Monday, April 30, 2012

Suasana

“Dimanakah engkau wahai suasana? Ketika itu engkau membuaiku dalam suatu kedekatan yang hingga kini masih terngiang di selasar otakku. Namun, hingga kiwari, kau meninggalkanku, mencampakkanku bagaikan tulang ikan yang berserakan. Kau jua yang membuat diriku jauh darinya. Tak ada lagi kedekatan seperti dahulu.”

Suara jiwa. Begitulah aku memanggilnya. Terkadang suara itu muncul dan mencuat ke permukaan otak, seraya berteriak lantang. Bukan suara yang kasat telinga, tapi ungkapan yang hanya bisa didengar oleh hatiku dan Sang Pencipta. Suara seperti ini yang terus menghantui jagaku maupun tidurku, hingga kemudian tak ada lelap bagiku.

Jiwaku terus menggugat terhadap keadaan. Ya keadaan atau suasana, sebuah benda yang abstrak dan tak terlihat, namun cukup membuat manusia terbuai dengan alam sekitar serta elemen pendukung lainnya. Seperti, kicau burung, wangi rumput dan tanah yang membasah, semilir angin penuai rindu serta rintik hujan nan sarat kesejukan.

Suasana itu mempertemukan aku dengan dirinya. Ketika kali pertama aku mengajaknya beranjak dari tempat berteduh dan singgah ke tempat yang jauh. Suasana itu begitu indah. Aku masih bisa merasakan udara yang dulu melingkupiku, suara ombak yang terdengar sayup-sayup menyela obrolan antara aku dan dirinya. Indah memang.

Dan, suasana pula yang membuat kedekatan itu memiliki sekat. Lebih tebal daripada sekat kaca yang biasa memisahkan kita di ruangan tanpa suara. Berawal ketika malam itu, aku memutar arah. Suasana menggiringku untuk berkata “cinta.” Malam dan pikiran yang menghantui, memproyeksikan kondisi ketika aku kehilangan dirimu. Semua berawal dari jika.

Apakah itu adalah kebetulan? Aku tidak percaya dengan kebetulan. Takdir sudah dituliskan oleh Sang Penguasa Semesta, dengan tinta yang tak kuasa dihapus. Kecuali oleh diri-Nya. Namun, tinta itulah yang menuntun manusia ke jalan yang seharusnya. Tak ada yang salah pula dengan cinta. Ketika cinta itu datang, tanpa kita bisa memilih siapa sang pujaan hati.

Dalam sebuah buku tentang cinta, Yudhistira ANM Massardi pernah bercerita tentang sosok Palgunadi, seorang wartawan yang memiliki hasrat mendalam terhadap wanita. Kala pada suatu ketika, seorang wanita mencuri hati sang kuli tinta. Tak kuasa mengelak, Palgunadi dihantui lonceng yang berdentang, iramanya pelan namun cukup membuat bising hati.

Alam menciptakan suasana yang tepat bagi orang yang tengah dilanda cinta dan dipeluk Sang Smara. Digambarkan dalam buku itu, suasana diciptakan oleh panorama serta pesona Bali yang karib dikenal sebagai Pulau Dewata. Bukan hanya menjadi tempat bermukim para dewa, namun keindahan alamnya yang konon hanya ada di negeri para dewa.

Lain Palgunadi, lain pula diriku. Aku mengalami hal serupa. Saat suasana menusukkan cinta ke jantungku, ketika itu seorang wanita mencuri perhatianku. Lalu, aku pun terombang ambing. Bergerak kesana kemari, bagaikan nyiur yang melambai kepada para nelayan nan hendak melaut. Suasana yang memicu hadirnya Dewa Cinta.

Tapi, ketika kata cinta terlontar. Seluruhnya berubah. Suasana itu sirna sudah, tak ada lagi semesta yang mendukung insan bercinta ini. Aku bagaikan sendiri di tengah keramaian. Hanya suara hati yang menjerit dan rentetan nasib yang hanya bisa kusesali. Dimanakah suasana itu? Pergikah mencari para pencinta lainnya, sedangkan pencinta ini sesal sendiri?

Berulang kali, aku kirimkan surat untuk Tuhan. Melalui doa-doa yang aku harapkan diijabah oleh-Nya. Namun, seperti aku ketahui cinta Tuhan absurd, tidak berbentuk. Tak ada yang tahu kapan Tuhan memberikan jawaban dari doa-doa yang dihaturkan. Tapi, aku meyakini kabulan doa itu akan datang pada saat yang tepat. Titi kolo mongso...

Di suatu senja di bilangan Kemanggisan, Jakarta Barat, ketika aku bersantap sore bersama dia dan temannya. Suasana itu menyedihkan. Betapa tidak, dua manusia yang dulu pernah berdekatan dan bisa berbicara dari hati ke hati, kini hanya berdiam diri. Hanya keluar sepatah dua patah kata. Saat itu, kepalsuan merajai jiwa-jiwa ini, dan kejujuran tertutup kabut pekat sore hari.

“Apa yang  terjadi nona? Dimanakah kedekatan yang dahulu pernah menggandeng kita dengan tangan-tangannya yang manja? Kemanakah Sang Smara yang pernah memeluk kita dengan sayap-sayapnya nan putih, seraya mendengarkan alunan nada darinya menyenandungkan elegi kerinduan dan syair-syair merdu, gubahan penyair kehidupan?”

Kini, aku hanya bisa menatap dia. Begitu dekat raga ini, namun jiwaku dan dirinya terlampau jauh. Aku dipisahkan jurang yang sangat dalam. Bahkan, tanganku tak sanggup menggapai tepi jurang itu. Dan, sampai saat ini, jurang itu semakin lebar dan jauh. Betapa aku merindukan sosok di seberang sana. Namun, jembatan yang kugubah senantiasa musnah, tak sampai ke sana.

Aku melihat senyumnya. Sebuah senyum yang membuat aku berpikir. Aku menatap sedihmu. Sebuah kesedihan yang membuat aku bertanya-tanya. Apa gerangan yang dipikirkan olehnya? Ada aku di antara mereka? Ataukah aku hanyalah sekelumit bayangan yang mudah dihapus hanya dengan mengibaskan telapak tangan?

Tanya. Selalu tanya yang hinggap di jiwa. Tak ada bentuk jawaban. Enggan aku bertanya kepadanya, ketika aku melihat rona kehidupan yang tengah dipikirkannya. Sebuah kisah yang mungkin hendak dicari penyambungnya. Hingga kini, dia masih terus mencari potongan puzzle tersebut. Sampai potongan itu sempurna, tak ada tanya yang hinggap di jiwa.

“Senyum itu mengandung berjuta makna. Sempat aku tersenyum padamu, namun kau membalasnya dengan canggung. Pun demikian, ketika kau menyunggingkan senyum, aku membalasnya dengan sebuah reaksi yang tak biasa. Benar-benar ada penghalang. Sebuah dinding yang tebal, tak kasat mata, tapi cukup untuk menciptakan segala nestapa.”

Aku tak sanggup menoleh ke arahnya. Takut, dan gentar atas reaksi yang akan ditimbulkan olehnya. Enggan diriku menatap senyum itu. Apakah semua harus berakhir seperti ini? Ketika sebuah ruang yang dulu terbentang luas, kini hanya sempit yang kurasa. Tak kuasa dan tiada bebas aku bergerak. Hati inipun memiliki belenggu untuk berekspresi.

Ya, ekspresi yang mati. Sedih ditutupi dengan senyum manis. Bila rasa cinta itu memuncak, hanya diam yang aku rautkan dalam mimik wajah. Sisanya, banyak diam di antara aku dan dia. Beberapa kali, aku berusaha memandangnya. Tapi, tidak seperti dulu. Dahulu, aku memandang matanya begitu dalam, sehingga aku bisa merasakan suasana di baliknya.

Tatapan yang dalam kini hanya ada dalam mimpi. Beberapa kali aku memimpikan pribadinya. Ketika terbangun, aku terdiam sejenak. Terhenyak memang, memikirkan betapa Tuhan masih memberikan harapan itu, meski di dalam mimpi. Dalam diam, aku mengawang. Pikiran menerawang kembali ke suasana yang dulu pernah hadir di antara kita.

Seorang teman pernah berkata, mimpi adalah suatu bentuk rasa dari pribadi sang pemimpi. Objek dalam mimpi bisa jadi hal yang paling ditakutkan maupun hal yang paling diinginkan. Tapi, mimpi itu begitu nyata. Ketika aku bisa menatap dalam kedua bola matanya. Tak ada lagi pelangi yang tertutup kabut pekat. Semuanya terlihat jelas.

Kala itu, aku berkata lirih kepadanya. “Wahai nona, dulu tidak seperti ini. Apa yang terjadi? Apakah bulan sudah tertutup awan sehingga tak ada tempat bagi bintang untuk terus bersinar terang? Apakah bumi sudah menenggelamkan diriku, sehingga aku tidak bisa lagi mendengar tawamu, bicaramu, dan melihat wajah sendumu?” ucapku kepadanya.

Sang wanita berkata dengan tenang. “Cintamu terlalu dini terlontar, dan keyakinanmu kepadaku tidak berdasar. Apakah cinta berarti tanpa pengorbanan? Apakah kerinduan akan terus tumbuh tanpa penantian? Takdir Tuhan berkata bahwa waktumu bukan sekarang, bukan pula waktuku kini. Kini, kesendirian tengah memelukku dengan tangannya yang indah.”

Lalu, segenap rasa sesal menghujam diriku. Betapa agresifnya diriku. Betapa naifnya aku menyalahkan suasana atas apa yang terjadi kepada aku dan dirinya. Padahal, tak ada yang salah dengan suasana apabila manusia meyakini apa yang dilakukannya. Bukan dengan mengandalkan suasana, tapi juga hati yang akan membawa dirinya menuju kepada kebenaran sejati.

Kini, aku mengetahui kisah dibalik diamnya. Bukan hanya sekadar suasana, tapi hati yang kini mulai tumbuh menjadi tunas-tunas muda. Aku kini harus bersabar untuk itu. Hati yang suci tidak mudah untuk disentuh. Sebab, hati yang suci bagaikan inti bawang yang dilindungi ribuan lapisan. Hanya dia yang beruntung bisa menyentuh inti tersebut. Bukan andalkan suasana.

Berlalu tak berujung memadu
Dalam arti hidupku
Tanpa kesan mendalam
Tanpa ragam

Kuingin berganti dalam nyata
Hanya yang semestinya
Terjalin dan tercipta
Dalam jiwa

(Suasana, Fariz RM, 1980)

Wednesday, April 25, 2012

Pekat

Mungkin sulit mendaki gunung tinggi
Pula, tak semudah mencari pelangi
Terlebih, yang tertutup kabut pekat
Dan, bersandar pada cahaya mentari

Kau adalah wangi hujan rintik
Tak peduli, keberadaan pelangi
Aku ingin hujan tak berhenti
Hanya untuk melihatmu sejenak

Basahilah tubuh ini dengan rintikmu
Maka, aku kan bawa pelangi di sisimu
Deraikanlah malam yang kelam
Maka, aku akan bawa sinar di hadapmu

Di Balik Rindu...

Langit ungu, burung biru
Aku lihat kau tersenyum sipu
Lambaikan tangan manjamu
Bertabur bunga dan debu

Andaikan bisa kusambangi
Jiwa manismu yang menari
Terbaring dalam titian sepi
Terbang seraya meniti perih

Senyum simpul, bertahta duka
Aku merasa kau menahan luka
Menganga, bak mulut gua
Dan, kau tetap menaruh asa

Ruang Nestapa

Kau, nun di balik sekat kaca
Seorang pria enggan bersedih
Air mata pun mustahil tercurah
Kini, seluruh asa musnah

Aku terbuai sedih, kini
Saat bahagia tidak tertuai
Ketika sapa hilang bak embun
Wajah pun urung berpaling

Tahukah apa itu kesedihan?
Sedih, yang dulu dekat kini menjauh
Jiwa yang dulu sempat erat
Namun, kini keduanya terpisah

Entah apa yang memisahkan
Entah bagaimana menuai sekat
Tapi, sekat itu tak cukup tebal
Untuk cinta yang menggebu

Monday, April 23, 2012

Wijaya Kusuma

Terang, namun tak menyilaukan. Peluh pun enggan untuk mengaliri tubuh ini. Kendati begitu, napas rada tersengal-sengal ketika aku mendaratkan kaki di lapangan luas itu. Matahari tampak tersenyum menyelimuti bumi yang kian muram, hingga akhirnya gelap kelak merajai seluruh semesta raya. Dan, rindu dendam pun menyibak takbir di dalam jiwa manusia.

Terdiam, aku menatap tempat itu. Sebuah monumen berdiri tegak. Inilah tonggak perjuangan bangsa ini. Pucuk berhiaskan emas kian membuat hawa bangga ini kian merinding, raga pun tak bergeming, mengingat perjuangan dahsyat hingga darah mereka mengering. Ya, masa silam ketika bangsa ini masih merintis sebuah pengakuan dan mencari arti kemerdekaan.

Lapangan dengan sentral sebuah monumen itu menghadap ke empat penjuru mata angin: Utara, Timur, Selatan dan Barat. Keempatnya bertemu dan bertegur sapa di lokasi yang menjadi titik nol Ibu Kota itu. Mereka mengadu seraya memberikan aspirasi atas apa yang terjadi di alam. Melaporkan seluruh kejadian yang berkaitan dengan semesta raya Ibu Kota.

Empat mata angin itu mengadakan rapat. Mungkin rapat yang sama ketika dulu bangsa ini merayakan kemerdekaan. Ribuan massa menggalang semangat di lapangan itu. Berkumpul untuk mendengarkan pidato akbar dari sang pemimpin negara. Dengan jiwa membara, dan merdeka, mereka menggulungkan nestapa, menanggalkan baju pribadi dan menjadi satu.

Sayup-sayup, aku merasakan genta yang sempat berbunyi dahulu kala. Masih terasa, bagaimana teriakan mereka memecah langit yang tengah senyap. Bagaimana aksi mereka yang membuat para penjajah ketar-ketir, dan mulai berpikir bahwa negara ini bukanlah negara yang pantas untuk dijadikan bahan jajahan dan objek penyiksaan. Negara ini adalah negara merdeka.

Monumen Nasional di Jakarta Pusat, atau Monas biasa orang menyebutnya. Senja menjadi elemen yang sangat menawan ketika dihabiskan di tempat ini. Percayalah, bukan hanya hawa yang hangat, namun pula suasana aktivitas warga Jakarta yang menuai aura kebersamaan. Di sana, warga Jakarta bersatu padu menikmati sore hari, seraya merangkum damai dan melepas penat.

Aku adalah salah satu dari mereka. Buaian senja menerapa, mengalunkan musik yang sanggup menuai damai. Ketika aku duduk di sebuah bangku taman, ada satu hal yang memancing perhatianku. Bukanlah wanita molek, bukan pula rombongan tanjidor, bukan juga komunitas-komunitas yang acapkali ikut menuai bising di lapangan Monas.

Seorang wanita paruh baya berjalan gontai. Dia tidak lemah, dan bukan seorang pesakitan. Raganya sehat, namun di dalam jiwanya, aku merasakan wanita itu tengah mencari kedamaian, berupaya menghilangkan kepenatan dengan menyambangi Monas. Dia sendiri. Tiada yang menemani. Sesekali, wanita itu beradu pandang dengan puncak monas, dan mentari jingga.

“Wajahnya cantik, meski raut menua sudah menghiasi wajahnya. Cadar berwarna hijau melekat menutupi rambut, yang sepertinya telah memutih dimakan usia. Tapi, wanita itu tampak sulit untuk tersenyum. Berulang kali, aku melihat tak ada sunggingan senyum di wajahnya. Muram, seperti seorang manusia yang memiliki puspa ragam problema.”

Hanya dugaan dan sinyalemen, manusia tak akan pernah mengetahui tanpa berupaya mengenalnya. Sebuah lapisan yang sangat kasar, bukan memiliki isi yang terlampau keras. Sebut saja kerang. Mahluk laut ini memiliki cangkang yang keras, namun dagingnya sangat lembut. Pun demikian dengan wanita itu. Belum tentu hatinya semuram wajahnya.

Wanita itu duduk di bangku. Letaknya di seberang tugu Monas. Di sana, dia hanya terdiam. Tampak, dia tengah menikmati alam raya. Hangatnya suasana senja di Monas.  Pandangannya tak pernah lepas dari Tugu Monas. Berulang kali pula wanita tua itu menghela napas panjang, menikmati suasana seraya meresapinya dengan segenap jiwa raga.

Aku pun menyapanya. “Sore ini senantiasa menjadi pelipur lara bagi para manusia. Tak terkecuali, seorang ibu. Selamat menikmati suasana ini, jangan lelah untuk menghujamkan penat dengan panah-panah keabadian dari Sang Pencipta. Kelak, penat ini akan menjadi rutinitas dan akan menghabisi nyawa para manusia. Apa gerangan yang membawa ibu ke sini?”

Siapa nyana, di balik dingin sikap dan muram wajahnya, terdapat senyuman yang memiliki kehangatan. Lebih hangat dari pada cahaya mentari petang itu. Tidak sedingin ruang kutub di dua penjuru bumi. Senyuman manis itu aku balas. Tentunya dengan senyuman pula. Aku merasakan aura keibuan dan sahaja di wanita itu, sangatlah sarat dengan kenyamanan.

“Aku datang dengan setangkup rona kebahagiaan. Bersyukur diri ini dengan apa yang diberikan Tuhan kepadaku. Sebuah dunia yang memiliki bunga rampai. Anomali yang tidak mengundang hawa negatif dan nestapa. Aku datang kesini untuk mengucapkan syukur kepada senja atas cinta yang diberikannya kepadaku, dan segenap rasa cintaku kepada semesta,” tutur sang ibu.

Ternyata, jauh dari perkiraanku. Tak semua manusia datang untuk menyajikan penat kepada semesta. Ada pula yang memberikan apresiasi rasa syukur terhadap segala macam anugerah. Ungkapan sebagai wujud terima kasih, bukan hanya sekadar pelampiasan dari impitan kehidupan di Ibu Kota. Salah ketika aku mengatakan bahwa tempat ini untuk membuang jauh penat.

Aku bertanya namanya. Dan, dia menjawab. “Namaku Gaia. Aku sangat mencintai tumbuhan. Aku memuja mereka. Tapi, bukan seperti aku menyembah Tuhan tentunya. Ada suatu ikatan yang tak bisa dijelaskan dengan logika antara diriku dan tumbuh-tumbuhan. Mereka memberiku hidup. Mereka menghaturkan cinta yang membuatku terbuai kerinduan kepada-Nya.”

Gaia, sebuah nama yang indah.  Dalam mitologi Yunani, Gaia adalah Dewi Bumi. Kalau dalam mitologi India, dia bernama Pertiwi. Alkisah, cinta Gaia sangatlah besar kepada bumi. Dia adalah ibu dari para dewa yang menguasai Gunung Olympus, seperti Zeus, Poseidon, Hades, dan lain-lain. Gaia bersuamikan Cronos yang kelak akan dibunuh oleh anak-anaknya sendiri.

Tapi berbeda nasib dengan Gaia dalam mitologi Yunani tentunya. Gaia yang aku kenal ini memiliki latar belakang keluarga yang tidak aku ketahui. Maklum, namanya juga baru kenal. Tapi, di dekatnya, aku merasa seperti  di samping ibuku, atau nenekku. Dia mengajakku bicara dengan nada bersahabat. Tak pelak, dia pun menanyakan ragam kisah hidupku.

Singkat cerita, aku mengisahkannya dengan gamblang. Tapi, tidak seperti saat melamar kerja, ketika seluruh kisah dilontarkan secara akurat tentunya. Lalu, aku bertanya pula kepadanya. “Ibu adalah seorang yang bersyukur atas apa yang telah diberikan Yang Kuasa, dan cinta telah membuat ibu jatmika. Maka, aku ingin bertanya apakah arti sebuah cinta bagi ibu?”

Wanita bersahaja itu pun berkisah:

“Kesunyian membuahkan cinta. Damai kian merapalkan rasa cinta, dan mahligai asmara. Tapi, tak semua cinta adalah hubungan antarmanusia. Meski demikian, cinta tak menutup kemungkinan dua manusia berpadu menuju kesempurnaan. Bagaikan Adam yang tak pelak bisa hidup tanpa Hawa. Dua manusia menjadi sempurna. Jika salah seorangnya hilang, maka timpang.”

“Aku adalah orang yang hidup di duniaku sendiri. Di dalam ruang yang penuh dengan ruas-ruas kehidupan. Dunia itu kuciptakan sendiri, hingga kini menjadi zona nyaman bagi aku. Inilah aku, tidak ada yang bisa mengubahnya. Namun, inilah kenikmatannya. Bukan suatu jurang nestapa yang terjalin dari bulir-bulir air mata dunia dan ibu pertiwi.”

“Acapkali aku tertawa dengan lelucon yang diberikan temanku. Tawaku yang khas seringkali membahana di setiap sudut ruangan. Tapi, aku menikmatinya. Aku mencintai tawaku, seperti asmara seorang seniman terhadap air matanya yang kelak membuahkan inspirasi. Tawa ini membawaku menikmati kehidupan di tengah penat yang mendera.”

“Makanan vegetarian. Tak ada yang bisa mengalahkan cintaku kepada jenis makanan ini. Setiap hari aku menikmatinya, meski orang lain kerap berkata bahwa makanan ini tidak memiliki rasa, serta tak menyentuh bagian perut yang terdalam. Sekali lagi, inilah makanan kesukaanku, karena hal ini menyehatkan. Dan, aku pun selalu menikmatinya.”

“Mengajar, inilah hasratku sedari dulu. Kini, aku bisa memenuhinya. Betapa tidak, ingin rasanya diri ini memberikan ilmu pengetahuan yang aku punya kepada mereka yang membutuhkan. Aku mengutuk dunia pendidikan yang ‘kotor’, selalu berpikir tentang uang dan uang tanpa memperhatikan para akademisi. Aku enggan seperti ini.”

“Kini, aku memiliki sebuah sekolah. Mereka adalah wujud cintaku kepada dunia pendidikan. Anak-anak kolong langit yang mengais mimpi dari tempat sampah umum dan perempatan lalu lintas. Aku merangkum mereka agar memiliki ilmu. Bukan ilmu yang spesifik, namun pengetahuan umum tentang filsafat kehidupan untuk menghadapi gejolak dunia.”

“Aku menikmati mengajarkan ilmu kepada mereka. Tanpa donasi, hanya beratapkan kayu tipis dan peralatan ala kadarnya. Tapi, tidak ada rona kesedihan dan nestapa di raut wajah anak-anak tersebut. Mereka senang, dan antusias, meski tidak semegah  fasilitas di sekolah-sekolah ternama. Bukan fasilitas yang mereka inginkan, tapi sebuah semangat yang datang dari jiwa.”

“Salah satu cintaku yang terbesar adalah kepada tumbuhan. Warna hijau, dan wanginya di kala hujan turun seperti membawaku kembali ke masa silam. Mengingat berbagai kenangan yang pernah singgah di hati dan jiwaku. Tumbuhan merekam semua kenangan tersebut di sela-sela daunnya yang berwarna hijau, dan berkembang seiring rotasi roda zaman.”

“Adalah Wijaya Kusuma yang menyisakan kenangan manis dalam hidupku. Masih teringat, ketika bunga itu hendak mekar, keluargaku memberi kabar kepadaku. Waktu itu, malam tengah menyajikan panorama purnama. Dari segala penjuru, keluarga kami berdatangan. Namun, hingga kini kami tak pernah melihat proses mekar bunga tersebut. Misterius memang.”

“Tapi, bunga itu menjadi saksi bisu jatuh bangunnya keluarga kami. Dari kami merintis hidup, hingga aku beranjak dewasa. Bunga itu setia mendampingi. Beberapa kali bunga itu layu. Bahkan, kami menganggapnya telah mati. Namun, berulang kali bunga itu kembali terjaga dan tumbuh. Ini seperti semangat keluarga kami yang selalu tegar menghadapi jatuh bangun kehidupan.”

“Kini, Sang Wijaya Kusuma telah mati. Benar-benar tak terjaga lagi. Kami sekeluarga sedih. Bisa dibilang, bunga itu mengawal kehidupan keluargaku. Beberapa kali, aku mencari bunga yang sama seperti itu. Namun, aku tak pernah menemukannya. Hanyalah bunga yang mirip, namun bukan bunga yang menyimpan sejarah dalam keluargaku.”

“Mereka tahu cintaku kepada tumbuhan. Aku pun mengerti jenis-jenis tumbuhan. Aku tumbuh kembang bersama mereka. Ketika bunga hidupku mekar, tunas-tunas baru muncul kembali. Mereka adalah wujud regenerasi yang tak pernah habis digilas roda zaman. Teman-temanku bahkan menjuluki ‘si gadis tumbuhan’ karena kepiawaianku di bidang tumbuhan.”

“Cinta terbesarku adalah kepada Tuhan dan keluargaku. Tuhan memberiku kehidupan yang sangat dinamis, sedangkan keluarga selalu ada di saat aku terangkum dalam kesedihan maupun kebahagiaan. Tak ada harta yang bisa menggantikan mereka. Di penghujung hidupku kelak, hanya ada aku dan mereka. Tak ada seorang pun yang bisa menjadi mereka.”

Obrolan diriku dengan wanita telah membawaku ke tahap baru semesta. Saat itu, semesta mulai mencekam. Malam menjadikan langit menggelap, sedangkan mentari entah kemana. Terlampau nikmat berbicara, aku tidak memperhatikan kemana sang mentari. Tapi, aku meyakini dia tengah berada di sisi lain bumi. Terlelap dalam tidurnya yang syahdu.

Aku melihat sosok yang sama dengan wanita ini. Seorang wanita yang telah bersemayam di hatiku. Banyak kesamaan yang kuresapi. Ya, wanita itu entah kemana. Hilang bagaikan debur ombak yang berangsur-angsur hilang seiring dengan pergerakan air. Wanita itu bagaikan embun yang dihiasi kencana, ketika pagi membuatnya menghilang tanpa bekas.

Tanpa sadar kini, aku merindukannya. Teringat pula, saat-saat bersama dengannya. Ketika bumi merangkum dua hati yang berbeda dan mengizinkan aku dekat dengannya. Namun, kini jarak menjadi musuhku. Aku dan dia jauh, meski sempat mengalunkan nada-nada kerinduan. Tapi, kini lamat-lamat sirna. Inilah cinta, menurutku, kendati hati itu raib sudah.

Hari sudah malam, sang ibu pamit menuju tempat peraduannya di penghujung Ibu Kota. Sedangkan, aku masih berada di pelataran lapangan tersebut. Mencoba mengais inspirasi dan ide yang tercecer di rumput dan tumbuhan Monas. Berdiam diri sejenak, sebelum merebahkan diri di persinggahan. Terngiang, sosok wanita yang telah lama hilang itu.

Dan, lagu “Mata Berdebu” dari Sore pun mengalunkan rinduku. “Sabar kumendaki pusara puncak hatimu. Kesan yang terjadi di ladang lara batinku.”

Wednesday, April 18, 2012

Imajinasi

"Kala diriku menatap sebuah lukisan karya, aku bayangkan alunan nada yang menyelimutinya. Ketika diriku mendengar gubahan suara, aku bayangkan adegan yang merangkumnya. Lalu, karya apa yang melengkapi imaji raya? Film adalah jawaban dari semua tanya."

Singkatku di Kota Tua

Kota tua alias kota toea. Beberapa hari belakangan, aku sering menyambangi situs warisan yang dibangun koloni Belanda untuk memberi hormat kepada Bataviere alias leluhur bangsa Negeri Tulip itu. Apa yang menarik di sana? Mungkin banyak yang berpikir bahwa Kota Tua hanyalah sebuah komplek gedung tua yang usang dan tergilas roda zaman. Kini renta.

Namun, tidak bagiku. Ada hubungan batin yang erat antara aku dan gedung-gedung tua tersebut. Seolah, gedung itu bercerita. Mereka bersaksi atas apa yang telah dilihat dan dirasakan dari zaman ke zaman. Dunia kini telah menua. Berbeda dengan zaman dulu, ketika mereka masih belia. Gedung yang kokoh berdiri tegak, mulai lunglai dipenuhi lumut dan noda hitam sejarah.

"Gedung ini memberikan hawa usang. Aku merasa tua di antara komplek ini. Betapa tidak, duniaku yang modern dan penuh dengan teknologi, tidak menjanjikan apapun selain persaingan dan rutinitas. Di sini, mereka mengayomiku. Pergerakan roda zaman perlahan mulai melambat. Lamat-lamat dunia pun berhenti berputar. Hanya ada aku, kesunyian dan suara yang kuciptakan."

Duduk di sebuah pelataran membelakangi Sungai Ciliwung yang membelah Ibu Kota. Bau tak sedap, tak membuatku gentar. Aku tetap beradu pikiran dengan seluruh imaji yang merasuki jiwaku. Kopi dan sebatang sigaret melengkapi pertapaanku di jurang kedamaian. Ya, kedamaian serta ketenangan yang tidak aku dapatkan di sela rutinitas keseharian.

Dan, aku pun menulis:

"Wahai kota yang kini telah termakan usia. Tua dan usang. Aku disini berada. Menjadi tua seperti kalian. Aus dalam pertapaan yang aku lalui kini. Kau adalah gedung yang tak bernyawa, tidak bernapas dan tiada bergerak. Namun, kau memiliki sejarah yang tidak dimiliki manusia. Kau menjadi saksi bisu bagi perkembangan kota yang aku singgahi."

Sekejap seluruh dunia hilang. Tapakku tidak menjejak. Penaku terdiam, mulutku membisu. Aku melihat seorang wanita. Dengan cadar dan kerudung hitam melintas di hadapanku. Langkahnya tegap, dan pasti. Ada yang mengejarnya. Entah itu sesuatu atau seseorang. Aku hanya berpikir, namun tak bereaksi. Otak ini terus melalui beragam pertimbangan.

Lalu, aku mengejar sosok misterius itu. Gerakanku melambat, seolah ada kekuatan yang menahanku. Aku melihat gedung-gedung itu bersuara, mengumamkan sebuah kata. Tapi, aku tidak menyimaknya dengan jelas. Hanya gumaman, aku pikir. Tak lebih dari itu, meski mereka ingin menyampaikan suatu hal yang mungkin harus aku ketahui.

Kini, suara itu semakin jelas. Kian aku berlari, suara itu kian lantang. Terdengar renta memang. Seraya ada sekat yang menghalangi suara itu. Serak namun lirih dan jelas. Tidak terlalu lantang. Aku melintasi jalan menuju Lapangan Fatahillah. Selasar itu seperti menyempit, dan membentuk sebuah lorong. Menggelap, hanya ada setitik cahaya.

Kendati demikian, aku terus melaju melintasi lorong itu, mendekati cahaya. Aku meyakini semuanya adalah halusinasi. Tak lebih dari itu. Gedung-gedung itu terus bersuara, tanpa henti. Seiring dengan itu, cahaya kian mendekat dan benderang. Aku menduga ada sebuah dunia lain di sisi cahaya itu. Sebuah dunia yang aku tidak kenal. Asing nanti dan kini bagiku.

"Cahaya apa ini? Benderang, namun sangat aneh. Aku bagaikan suatu harapan yang disuguhi cahaya kecil menjadi tujuanku kelak. Udara di sekelilingku pun berubah pekat. Ketika kuhirup, ada bulir-bulir kecil yang menempel di tenggorokan. Seperti sebuah benda tua yang baru ditemukan. Penuh debu yang meyelimutinya, dan bau yang tersimpan lama di gudang."

"Hanya cahaya, namun kemanakah gerangan gadis itu? Apakah cahaya itu menelannya bagaikan lubang hitam di angkasa yang melahap asteroid di tata surya? Entahlah. Yang terang hal ini aneh bagiku. Seorang gadis berpakaian serba tua di Kota Tua dan dunia tua yang melingkupinya. Peduli setan, aku harus mengejar dan menemukan dia."

Rasa penasaran berbuah ketertarikan. Ketertarikan berbuah suka. Suka berbuah cinta. Namun, ini bukanlah cinta. Hanya rasa ingin tahu yang amat sangat atas kehadiran wanita tua. Seorang wanita melintas tanpa sebab, lalu menuai perhatianku. Ketika kusapa, dia berjalan seolah di dunia ini hanya ada dia dan dirinya. Ya, dia dan dunia yang mengelilinginya.

Tak lama, hawa di sekitarku menjadi tua, baunya kian pekat. Sayup-sayup terdengar suara musik jazz. Musik ini adalah alunan nada yang dibawa penjajah Belanda ketika masuk ke Indonesia. Jazz ini berbeda. Sangat tua, seperti suara yang keluar dari piringan hitam. Bukan musik yang modern dengan irama yang dipenuhi dengan dominasi mesin dan teknologi.

Langsung, aku teringat sebuah adegan dalam lagu Sore. Judulnya "Bogor Biru." Lagu jazz dengan ambience era masa lampau. Aku merasa tua, ketika membayangkan diriku berada di sebuah rumah makan. Seluruh ornamennya mengisahkan zaman kolonial. Foto orang-orang dengan gaya seadanya pun menghiasi setiap sudut ruangan itu. Hitam putih, tiada berwarna.

"Seribu bunga menghamburi. Indah merasuki. Malam mengawali, kasihku. Selimut suasana, membakar waktu dan melaju. Perihku terhempaslah, menampar waktu dan melaju. Menyatu di alam." Suara lirik sang penyanyi menghantui telingaku. Menghempas diriku ke alam yang syahdu. Kini dan nanti, suara itu selalu terngiang melaju dalam deru kalbu.

Tapi, itu hanya imajiku. Kini kembali ke cerita yang sudah berlalu. Aku memasuki cahaya itu. Suara gedung yang menghimpitku hilang tak menentu. Bising yang lirih dan serak, kini berganti dengan keramaian manusia. Ya, gelombang para warga Jakarta yang memadati Lapangan Fatahillah. Dengan sepeda onthel yang berseliweran dengan gagahnya.

Tunggu dulu! Ini bukan Jakarta yang aku kenal. Aku merasa berada di sisi lain dari suatu era. Bagaikan melewati lorong waktu, kini aku berada di dunia lain. Namun, dimanakah diriku? Lapangan yang sama, tapi lebih luas dan bersih. Gedung yang sama, namun dengan gaya arsitektur yang masih berdiri tegap dan cantik. Siluetnya pun tidak menunjukkan penuaan.

"Aku pernah melihat dunia ini. Suatu ketika, aku pernah mencari arti dari Kota Tua. Lalu, tanpa sengaja aku menemukan sebuah foto hitam putih yang telah memudar. Di sana, terlihat aktivitas Kota Tua dengan segala kesibukannya. Namun, kesibukan itu bukanlah di zaman modernisasi. Itu adalah zaman ketika Jakarta masih menyandang nama Batavia."

Tak salah lagi, aku berada di zaman yang berbeda. Sepasang suami istri tampak di hadapanku. Sang suami memakai baju safari berwarna putih dengan topi bundar. Aku asumsikan dia berprofesi sebagai seorang mandor. Sedangkan, sang istri membawa payung dengan topi bunga. Dia mengenakan gaun yang cukup panjang untuk menyeret pakaiannya di jalan.

Keduanya sangat menikmati pembicaraan. Tak diacuhkan, manusia-manusia yang berada memenuhi lapangan ini. Aku hanya menoleh, tanpa bersuara. Masih tidak percaya dengan apa yang aku saksikan. Tak hanya kedua suami-istri itu, orang-orang pun menggunakan pakaian yang tidak ada di zamanku. Bilapun ada, pastinya orang itu dijuluki Jadul alis jaman dulu.

Aku hanya tertawa terbahak-bahak. Inilah dunia yang aku cari. Sebuah wilayah kuno, dengan lorong waktu. Aku seperti di film bisu. Hitam putih di sini pun menjadi berwarna-warni. Aku berpikir foto-foto yang aku lihat hanya menyuguhkan dwiwarna itu. Ternyata, aku dikelilingi warna-warna dengan aura tua di sekelilingku. Aku pun terduduk dalam diam.

Sepeda onthel bukanlah barang langka. Yang aku lihat bukanlah sepeda tua, melainkan kendaraan yang sangan kinclong, persis seperti benda yang baru kelar diproduksi oleh pabrik. Aku membaca merknya. Di sana tertera merk Gazelle, Simplex, dan Humber. Melongo, itulah ekspresi wajahku. Sepeda-sepeda ini menjadi buruan kolektor di zamanku.

"Tapi di sini, sepeda onthel menjadi barang receh yang dipakai hampir setiap orang. Besinya pun masih bagus. Aku pikir pastinya kolektor akan tersenyum sumringah melihat kondisi ini. Betapa tidak, apa yang mereka cari menyemut bagaikan cendol di sini. Aku merasakan seperti orang dari negeri antah berantah, dengan pakaian modern dan ornamen teknologi di ragaku."

Lalu, orang-orang. Mereka yang telah tiada, bersenda gurau dan membuka pembicaraan di hadapanku. Kebanyakan dari mereka berbicara tentang isu-isu yang terjadi di antara bumiputera. Seputar pertikaian mereka dengan bangsa kolonial Belanda. Entah apa yang mereka rencanakan, namun ini sangatlah nyata bagiku. Mimpi yang tidak ingin aku akhiri kini.

Para bumiputera itu langsung diam terhenyak kala sekelompok tentara Belanda berpakaian serba hijau dengan bedil di tangan melintas. Apakah sebuah konspirasi yang mereka ingin libatkan diri? Entahlah, ini merupakan bagian dari sejarah. Jika memang berada di lingkaran masa lampau itu, aku enggan mengubahnya sedikitpun. Karena aku adalah "tamu" di zaman ini.

Aku menyebutnya "zaman ini" bukan "zaman dulu". Karena, aku sekarang ada di sini. Bukan di era seharusnya aku berada. Di sini, dunia masih belia, meski dibilang tua jikalau aku berada di zamanku. Hidup ini bergetar dalam dunia yang kekal. Riwayat kini bukanlah hidup yang telah aku lalui. Tapi, ini adalah era ku kini. Enggan lagi kumenyembah teknologi dan modernisasi.

Masyarakat dahulu merajai benakku. Sekejap aku melupakan sosok wanita bercadar itu. Si misterius yang telah menuai perhatian sehingga aku memasuki dimensi lain. Meski belum mempercayai, kini aku sudah menganggap dunia ini sebagai suatu realita, tanpa bayang semu. Melangkah aku menuju sebuah gedung tua yang konon menjadi tempat singgah Gubernur Batavia.

"Bolehlah aku bertanya wahai kawan? Seorang wanita memancing skeptisku. Beradu pendapat dengan raga yang enggan memasuki dimensi ini. Namun, aku kehilangan arah. Limbung dalam dekapan dunia asing. Dimanakah dia? Apakah engkau melihat dirinya. Dia memiliki kerudung dan cadar hitam, mengenakan baju panjang," tuturku, bertanya kepada seorang penjual arloji.

"Aku tidak melihatnya. Sekelilingku hanya orang-orang berkerumun. Para bumiputera dan kompeni yang bertandang ke kiosku. Namun, aku tak menampak seorang wanita bercadar hitam. Dan, tidak ada orang bercadar di sekitar sini. Bukan tempat bagi orang bercadar di sini. Coba rekatkan dirimu pada Sang Pencipta. Mungkin Dia tahu jawabnya," urai sang penjual arloji.

Tanyaku sia-sia. Aku ucapkan terima kasih, kemudian berlalu menuju arah entah kemana. Begitu melekat bayang itu di benakku. Entah kenapa, namun ada suatu hal yang harus aku tanyakan kepada wanita itu. Rasa penasaran ini membuai terus, bertandang ke hati yang dipenuhi tanda tanya. Aku jatuh terduduk, letih mencari ke pelosok Kota Tua.

Ketika bunga rampai di otakku mencari arti, mengalunlah lagu tua. Bersenandung dalam sunyinya malam. Musik yang selalu menemani, saat jiwa yang suci enggan berhadapan dengan puspa ragam keingintahuan. Kini, aku harus pulang. Menyimpan dalam-dalam rasa itu. Peluh tak kunjung mengering. Aku mencari jalan menuju persinggahan lain.

Lorong itu terbentang. Gedung-gedung membungkuk, seraya mengantarkan diriku menuju lorong tersebut. Langkahku gontai, ketika cahaya terang menyelimuti tubuh ini. Aku kini berada di dunia yang membuatku terhimpit. Dunia penuh rutinitas dan modernisasi. Peraduan menjadi tempatku berlabuh. Masih terngiang sosok cadar hitam di langit-langit kamar.

"Aku bertemu seorang wanita. Namun kini dia entah kemana. Terpisahkan dua dunia yang mungkin mustahil untuk kusinggahi kembali. Dulu hanya ada aku dan diriku, namun sekarang wanita itu menemaniku dalam bentuk bayang semu. Cinta kini mulai tumbuh, ketika bayangnya hanya melintas di pikiran, membentuk emosi yang tak menentu."

Cintaku tak termakan zaman. Ketika sebuah era berganti, dan bumi terus berputar searah rotasi, cinta tetap seperti ini. Teruslah abadi. Tak ada rona materi dunia yang sanggup membeli. Yang, pasti kenangan ini menjadi sebuah alunan lirih di hati. Hingga kini, masih aku mencari. Dirinya yang hilang ditelan bumi. Sebuah kisah singkat, namun mengendap cukup di hati.

Dan, aku pun lamat-lamat mendengar alunan lagu "Mata Berdebu" dari Sore. Sayup-sayup namun kian jelas terdengar. "Tak kupelajari dimana pelangi itu. Di antara kabut, kucari jemari itu. Dan, aku tak bisa melangkah di antara musafirnya. Dan, aku rindu melangkah di duniamu. Di antara ku, janjimu terlunta." Duniamu, menuai rinduku.

Sunday, April 15, 2012

Bayangan Keindahan

Lembayung bertabur nestapa. Warnanya mendung. Rindu dendam yang kian lama terkandung. Bergumul sang awan, menyambut nelangsa semesta. Bagaikan ombak yang menghiasi angkasa, bergolak seperti dunia yang kini penuh sengsara. Perang dimana-mana, kelaparan mendera warga dunia, sedangkan penguasa asyik bersenyum sapa.

Apakah terlalu berat untuk seorang manusia memanggul beban dunia? Berbuat sesuatu untuk alam yang kini kian terpenjara oleh angkara murka. Manusia itu bukanlah Atlas, seorang titan yang dikutuk oleh Zeus untuk terus memikul buana sepanjang masa. Manusia itu hanyalah setitik debu di padang pasir. Mudah tertiup angin lalu, dan terbuai emosi belaka.

Lalu apa hakku untuk menggugat dunia? Sementara debu itu rentan terbuai suasana, tergoda nafsu dunia dan bertabur suara yang menyenandungkan lagu duka. Beribu asa. Ya, hanya asa yang bisa disampaikan kepada penguasa dunia, meski telinga tak mudah tergugah oleh kata. Tapi, apa daya? Aku hanya mencoba, dan upaya.

Lantas, aku pun tertawa. Tak sengaja, ketika sebuah rasa tak terbendung. Dari duka mendalam membuncah menjadi suasana suka yang bergelora. Hanya tawa yang tersirat. Dunia terlalu besar untuk dibawa ke alam pikiran. Betapa tidak, angkasa dipersempit menjadi seukuran tangan manusia. Hingga kini, hanya Krishna yang bisa melahap semesta.

Teringat, ketika Krishna kecil bermain di pelataran candi. Kedua orang tuanya pun menyambangi. Tanpa sengaja, keduanya melihat isi mulut Krishna. Lalu, mereka pun terperanjat, tiada kuasa berkata-kata. Sebuah anugerah dari dewata yang agung menciptakan seorang anak yang memiliki semesta di mulutnya. Bintang bertaburan, planet bermesraan, bersama berpadu cinta.

Lamunanku buyar seketika, kala di depanku berdiri kokoh sebuah masjid yang sangat megah dan rupawan. Sore itu, mentari melafaskan kata “Allahu Akbar” seraya mengoreskan siluet gambar masjid berwarna hitam. Siluet menyentuh jalanan yang bertabur para penjual makanan. Damai, meski hanya bayangannya saja. Bertaburlan bintang keabadian.

Sore menjelang, burung-burung berkicau dari balik Masjid Sunda Kelapa yang terletak di dalam bilangan Menteng. Bersembunyi dibalik Gedung Bappenas, dan dikelilingi para penjaja makanan. Meski demikian, kemegahannya tetap terasa. Bukan suara hiruk pikuk yang terdengar, namun kesunyian yang melekat di kala dunia bertabur rindu.

Apalah artinya aku? Aku hanyalah setitik pasir bisu, tiada arti tanpa pantai yang menjerat lautan biru. Aku hanya setitik debu, yang dengan mudah terombang-ambing ketika angin semena-mena berlalu. Dunia tak memiliki waktu, apalagi untuk memikirkan setitik debu. Banyak hal yang terbersit, namun bukanlah debu yang beterbangan dan lamat-lamat menjerit.

Namun, sore itu aku memiliki arti bagi dunia. Aku menyaksikan saat hujan rintik turun. Bulir-bulir air tak terhitungnya jumlah. Mungkin triliunan, atau hanya miliaran. Ya, hanya Dia yang tahu jumlahnya. Toh, jumlah itu tidak pernah dihitung dan dirapal dengan angka. Karena itu pula Tuhan membedakan benda menjadi yang terhitung dan mustahil dihitung dengan jari.

Kesekian kalinya, aku berbicara dengan dia. Namun, Sunda Kelapa menjadi salah satu tempatku dan dia. Terkadang, dalam kesendirian, aku menjenguk gedung tua itu. Hanya sekadar napak tilas atas apa yang pernah aku alami bersama dia di sana. Indah memang. Bukan keindahan secara kasat mata, tapi juga lambang keagungan suatu jiwa yang kekal ada di sana.

Napak tilas seolah bagaikan membuka kembali lemari yang telah terkunci. Jejak ini begitu nyata meski tak berbekas secara terlihat. Dia ada di sana, bersama aku. Dengan nada yang lembut dan lirih, dia bersenandung indah dan nestapa. Aku mendengar dengan telinga yang kubuka lebar-lebar. Aku menyadari, karena mendengar adalah seni dari berbicara.

Seperti biasa, aku duduk di depannya. Memandang matanya yang sayu dan bibir mungilnya. Hanya meja panjang yang memisahkan. Tapi erat hati ini berada di dekatnya. Bukan cuma rayuan gombal semata, tapi sebuah kata tulus yang terangkum selama berhari-hari seraya terendap di dasar kalbu. Lamat-lamat dunia berhenti berdengung gusar.

“Would you mind, If i look into your eyes till i hypnotized, and i lose my pride?” Sebuah tanya melayang yang kukutip dari sebuah lagu milik Earth, Wind & Fire, “Love’s Holiday”. Pas memang. Sebab, pandangan itu menghipnotisku. Membawaku ke alam penuh dengan bunga-bunga, serta langit biru yang berubah menjadi ungu muda.

Dia dan pandangannya, membuat harga diri ini musnah di hadapan cinta. Aku bertekuk lutut, bagaikan prajurit Odysseus yang terbuai nyanyian dari para pengawal Calypso. Dan, para prajurit itu pun rela menunda perjalanan pulang ke Ithaca lantaran berada dalam pengaruh cinta punggawa Calypso. Tak berdaya mereka, seperti aku di depan dirinya.

Gerakmu, tak sekalipun lepas dari pandanganmu. Aphrodite hadir di hadapanku. Menyemai benih-benih berwarna kilau emas. Sesekali, Dewi Cinta mengusap keningku dengan kecupan hangatnya. Untuk menunjukkan, bahwa kini cinta telah memperdayaiku. Membuatku berdiri di pinggir jurang, entah aku akan jatuh atau menghindari bibir terjal itu.

Tapi aku memilih jatuh. Aphrodite pun tertawa. Bahagia dia melihat satu lagi budak cinta telah hadir di dunia. Aphrodite menang, aku kini terbuai tak tenang. Dengan sayap merah jambunya, Aphrodite pun terbang kembali. Meninggalkan benih yang telah merasuk ke jantungku dan raga ini. Aku sendiri dalam kekalutan dan kerinduan atas kehadirannya.

Bayangan itu berupaya kuusir. Aku sadar cinta ini tidak memperbudakku. Cinta justru menambah khasanah dalam hidupku. Aku merupakan manusia yang dinamis, dengan perasaan bagaikan roller coaster. Namun, itulah esensi dalam bercinta. Tidak akan pernah puas seorang manusia, saat cinta datang dengan segala kemudahan, tanpa tantangan.

Tanpa dia, kini aku mengarungi sisa hidup. Kata cinta yang terlontar, saat ini mengendap dalam relung hatiku. Setiap selasar jantung dan kalbu, selalu merapal namanya. Ketika adegan mesra menghiasi layar kaca, bayangan dia menjadi nyata. Saat lagu cinta mengalun, aku melihat dia bersandar dalam jubah keindahan dan kesuciannya.

Ya, bayangan itu. Seperti seorang penderita skizofrenia yang selalu melihat halusinasi di hadapan. Aku bukanlah mereka, namun bayangan ini cukup menjelaskan semua. Saat semua wanita adalah dirinya. Saat aku merasakan sepi di antara kerumunan manusia. Ya, aku sendiri membayangkan dunia memelukku dengan tangannya yang hangat.

Aku bukanlah orang yang suci dan sangat beriman. Tapi kini aku membutuhkan Tuhan. Tepatnya, aku ingin malaikat menemani jiwa yang meronta ini. Aku membutuhkan ketenangan, bukan suara-suara bising yang kerap menghantui tidur dan jagaku. Ini merupakan fase yang dulu pernah menghiasi, kini bayangan itu kembali lagi.

Pilihan memang ada di tanganku. Tidak kupungkiri itu. Namun, aku memang memilih untuk mengingatnya selalu, bukan melupakan kenangan indah itu. Kini, yang harus aku lakukan adalah berdamai dengan bayangan itu. Jujur, bayangan itu memang menjanjikan keindahan. Tapi, aku takut bayangan itu tak ubahnya harapan kosong yang menawarkan kerinduan.

Suatu waktu, aku bermimpi bertemu dengan dirinya. Puji-pujian aku haturkan kepada Tuhan atas keindahan ciptaan-Nya. Sinar yang hangat menyelimuti tubuhnya. Bukan aura dingin yang biasa aku temui saat melihat wujud nyatanya. Bayangan itu hadir dalam pesona kelembutan. Buah kenikmatan yang kerap menghiasi setiap surga para pencinta.

“Kau adalah khayalanku. Kau datang dalam wujud yang sempurna. Di sini, aku ingin mengatakan bahwa cinta ini sudah merasuk ke jiwa, bukan lagi raga. Cinta ini telah mengendap dan membatu di hati. Kini, kau adalah mimpiku, dan aku enggan terbangun dari itu. Cintaku menatap di sini, namun ragaku ada di dunia nyata yang hanya menawarkan nestapa,” tuturku dalam mimpi itu.

Tiada gusar dalam hati ini sangat aku mengucapkan kata cinta itu. Ini adalah imaji yang menyoroti alam dunia dan membentuk keberanianku untuk merapal kata rindu. “Aku merindukanmu. Aku merindukan pembicaraan yang lalu. Ketika kau masih kerap menyambangiku kala malam menjelang, dan aku pun senantiasa terpesona oleh wajah letihmu,” ungkapku.

“Kini, malam-malamku terasa sepi. Dalam bunyi senyap, aku melalui. Tak ada yang bisa kulakukan di sana. Ketika dulu, aku bisa menanti hadirmu, menunggu singgahmu, dan melihat pesonamu. Kini, dunia ini berhenti bergulir. Aku kerap terpana saat hanya bisa melihat punggungmu, tanpa kau berbalik melihatku. Sedih memang, tapi inilah jalanku,” kataku kepada bayangan itu.

Kekalutan membangunkanku dari mimpi indah itu. Kembali, di depanku berdiri sebuah masjid megah. Namun, awan biru kini mulai pudar. Cahaya jingga pun senantiasa menghilang berganti malam yang kelam. Dunia diliputi aroma kesejukan dari sang putri malam. Kidung rindu dari Sang Pencipta pun kembali mengalun, memanggil umat-Nya.

Lalu, aku melihat sesosok wanita dalam bayangan itu. Dia menjelajahi jalan menuju ke aran Taman Surapati. Ketika berbelok, dia menghilang. Tak ada kerumunan di sana. Jalan raya pun tidak dipenuhi kepadatan para pengguna kendaraan. Namun, wanita itu menghilang. Aku jatuh terduduk. Nyata sekali bayang itu, bukan imajinasi yang aku percayai dahulu.

Sesalku kini atas apa yang memisahkan aku dan dia. Gontai aku melangkah menuju Sunda Kelapa. Aku penuhi panggilan-Nya. Sama persis ketika aku dan dia memenuhi panggilan itu beberapa waktu silam, dan dia berkata “baru kali ini aku kesini. Masjidnya indah dan megah.” Kata-kata itu selalu terngiang di benakku. Sisa kerinduan dan bayangan dirinya ketika itu.

Lalu, sebuah lagu mengalun rindu. Astrud Gilberto bersenandung lagu "Dreamer" ditemani iringan piano dari Antonio Carlos Jobim. Sayup-sayup aku terbuai senja yang berganti malam, terang yang tertutup tirai kelamnya sang rembulan. Lamunan tak kuasa kuhirau, bunga cerita terlena dalam perang antara benci dan rindu. Kini, hanya kidung yang mengalun mesra.

"Why are my eyes always full of this vision of you? Why do i dream silly dreams that i fear won’t come true? I long to show you the stars, caught in the dark of the sea. I long to speak of my love, but you don’t come to me."

Cinta Absurd Sang Pencipta

"Berulang kali aku katakan. Tuhan tidaklah seperti yang kau bayangkan. Tiada yang bisa bergumam seraya berpikir seperti apa bentuk-Nya? Dia bukanlah seorang lelaki ataupun perempuan. Setidaknya itulah yang aku percayai tentang-Nya. Cinta-Nya hinggap di pundakmu, baik dalam suka maupun duka."

Sebuah perdebatan sengit mewarnai sore yang indah, tepatnya di Stasiun Pasar Senen, Jakarta Pusat. Dialog itu begitu keras. Hingga angin pun bergetar dan menggerutu. Suara panggilan informasi pun lenyap sudah dalam larutan percakapan itu. Hanya bising suara getar rel dan debur kencang laju kereta yang sanggup melumatnya.

Dua orang sahabat. Keduanya berambut gondrong, namun bukan wanita tentunya. Yang satu terurai panjang, yang satunya lagi dikuncir kuda. Pakaiannya tidak rapi, rada kumal sedikit. Tanpa hiasan anting-anting ataupun pernak-pernik seperti gelang serta cincin. Tiada pula tato yang tergambar di tubuh.

Aku asumsikan keduanya merupakan mahasiswa. Entah akademisi baru maupun yang sudah renta menjelajahi arung kehidupan kampus. Namun, tampaknya mereka berasal dari sebuah sekolah seni. Aku bisa melihatnya membawa sebuah tas berisi sketsa gambar, serta yang lainnya tampak berbaju almamater tertera asal kampusnya.

"Aku tidak percaya Tuhan. Mungkin bisa dibilang aku adalah penyembah berhala. Tuhanku adalah Google. Dengan cepat, Google bisa memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaanku. Google berkuasa atas alam semesta ini. Dia tahu semua di balik rahasia laju angin, debur ombak, gelut awan, derai rintik hujan hingga terik matahari," ungkap si kuncir kuda.

Resah tak menentu tampaknya memenuhi wajah si urai. Masam mukanya mendengar pendapat sang sahabat. Dia terduduk. Bukan di atas bangku, namun di lantai peron bersandar pada dinding kotor stasiun. Tangannya menutupi wajah. Ditambah rambut urainya yang senantiasa jatuh melewati wajah dan menyentuh kerah.

"Sudah cukup lelah aku berkata kepadamu. Perdebatan tentang Tuhan ini membuatku muak. Tidak ada orang yang begitu bodohnya percaya pada sebuah mesin pencari di internet. Dunia ini bukanlah suatu yang kasat mata untuk dilihat. Kau ada karena Tuhan. Dia membuatmu dari saat kau kali pertama diberikan embusan napas oleh-Nya," ungkap si urai.

Dengan mata tenang, si kuncir kuda bergumam. Terus di otaknya, mencari dan mencari sanggahan yang tepat untuk menanggapi uraian sang sahabatnya. Tapi, si kuncir kuda tampak lebih tenang dari si urai. Terlihat, dari mulutnya yang tak bergetar ketika menjelaskan bentuk "Tuhan'-nya. Rautnya pun tak bernyawa.

"Coba kau tengok pengemis di sana," tutur si kuncir kuda. Dia menunjuk seorang bapak setengah baya sedang berjalan gontai. Langkah yang tidak pasti. Jejaknya pun tidak terdengar sama sekali. Hanya suara terseret yang terdengar di telinga. Tampangnya kumal, bajunya compang camping. Topi belel bertengger di kepalanya.

Satu persatu penghuni stasiun disambangi olehnya. Nadanya lirih, napasnya tersengal-sengal. Badan kurus kering, dengan tubuh yang kotor dan dekil. Tangannya menengadah berharap para penumpang memberi uang. Kendati demikian, dari tujuh penumpang, tiada sepeser pun yang digenggamnya. Cuma ada mangkuk plastik kosong.

"Apa yang terjadi kepadanya? Apakah Tuhan tahu dengan kehadirannya. Jikalau Dia tahu, mengapa tidak diberikan uang yang banyak kepadanya? Tuhan tidak adil. Doanya tidak mungkin dikabulkan, kalau melihat dari penampilan si pengemis yang penuh dengan kotoran di sekujur tubuh," terang si kuncir kuda.

"Sebuah mesin pencari di internet bisa memberikan jawaban atas apa yang diinginkan pengemis itu. Tinggal mencari keyword 'cara menjadi kaya dengan cepat', maka akan keluar beribu-ribu bahkan berjuta-juta tips yang bisa diaplikasikan oleh sang pengemis untuk menaikan derajatnya," tutur si kuncir kuda.

Benak si urai pun berteriak. Orang bodoh mana yang percaya dengan Google seraya menganggapnya sebagai Tuhan. Apakah segitu pentingnya peranan internet sehingga orang me-Tuhan-kan internet dan internet men-jemaahi para manusia. Orang bodoh mana yang mengganggap internet adalah pengendali alam semesta.

"Ketika bencana besar tiba di suatu daerah, aku tidak berdoa kepada Tuhan. Aku meminta informasi kepada internet, lalu dia memberikan aku begitu banyak fakta dari beragam aspek dan perspektif. Lengkap dengan pendapat serta informasi akurat tentang bencana ini. See? Internet is a God to me," jelas si kuncir kuda.

Kembali, hati si urai kembali berderai rasa geram. Namun, tak kuasa dia beradu debat dengan sang sahabat. Sebab, percuma. Hanya membuang waktu dan tenaga, memaksakan doktrin kepada seorang manusia yang sudah mengerti apa yang baik dan buruk. Si urai menghargai apapun pendapat manusia, karena itulah identitas mereka.

"Apakah dunia telah diliputi oleh teknologi, sehingga menutupi akses menuju langit ketujuh. Apakah modernisasi telah melarang para malaikat untuk mengantarkan pesan umat kepada Tuhan. Apakah pikiran dan batin manusia telah dikontaminasi oleh teknologi, sehingga segala sesuatu harus diraih dengan instant." Si urai terus bertanya.

Sore itu panas. Kedua sahabat itu saling berdiam diri. Apa yang mereka tunggu? Entahlah. Sebab, beberapa kali kereta melintas, namun tiada yang menuai perhatian keduanya. Yang ada hanya keacuhan hadir di antara mereka. Gilasan roda kereta saat bertemu muka dengan rel pun tak digubris.

Masing-masing jiwa tenggelam dalam kebingungan. Keduanya mencari beribu alasan untuk mempertahankan keyakinannya. Sebab, perdebatan dengan Tuhan merupakan suatu yang hakiki. Mereka saling menyerang batin masing-masing dengan kepercayaan dan paradigma yang berbeda tentang kehadiran Sang Pencipta.

Entah kebetulan atau takdir, sebuah lagu mengalun. Tembang One of Us dari Joan Osborne. "What if god was one of us, there's a stranger on a bus." Langsung, si urai berkata "Betul sekali. Bagaimana bila Tuhan berada di antara kita? Dalam bentuk yang kasat mata ataupun tak tampak oleh indera?"

"Kau adalah ciptaan-Nya, wahai sahabat. Dia cukup baik untuk membiarkan umat-Nya menjalani apapun keyakinan yang dimiliki oleh manusia. Dia tidak memaksakan agama yang dianut oleh umat-Nya. Tapi, untuk kasusmu, aku hanya ingin mengatakan bahwa cinta Tuhan itu absurd, tidak kasat mata. Hanya keyakinan kita yang bisa merasakan," ungkap si urai.

Keduanya hanya saling pandang, tidak berkata apapun. Jiwa yang geram kini berubah menjadi tenang, karena suatu takdir yang mengalun dalam nada. Sedangkan jiwa yang tenang, kini mulai bertanya tentang keberadaan Sang Pencipta. Seabsurd itukah cinta-Mu? Sehingga, internet pun tak bisa memotret wujud-Mu?

Tampak dari kejauhan, sang pengemis berjalan ke arah keduanya. Dengan langkah lunglai, masih memegang mangkuk kosong di genggamannya. Menuai pandangan yang nanar dengan mata sedikit buram. Topi kumal masih bertengger. Matanya sayu, tidak ada rona kehidupan yang mencerminkan kenikmatan dan kebahagiaan.

Keduanya hendak menghampiri sang pengemis. Namun, sang pengemis hanya diam. Tak menggubris keduanya. Pengemis itu berjalan, hingga tiba-tiba menghilang di antara kerumunan. Tidak ada yang menyadari kehadirannya. Hingga kemudian, sehelai kertas surat kabar melayang dan hinggap di kaki kedua sahabat itu.

Di headline surat kabar, tertera "Seorang Pengemis Tewas Tertabrak Kereta Senja." Kontan, kedua sahabat itu terperanjat karena foto di surat kabar itu adalah pengemis yang baru saja dilihatnya. Baju dan topi kumalnya sama, tiada beda. Dan, wajahnya adalah raut kumal pengemis itu.

"Begitu absurdnya cinta Tuhan. Bahkan kita pun tidak tahu apa yang terjadi kepada orang yang barus saja kita lihat. Meski caranya tidak lazim, mungkinkah kini sang pengemis itu telah menetap di surga. Ataukah, kini dia tengah berjalan di jembatan tipis menuju surga, melalui benang titian kehidupan?" ungkap si urai.

"Apakah dia adalah Tuhan dalam wujud manusia, untuk memperingatkan kita bahwa kehadiran-Nya adalah nyata," ungkap si kuncir kuda dengan muka yang nelangsa. Seorang pengemis yang dia kasihani ternyata hanya bayang semu yang membuat dirinya iba. Kini, pengemis itu telah menjadi penghuni alam keabadian.

Keduanya terduduk terdiam. Suara adzan maghrib berkumandang. Dunia kini diliputi panggilan keagungan agar manusia menunaian ibadahnya. "Mari kita salat," ujar si urai. Lalu, ajakannya diamini oleh si kuncir kuda. "Alhamdulilah," tutur si urai menyebut asma-Nya di hati yang terdalam.

Tuesday, April 3, 2012

Bias

Cahaya benderang
Tiada gelap gulita
Rintik suara dentang
Berbuah dalam asa

Guram tampak
Lihai bergerak
Aku melihat gelisahmu
Dalam bias semu

Diammu, dinginmu
Seraya mengoyak kalbu
Hatiku milikmu
Ini jiwaku untukmu