan cinta dari ribuan rasa di dunia. Sedih, bahagia, cemburu, dan lainnya. Lalu, Dia merangkumnya dalam sebilah hati yang suci. Kini aku sadar, Tuhan menciptakan cinta, agar manusia tahu apa yang harus mereka perjuangkan.

Untuk sekuntum melati yang tak kunjung merekah
Aku kan menanti sampai kapan, entahlah
Namun kini api sedang berkobar, menghiasi malam
Hanya ajal yang bisa membuatnya padam

(RAS/26022012)