Monday, July 9, 2012

Pemilukada dan Demokrasi yang Tercoreng

Pemilukada tinggal menghitung hari. Warga Ibu Kota mulai sibuk mempertimbangkan "apa yang akan saya pilih pada Pemilukada kali ini?" Namun, pertimbangan itu diiringi kekecewaan mendalam. Pasalnya, Gubernur yang dulu terpilih tidak berbuat apa-apa untuk warganya. Sang "Ahli" hanya sibuk mengumpulkan pundi uang serta memanfaatkan pengawalan aparat untuk berpelesir keliling Jakarta.

Tengok saja, apa janjinya ketika kampanye dulu? Orang yang menyebut dirinya "ahli" itu pernah mempertaruhkan jabatannya demi membuat Jakarta bebas macet dalam kurun waktu 100 hari. Tapi, apa buktinya? Jakarta tetap dipadati kendaraan, bahkan semakin parah. Sedangkan, sang gubernur masih berada ditampuk kepemimpinan.

Lalu, apa alasannya? Dia hanya berkata butuh waktu lebih dari 100 hari untuk mengatasi kemacetan di Ibu Kota. Dan, sang "ahli" pun dengan gampang tersenyum dan berleha-leha di kursi kepemimpinan. Sementara, para penagih janji dibuat bungkam. Kelu. Mereka hanya bisa menerima keadaan dan dibuat berpikir bahwa mustahil menghilangkan kemacetan di Jakarta.

Ada pula, dia pernah berjanji untuk mengatasi banjir yang menjadi masalah terbesar di Jakarta, selain kemiskinan dan kemacetan. Tapi, apa buktinya? Banjir masih menggenangi Jakarta. Suatu waktu, ketika dia diwawancarai di jembatan penyeberangan di Jakarta, sang "ahli" hanya berkata "itu salah warga, kenapa buang sampah sembarangan."

Ironis, seorang gubernur menyalahkan warganya. Padahal, bebas banjir merupakan bagian dari kampanyenya. Bahkan, dia bisa mengklaim bahwa dia adalah "ahli"-nya dalam mengatasi banjir. Seharusnya, sebagai pemimpin, dia menggandeng warga dan memberikan penyuluhan kepada mereka dengan sabar. Bukan menyalahkan para warga.

Ada satu pernyataan "bodoh" yang dia lontarkan terkait banjir ini. Ketika itu, dia ditanya oleh wartawan terkait persoalam menahun ini. Lalu, dengan polosnya, dia berkata "yah kalau bisa, air laut jangan naik lagi lah." Setahu saya, hanya Tuhan yang sanggup berbicara kepada alam ciptaan-Nya. Dan, dia menyuruh laut untuk tidak pasang. Hebat nian!

Sikap temperamen dan bodoh itu juga ditunjukkan saat sang "ahli" menjabat sebagai wakil gubernur. Ketika itu, seorang pewarta tengah melakukan telewicara dengan dia. Latar belakangnya adalah lokasi banjir di Kampung Pulo. Entah apa yang ditanyakan sang pewarta, sehingga dia naik pitam. Yah, belum jadi pemimpin saja sudah menunjukkan sikap tidak sabar.

Semoga warga Jakarta bisa menggunakan akal sehat dalam memilih gubernur. Ini meski beberapa kali, masyarakat dikecewakan dengan pemilihan yang didominasi oleh kepentingan partai dan golongan. Saya bilang, pemilihan ini bukanlah milik rakyat. Ini adalah demokrasi untuk golongan dan partai, bukan untuk rakyat.

Banyak hal yang dilakukan oleh para calon gubernur selama kampanye. Anehnya, di setiap kampanye, mereka tengah bercengkerama dengan kaum papa. Tampak pula, mereka menggendong bayi yang kelaparan maupun penyandang disabilitas. Sehina itukah rakyat? Sehingga, para cagub "menjual" mereka demi kepentingan kampanye.

Menurut saya, kampanye adalah pembodohan massal. Sebuah utopia yang takkan terwujud. Fantasi ganjil yang terpapar hanya sesaat. Sikap pesimistis ini sudah melalui beberapa kali proses optimistis. Sehingga, saya memilih untuk pesimistis. Karena apapun yang saya pilih, kaum golongan dan partailah yang menang. Lalu, buat apa kita memilih.

Saya menghalalkan golongan putih. Karena, putih adalah suci. Bukan tidak ingin turut andil dalam proses demokrasi ini, tapi saya sudah bosan dengan proses demokrasi yang berjalan tidak semestinya. Saya tidak menyalahkan Jakarta, karena Jakarta hanyalah sebuah lokasi. Tapi, saya menyalahkan orang yang tidak bisa membina dan merawat Jakarta sebagaikmana mestinya.

Semoga yang terbaik yang menang. Sekian.

REN