Monday, March 26, 2012

Angkringan, Tempat Mengadu di Senja Kala

Lagi-lagi sore, lagi-lagi hujan. Air deras membelah bumi. Satu persatu warga pun menyingkir ke pinggiran, mencari tempat berteduh agar terhindar dari cipratan dan percikan air. Ada pula yang nekat menerobos derasnya hujan, meski jarak pandang tidak jauh. Mungkinkah mereka mengandalkan intuisi, tanpa melihat jalan.

Belakangan ini, hujan memang menghiasi Ibu Kota Jakarta. Genangan airpun memoles wajah ibu pertiwi, seraya menutup lubang di ruas jalan. Begitu bencinya para pejalan kaki dengan kolam kecil ini. Apa pasal? Ketika mobil atau sepeda motor melaju kencang sambil menerobos genangan, siapa lagi korbannya kalau bukan warga yang bertengger di bantaran jalan.

Menanggapi ini, paling-paling mereka hanya bisa menghujat dan mencela oknum tersebut. Kata-kata kotor kerap kali terlontar “monyet”, “sialan”, “bedebah” dan sejenisnya. Tapi, percuma pula. Oknum itu tidak mendengar, terhalang tebalnya helm (bagi sepeda motor) dan kaca yang berisi alunan musik kencang serta suara berisik mesin (bagi pengendara mobil).

Banyak dugaan terbersit di benak. Mencari-cari alasan dan logika yang tepat menanggapi turunnya hujan. “Mungkinkah Tuhan saat ini tengah gemar menjodohkan senja dan hujan? Sehingga, duet maut itu selalu dipasangkan, terutama di penghujung hari sebelum bulan menampakkan wajah kelamnya dan mentari akan beradu ke sarangnya.”

“Ataukah Tuhan kini tengah membuat basah bumi yang sudah lama mengering ini. Ya, akhir-akhir ini, bumi dilanda gersang. Bagi sebagian orang, ini merupakan bencana. Kekeringan dimana-mana yang berbuntut pada kelaparan. Tak hanya itu, panas terik pun membuat main emosi manusia. Terkadang mereka marah, terkadang mereka reda saat diguyur segelas air dingin.”

Hampir lupa aku berkata. Sore itu, aku menanti hujan mereda. Ya, mungkin hujan tidak akan reda sepenuhnya. Rintik masih akan membasahi dunia. Kendati air tidak ada, percikan lumpur jalanan pascahujan pun cukup menuai kekesalan. Yang ada, aku hanya mengelus ada menikmati cipratan dari sepeda motor di depanku. Nasib, o, nasib.

Namun, itu belum terjadi. Hanya berdasarkan pengalaman sebelumnya, jika hujan pasti menyisakan ampas yang harus diterima oleh sejumlah manusia. Tak hanya cipratan maut, hujan pun menuai kemacetan yang tak kunjung mendapat solusi tepat dari pemerintah. Maklum, mobil dan sepeda motor berjubel memenuhi jalan, saling enggan mengalah satu sama lain.

Angkringan merupakan tempat yang cocok menikmati sore itu. Aku mencintai warung kecil ini. Nikmatnya secangkir teh manis hangat, sebatang rokok, serta beberapa penganan yang disediakan mas-mas pedagang angkringan. Kalau sudah begini, hujan pun terlupakan, meski suaranya mengalun deras. Percikan air pun bukan masalah. Yang tersisa hanya kenikmatan.

Warung model begini tampaknya sangat jarang ditemui di Jakarta. Berbeda halnya jika di Yogyakarta dan sekitar. Jangan tanya, angkringan bukan hanya menjadi tempat makan, tapi juga lahan nikmat untuk bertegur sapa, berbicara dan mengeluarkan uneg-uneg. Bila tidak ada teman, penjualnya pun rela memberikan telinganya untuk mendengar resah gelisah konsumen.

Dan sang pedagang, palingan memberikan solusi seadanya. Maklum, tak semua uneg-uneg bisa dimengerti oleh mereka. Wong, mereka pun punya masalah tersendiri. Ya tho mas? Manusia mana yang tidak memiliki masalah di zaman yang serba berkembang. Tidak hanya pertumbuhan, masalah dan problematika pun terus merebak bagai wabah epidemi.

Kendati demikian, para pedagang itu cukup lihai membuat konsumen terkesima dengan caranya menjawab. “Mas, saya lagi deketin cewek nih. Gimana yah? Saya suka banget sama dia,” terangku kepada sang penjual. Dan, dia berkata “yah mas, jodoh nggak akan lari kemana. Wong, Tuhan pasti punya rencana buat kita semua.”

Jawaban seadanya. Cenderung normatif. Tidak solutif. Tiada embel-embel administratif. Lugas, tegas, dan terpercaya. Cukup menghentak dan membuatku berhenti berkeluh kesah. Tapi, jawaban itu cukup membuat semangat yang padam, kembali berkobar. Dan, aku pun berkata kepada si mas “jadi gitu yah mas. Kita harus semangat!” seraya disambut anggukan si mas.

Cinta mungkin menjadi pembicaraan yang nikmat untuk hati yang dilanda resah. Seolah, merapal nama sang pujaan hati pun sudah membuat mental yang jatuh, kembali bangun dan tegak berdiri. Ingin terus aku mengucap nama dirinya di depan si mas. Tapi, percuma. Si mas pastinya tidak kenal dengan malaikat yang merenggut hati kecil ini.

Sekadar intermezzo, sore dan hujan mengandung lamunan para pujangga yang tengah memadu kisah menjadi suatu naskah. Sambil mereka menggores tinta, tak segan pula meremas bagian kanan otaknya. Harapannya, semoga inspirasi dan kreativitas mau berkompromi dengan suasana. Tinggallah, kepala sebelah kiri cemburu lantaran tidak diremas.

Sineas legendaris asal Prancis, George Melies, pernah berkata “film memiliki kemampuan untuk menangkap mimpi.” Pernyataan ini relevan dengan karya-karya Melies. Sebut saja, pada film bisu La Voyage Dans La Lune, Melies menggambar adegan per adegan ketika sekelompok manusia akan pergi ke bulan. Suatu hal yang mustahil dan sekadar mimpi saat itu.

Film itu menggambarkan sangat mudahnya bagi sekelompok astronom untuk berangkat ke bulan. Diawali dengan konferensi para astronom tersebut sehingga mereka memutuskan untuk bertualang ke bulan. Untuk menuju ke sana, para astronom itu masuk ke dalam kapsul dan ditembakkan dengan meriam super panjang. Sampailah mereka ke bulan. Segampang itu.

Itu adalah versi seorang sineas. Lalu bagaimana dengan penulis? Pernahkah Anda mendengar tentang Jules Verne, seorang penulis berkebangsaan Prancis. Dia pun menciptakan karya tulis dalam bentuk novel yang umumnya mengisahkan petualangan hebat. Mungkin, petualangan itu hanya bisa diwujudkan di dalam mimpi atau di masa depan.

Tengok saja, kisah Around the World in Eighty Days. Dalam novel itu, seorang ilmuwan Phileas Fogg ditantang untuk berkeliling dunia dalam kurun waktu 80 hari. Hal yang mustahil di masa itu, mengingat tidak ada alat transportasi secepat pesawat. Hanya mengandalkan balon udara dan kereta api, Fogg dan asistennya, Passpertout, pun berhasil menjawab tantangan itu.

Kembali ke angkringan. Tidak hanya cinta, para konsumen pun kerap mengajak ngobrol penjual dan sesama konsumen dengan topik seputar dunia politik, penguasa yang lalim serta pemerintahan yang bobrok. Untuk hal ini, aku angkat tangan. Sungguh memusingkan bertemu dengan orang-orang yang berbicara masalah politik.

Aku punya alasan tersendiri. Politik adalah sebagian kecil elemen dari negeri yang dahulu bernama Nusantara ini. Satu elemen itu bisa melebar dan menimbulkan imaji buruk bagi Indonesia, ketika terus menerus diangkat dalam sebuah pembicaraan. Akibatnya, banyak orang menganggap Indonesia negara bobrok, padahal itu hanya dari kacamata politik saja.

Beruntung, obrolan di angkringan tidak seberat yang ada di layar televisi atau di gedung MPR/DPR. Pembicaraan hanya seputar lapisan atasnya, tidak merambah ke bagian dalam. Sehingga, obrolan itu masih bisa dinikmati seraya menyeruput pinggiran gelas teh manisku dan menghisap dalam sebatang rokok yang menanti gusar. “Uhuk, uhuk!”

Jarang ada orang yang mengangkat topik budaya di angkringan. Topik ini tidak menarik mungkin. Karena jarang ada masalah yang signifikan di ranah budaya. Betapa tidak, angkringan menjadi lahan bagi kaum marjinal untuk mencari penganan dan keluh kesah. Umumnya, mereka memikirkan poltik yang tentunya berimbas pada kebijakan ekonomi. Persetanlah dengan budaya.

Budaya itu mungkin hanya bisa dieksekusi dan tidak diobrolkan. Sebab, budaya merupakan ranah yang bisa dijalankan oleh pribadi masing-masing, bukan hanya sekadar wacana di warung kopi. Permasalahan krusial, namun tidak pantas bila hanya berbentuk dialog di warung kopi. Sebab, budaya harusnya dieksekusi bukan dipikirkan, jika memang sudah mencapai tahap krisis.

Pokoknya, obrolan apa saja bisa menjadi topik hangat. Cukup hangat untuk membuat tubuh ini terhindar dari dinginnya suasana hujan yang kian lama semakin deras. Merapatlah para pengunjung angkringan, menghindar dari percikan air dan genangan yang kian meninggi. Sepatu sudah terendam, beberapa senti bangku sudah tak nampak lagi.

Hal-hal seperti ini mungkin hanya bisa ditemui di angkringan. Ketika antara pedagang dan konsumen tidak ada sekat. Coba bandingkan dengan restoran fast food. Mungkin aku pun tidak mengenal siapa nama penjual, kecuali dia menyambangi satu persatu meja konsumen. Tapi, mustahil. Letih sekali bila dia singgah di hadapan para tamu yang jumlahnya tidak sedikit.

Kalau di angkringan, penjual dengan jelas bisa melihat wajah konsumen. Sejelek dan seganteng apapun pasti terlihat, meski cahaya penerangan di sana bisa dibilang muram dan seadanya. Tapi, tidak ada etalase yang memisahkan antara kedua belah pihak. Yang memisahkan hanyalah gerobak dan penganan-penganan, seperti sate kulit dan nasi kucing.

Sore mulai berganti malam. Malam kini mulai memancing inspirasi para pujangga yang sudah kehabisan ide. Tangan pun bergerak, mencoret-coret kertas yang putih tanpa noda. Kini, noda berbentuk tulisan itu sudah memenuhi beberapa halaman. Ini meski prosesnya tidak segampang itu, setidaknya begitulah gambaran bila seseorang menulis alunan syair indah.

Aku hanyalah amatir. Menulis kulakukan bila hati ini sedang terjerat Dewa Sang Smara. Seperti saat ini, tulisan mengalir deras, inspirasi bergejolak bagai ombak di tengah laut lepas. Tapi, tulisan ini hampa karena tidak ada dirinya. Ya, dirinya yang nyata, bukan hanya sekadar guratan tinta di sebuah kertas, dan kertas yang kini sudah memiliki tuan.

Tuesday, March 20, 2012

Semu

Teduh saat melihat tatapmu
Terharu bak penyair syahdu
Mahligai menuai tabir biru
Kusaksi hanya bayang semu

Bicaralah padaku, nona
Saksiku bertabur tanya
Hati mengingat senja
Kala raga dan jiwa mendua

Aku mencari dirimu
Dalam kelam, aku mengadu
Kesunyian bertabur sendu
Aku merindukanmu

Meniti Senja, Bersama Sahabat

Buku selalu menuai perhatianku. Dimana mereka berada, disitulah aku akan mencarinya. Apapun jenis buku itu. Aku mencintai buku. Perburuan buku inipun kembali dimulai, dengan latar belakang mahligai senja. Sebuah suasana yang hangat tanpa pekikan sinar sang surya. Satu kondisi keramaian penduduk Kota Jakarta menyemut di jalan-jalan.

Istana Olah Raga atau yang karib disapa Istora Senayan, Jakarta Pusat, menjadi tempat singgahku. Saat itu, Istora tengah sesak dipenuhi buku, warna keagungan Sang Pencipta dan umat-umat pilihan-Nya. Ya, kala itu tengah digelar pameran buku yang bernafaskan Islam. Ratusan penerbit hadir di sana, ribuan buku dari berbagai dibanting harganya.

Berdua bersama sahabat, aku menyusuri pelataran Senayan. Otak ini selalu memutar pikir, buku apa yang hendak aku cari disana. Aku menyukai sastra, berharap pula menemukan karya seperti itu di sana. Turun dari sepeda motor, dan aku pun beranjak dari parkiran. Sebuah lokasi parkiran di tengah belantara hutan Senayan, beralaskan tanah kerontang pula.

Sejenak aku terdiam. Menghela napas yang dalam sambil menikmati suasana senja yang saat itu sangat bersahabat. Tidak hujan, tidak pula panas menyengat. Tercium bau dedaunan, diiringi dengan suara alam yang berpadu dengan nyanyian bising manusia. Setidaknya, semesta telah memberikan anugerah seindah ini, tatkala alam dan manusia berdamai dalam senja.

Aku melihat ribuan orang di sana. Rata-rata mereka memakai hijab bagi para wanitanya. Sejuk nian suasana di sana. Langsung pikiran ini melesat membawaku ketika Ramadan menyelimuti bumi manusia. Saat itu, para umat manusia berlomba-lomba dalam meraup berkah yang diturunkan oleh Sang Pencipta. Syair-syair keagungan Tuhan pun bergema di pelosok dunia.

Wanita berhijab pun membuat pikiran ini terpental ke alam lain. Ketika wanita-wanita itu mengingatkan diriku dengan seorang malaikat yang sempat turun ke bumi, dan menyapaku. Seluruh wanita itu adalah dirinya. Bayang dan imajinasi ini mungkin membuatku gila. Seolah, aku bisa terus merapal namanya di depan para wanita tersebut.

Masuk ke arena Istora Senayan, kian banyak wanita berhijab. “O Tuhan, inikah bias pandangku ke arah mereka? Semuanya adalah dia. Tidak bisa kubedakan antara nyata dan semu. Ketika warna dunia pun hanya terdiri dari hitam serta putih. Tiada warna lain selain dia. Kegilaan, kesanakah aku akan menuju, berharap pada cintanya yang abstrak?”

Aku berupaya buang jauh-jauh bayang itu. Meski kian kuhindari, bayang itu semakin menuai nyata, dan menanggalkan kesemuannya. Tiba-tiba, suara seorang wanita memecah sunyi di hati. Seorang sahabat yang telah lama hilang, kini hadir berbalut pakaian serba ungu. Dia, dulu dan selamanya, adalah seorang sahabat. Sempat menjadi cerita dalam hidupku.

Tegur dan sapa kami lakukan. Tiga sahabat kini kembali menyatu dalam ruang yang berbeda, di tengah hiruk-pikuk para hamba Tuhan. Persetan dengan hingar bingar, hanya kata dari mulut kami yang terdengar memecah semuanya. Berupaya hadir di antara bising, terkadang hanya mata yang beradu pandang tanpa satupun kata tertuai.

“Apa kabar? Lama kita tidak bersua, sejak kau menghilang dari dunia yang menyelimuti kita. Kini, kau hadir di sini. Betapa rindunya diriku melihat kamu, bagaikan bertemu seorang saudara yang telah lama merantau jauh ke negeri seberang. Banyak hal yang ingin aku sampaikan, kian ramai cerita yang hendak kuhaturkan padamu,” ujarku, mereguk air nostalgia.

“Begitu senang dan antusiasnya diriku bertemu kalian. Sampaik aku lupa, suara ini begitu bising di antara mereka. Bahkan, suara ini terdengar sangat kencang sehingga banyak orang beradu pandang. Mereka terpana, ketika sebuah teriak muncul di suasana syahdu. Namun, aku tak peduli. Kesenanganku adalah milikku, bukan mereka,” kata sahabat, seraya tersenyum tawa.

Sahabat-sahabatku saling berpandang. Jiwa kita tak gentar menghadapi perpisahan. Seperti dulu aku pernah berkata. Perpisahan bukanlah akhir dari segala, tak perlu ada selebrasi untuk merayakannya. Buat apa bersedu sedan serta bertangis ria, padahal suatu ketika jiwa-jiwa ini akan kembali bertegur sapa. Aku dan sahabatku, contohnya.

Hanya kematian yang mampu memisahkan jiwa-jiwa yang bersatu. Mengapa aku menyebutnya jiwa? Karena jiwa adalah elemen abadi di antara raga yang akan lapuk diterkam zaman. Hanya jiwa yang akan melayang melampaui surga dan neraka, saat ajal menjemput manusia. Cuma jiwa yang mampu merasuk di saat insan tengah dilanda cinta.

Bertiga kami menyusuri selasar Istora Senayan. Mencari dan terus mencari buku-buku yang kami sukai. Sesak oleh ribuan orang, tampak mereka pun memiliki misi yang selaras dengan kami. Membaca asma Allah yang dirangkum dalam sebuah buku. Mempelajari makna agama yang luas dalam satu buku kecil, seraya melantunkan syair kerinduan terhadap Ilahi.

Pencarianku nihil, sedangkan sahabatku mendapatkan dua buku yang dicarinya. Beruntunglah dia. Aku cukup puas dengan melihat ribuan buku menumpuk dengan antusiasme para pembelinya. Dan, lagi-lagi bayang itu muncul, ketika punggung seorang wanita begitu mirip dengan malaikat itu. Kembali, bayang itu membuat pikiran ini meracau.

“O nona, mengapa kau ada dimana-mana? Apakah kau malaikat yang mendampingi para manusia, sehingga aku bisa menyaksikan bayangmu melekat di tubuh insan yang kutemui? Aku tahu dunia luas, tapi kenapa hanya dengan kamu yang membuat buana terasa sempit adanya. Mata ini telah tersucikan oleh dirimu, sehingga kau hadir selalu.”

Tampaknya, ini saat yang tepat untuk keluar dari bising ini. Sesak tak bertepi, hanya ada ketidaknyamanan kini. “Bukan aku menghindari suara yang mengagungkan asma-Mu, tapi ini bukanlah tempat yang nyaman untuk berbicara, menyenandungkan elegi nostalgia tiga sahabat yang lama tak bersua,” ungkapku, dalam hati yang penuh kerinduan ini.

Berpelesirlah kami menuju kantin yang tak jauh dari Istora. Berjalan gontai, kami seraya bercerita singkat tentang kabar dunia yang menaungi kami. Beradu wicara ketika dulu menjalankan dunia itu dengan tangan-tangan lembut ini. Tak kuasa, tawa pun terburai saat kami melontarkan canda yang mungkin tak akan digubris oleh manusia-manusia lainnya.

“Ingatkah dulu kau tak pernah meradang, meski salah kerap kali sering aku perbuat? Kau bahkan tertawa setelah itu hingga air mata terurai di pipimu. Air mata buah dari sebuah bahagia yang tak bisa kau lontarkan dengan kata. Seringkali aku menuai kesalmu, namun kau hanya bisa tertawa seru. Persahabatan seperti itulah yang indah, wahai kawan,” aku berujar kepada dia.

Kedua sahabatku yang lain mengangguk, mengamini nyataku. Lalu, sahabat wanitaku berseru “hanya kau yang bisa menuai tawaku, ketika rasa gamang dan bosan tengah melanda diriku. Cuma kau yang mengetahui kelemahanku, hingga tawaku memecah keheningan ruangan tempat kita bersandar. Meski tiada kau, namun hidup dan tawa mesti tetap berjalan selalu.”

Lalu, sahabatku yang lain berkata dalam riak gelombang “hari ini jarang ditemui di hari-hari lainnya. Nikmati hari ini, usah kalian pikirkan hari esok. Canda tawalah, bertangis rialah, berbahagialah, karena hari ini adalah milik kita. Persetan dengan dunia yang terus bergulir. Hari ini adalah saatnya dunia dilanda stagnasi, berhenti berotasi hanya untuk kita, sahabat sejati.”

Kantin ini sangatlah kecil, namun memiliki pekarangan yang luas. Banyak perabotan yang tak cukup muat di dalamnya. Karena itu, meja panjang dan kursi ditaruh di pekarangan. Di sanalah, manusia-manusia yang berkunjung ke Senayan bisa menikmati suasana sembari menyeruput kopi hitam, maupun teh manis hangat yang disediakannya.

Pekarangan kantin itu dipenuhi dengan pohon-pohon yang besar. Cukup rindang sebagai tempat untuk berteduh dari sinar mentari, meski kala itu Batara Surya tengah tersenyum hangat. Bukan terik yang diriakkan dalam gelombang panasnya. Aku bisa melihat sinarnya mengendap di antara rindangnya dedaunan di atas pohon itu. Indah nian wahai senja.

Ketiga sahabat ini duduk di bawah sebuah pohon. Saling berhadapan, hanya dipisahkan oleh sebuah meja panjang. Kami minum bersama, menyeruput kopi dan menghisap sejumlah batang rokok. Dalam setiap embusan, aku bisa mendengar suara sejumlah manusia, lalu nada ranting yang berjatuhan dan bersentuhan menyempil di antaranya.

Hijau mendominasi suasana di sekitar kami. Di kejauhan, anak-anak bermain dengan riang. Orang tuanya menemani sambil membaca buku. Aku pun melihat sepasang manusia yang tengah bergandengan tangan mesra. Di baliknya tubuh keduanya, dua malaikat sedang bercanda riang sambil saling menyandingkan sepasang sayapnya, mesra.

Beragam kisahpun terlontar dari mulut ketiga sahabat, menguak tabir obrolan di sore itu. Aku mendengar ada nada kegalauan, kegetiran, kebahagiaan, kenyamanan, dan lainnya. Semua berkumpul menjadi satu, hadir sebagai bahan perbincangan petang itu. Hijau petang sambil ditemani dua sahabat, menuai kenyamanan tersendiri bagiku.

Cinta ketiga sahabat itu menyatu, sebuah persaudaraan yang tumbuh dari rasa kebersamaan. Ya, saudara, bukan kasih sayang antara pria dan wanita. Senja menuai cakrawala menjadi jingga. Langit tersipu saat matahari menyentuh awan yang berada memenuhi mahligai cinta. Sayang, senja harus lalu. Malam kini menjadi raja semesta, menggantikan sang surya.

“Aku ingin berbagi kisah. Tentang seorang pria yang terus mencari cinta sejati di jiwa seorang wanita. Ketika cinta tertuai, dan jiwa itu pergi, terbang mencari arti. Pria itu kini dilanda duka. Hari berganti, bulan berlalu, namun kelu tetap menjadi bahasa kalbu. Dunia bagaikan sebuah bayangan yang terdiam, senja pun hanya mampu meraih bayangnya,” kisahku.

Lalu, sahabatku pun langsung mengimbuh “jangan kau ragu untuk bercerita, teman. Aku tahu, pria itu adalah kau. Engkau yang selalu tertawa untuk menyembunyikan sedihmu. Kau balut nestapa dengan kain emas yang sangat indah. Aku bisa melihat dari getirnya suaramu, dan mata yang membasah ketika kau menceritakan kisah itu.”

“Ya, itulah adalah kisahku. Saat sedih melanda, aku kini bagaikan seorang pelawak yang hanya menertawakan kehidupan. Memotret kehidupan sebagai kliping yang aku kumpulkan untuk merangkum bahan guna mengocok perut kalian. Hidupku tak lebih dari sebuah dagelan saat bersama kalian, namun aku akan termangu ketika dalam kesendirian,” ungkapku.

Seperti yang dikatakan sastrawan Umar Kayam, sastra mengajar kita untuk selalu mempertimbangkan kemungkinan yang banyak dari kemampuan manusia. Jika begitu, pelawak mengajar kita guna mempertimbangkan kemungkinan kekonyolan dan kebodohan manusia. Keduanya justru berfungsi menormalkan kehidupan manusia.

“Aku buang tawa ini, aku ceritakan sedihku. Aku izinkan kalian memasuki kuil duka citaku. Aku biarkan kalian melihat sesosok mahluk ini menunjukkan rapuhnya seorang manusia, dengan air mata yang bercucuran. Izinkan aku berkisah. Kali ini, aku akan menggunakan kata “aku” bukan “dia” seperti yang kalian mau, wahai sahabat tercinta,” ungkapku, seraya terus berkisah.

Malam kian mencekam, bulan semakin terang. Suara-suara manusia mulai menepi ke kesunyian. Kini, hanya suara alam yang terdengar kencang nian. Pohon-pohon semakin hebat bergoyang usai ditiup angin malam. Bangku dan meja pun telah dibereskan, ini pertanda kantin hendak kembali ke peraduan. Pun demikian aku dan kedua sahabatku.

“Cerita ini usai sudah, meski Tuhan belum mengetuk palu hingga hari kematianku singgah. Aku biarkan kalian mendengarkan, karena kalian adalah orang-orang yang kupilih. Aku bumbui cerita ini dengan keindahan, sehingga kalian tak pernah tahu kandungan nestapa dan jelaga di dalamnya. Kini, petang telah berlalu, malam sudah larut,” ucapku, lirih.

Lalu, sahabatku berkata “wahai kawan, aku dan dia adalah sahabatmu. Tak ada secuil ekspresimu yang tak bisa kami tangkap. Aku bisa merasakan sedihmu, melebihi bahagiamu. Tak ada yang bisa kau sembunyikan, ketika kau bercerita tentang orang lain, tapi ternyata kaulah orang itu. Tuhan akan memberikan jalan bagi akhir kisah itu, kawanku.”

Terlalu hina, bila aku mengganggap sahabat sebagai tong sampah yang bisa aku gunakan untuk menaruh segala keluh kesah dan penat di jiwa. Mereka adalah sebuah peti emas, yang berkilauan, tempat aku menuangkan segala resah dan kisah-kisah nestapa. Ketika itu, peti tersebut tetap memancarkan cahaya, kendati dihujani dengan kisah pedih.

Sahabat selalu ceria menghibur hatiku yang larut dalam lautan tak bertepi. Bersama mereka, sejenak aku bisa melupakan rutinitas yang nyaris membunuh. Dengan mereka, aku menawarkan rutinitas yang berbeda dan menjadi alternatif kebahagiaan bagiku. Itulah sahabat, bukan untuk dipergunakan, namun dibina dengan cinta dan bahagia.

Saatnya pulang. Aku meninggalkan gelapnya Senayan menuju peraduan. Semua keluh kesah terlontar sudah, meski bayang itu senantiasa hadir ketika aku melaju di atas sepeda motor. Aku hanya bisa menghela napas, berharap suatu ketika bayang itu menjadi nyata, atau hilang sama sekali. Aku dan sepeda motorku pun melaju dan hilang lamat dalam remang malam.

Gone With The Wind

Rekam jejakku kini. Ketika waktu bergulir pada 14 Januari, aku menanti datangnya dia. Jam berdetak, sayup-sayup tanpa irama. Pukul 14.00 WIB telah berdentang, dan dia pun tiba. Berpakaian hijau, dia tersenyum dengan ramah, penuh jatmika. Aku membalas senyumnya. Lalu, aku dan dia beranjak menanggalkan segala suasana di sana.

Sepeda motor melaju pelan tapi pasti. Aku tersenyum dibalik helm yang meniti. Dia diam seribu bahasa, membisu tanpa aksi. Namun, aku senantiasa tiada menyepi. Berupaya menciptakan suasana nan asri. Meski debu Jakarta menuai benci. Aku tetap menyungging senyum, lantaran hadir seorang malaikat di sisi. Tiada kuduga, tiada kusangka, hatipun mulai tercuri.

Aku susuri bilangan Casablanca, daerah yang penuh dengan hiruk pikuk manusia, tepat di depan Mal Ambassador. Hari itu adalah hari ramai nasional. Maklum, Sabtu adalah saatnya manusia berbelanja, atau hanya sekadar mencari tanpa ada yang dibeli. Tapi, kemacetan kuterobos. Aku melaju berlomba dengan matahari yang hendak tertutup awan mendung, dan kelabu.

Pasar Festival, Kuningan, Jakarta Selatan, adalah tempat yang kutuju. Aku ingin menghabiskan senja di situ. Sembari, menemani dirinya mencari buku. Pasar Festival dipenuhi lembayung biru. Ya, biru di hatiku yang dirasuki oleh suara lonceng yang mengganggu. Ketika sebuah kayu memukul lonceng itu. Tapi, kali ini lonceng berbunyi pasti, tanpa meragu.

Sebuah toko buku menjadi persinggahanku. Aku persilahkan dirinya untuk menikmati ratusan buku itu. Ya, rak yang tinggi menjulang merapat di selasar toko buku yang cukup sempit. Di sana, buku-buku bekas bergelimpangan. Mulai dari karya sastra, komik hingga buku literatur. Surga para pencinta buku-buku usang, begitulah biasanya aku menyebut tempat itu.

Aku menuju rak yang menyimpan karya-karya sastra. Sedangkan, dia berplesir di dunia novel-novel tua dengan cerita-cerita yang cukup berat bagiku. Naskah Macbeth karya William Shakespeare berada di genggamanku. Bacalah buku itu dengan perlahan. Namun, mata ini tak bisa lepas dari malaikat itu. Dia menuai pandangku, selalu.

“O Tuhan, aku menyukai karya Shakespeare. Bahkan, seorang presiden pun tak akan sanggup membuat aku berpaling dari karya itu. Bagaikan dirasuki pujangga-pujangga masa lalu, aku terpaku jika membaca karya-karya Shakespeare. Tapi, dia merapalkan panaku. Aku terbius oleh lamunan dan gubahan elegi yang melukiskan rasa cinta dan asmara perdana.”

Aku menyambangi dirinya. Upaya melihat apa yang dibaca olehnya. Ternyata, sebuah buku novel karya Stephen King. “Aku tidak pernah melihat karya King yang satu ini diangkat menjadi film. Apa mungkin aku yang tidak pernah menyadarinya?” kata dia seraya mengumbar senyum. Pun aku membalasnya dengan senyum dan berujar “tidak semua karya King difilmkan.”

Adapun Stephen King merupakan salah seorang novelis terkenal. Karyanya rata-rata mengambil tema horror dan thriller. Tak jarang, karya-karya Stephen King diangkat menjadi film karena ceritanya yang terbilang cukup mencekam, tanpa dibumbui oleh sosok-sosok mahluk fiksi yang berwajah absurd dan menakutkan.

Berulang kali dia menjelaskan kepadaku tentang buku-buku bagus yang pernah dibacanya. Pula dengan diriku, yang selalu berbagi cerita mengenai catatan-catatan yang kupelajari. Buku, itulah benang merah antara aku dan dia. Hanya masa dan jenisnya saja yang membedakan. Namun, aku senang dengan persamaan itu. Sepasang kutu buku berlainan dunia.

Sebuah paket buku menjadi perhatianmu. “Gone With The Wind”, judulnya yang dibagi menjadi empat buku. “Aku pernah menyaksikan film ini. Sebuah film tua yang memiliki kisah sangat bagus, dan menyentuh. Aku ingin membaca bukunya. Memang, aku pernah melihat filmnya, tapi aku juga ingin membaca buku itu,” pungkas dirinya, seraya menunjukkan raut wajah gelisah.

Apa yang membuat dia gundah? Suatu keinginan yang tidak bisa dipenuhi seluruhnya. Saat itu, dia telah menggenggam dua buku di tangan. Tak kuasa dirinya membawa satu buku lagi. Terlebih, sudah cukup buruan bukunya hari itu. Hanya ada keinginan, namun tidak terpenuhi tentunya. Aku lagi-lagi hanya tersenyum, menikmati kegundahan itu.

Dalam pencarian itu, aku berupaya untuk memancing dia bercerita. Aku suka mendengar dia menuturkan suatu kisah. Kendati dia sejatinya adalah pendengar yang baik. Aku ingin memasang telinga ini untuk menikmati kisah dari seorang pendengar yang baik, seperti dia. Jangan hanya dia yang selalu mendengar, toh dia pun perlu untuk didengar.

Pencarian pun dilanjutkan. Kini kegundahan melanda diriku. Upaya nyaris nihil. Pada ghalibnya, dua karya Dono sudah di genggamanku. Namun, usai diperiksa, dua karya itu nyatanya kekurangan halaman. Ada beberapa bagian yang copot. Padahal, keduanya merupakan warisan sastra lama. Pengarangnya pun mumpuni: Dono, yang juga dikenal sebagai pelawak gaek.

Bergantian kini. Dia menertawakan kegundahanku. Dan aku pun hanya bisa tersenyum tersipu, seraya memasang raut muka bodoh dan bingung. Tak kugubris tawanya, aku pun lalu mengubah sipu bibirku menjadi dua sisi yang merentang ke atas. Senyum lebar. Waktu demi waktu berlalu. Tanpa terasa, senja telah melewati masanya. Bulan kini menjulang tinggi di angkasa.

Saatnya untuk berhenti berburu. Lupa waktu memang bila terus menerus berada di sebuah toko buku. Apalagi, toko buku itu menyediakan benda-benda tua dan menguning ditelan kejamnya zaman. Pastinya, banyak hal yang ingin digapai, sebagai upaya untuk napak tilas suatu peristiwa lampau yang sudah direndam oleh air keabadian.

Beranjak dari tempat itu memang sulit. Sebab, masih banyak buku-buku tua yang ingin digali. Namun, apa daya. Hari ini bukanlah selamanya. Besok hari lain akan datang dengan sejuta misteri. Ketika keluar dari Pasar Festival, langit gelap. Bintang yang kian menurun jumlahnya tampak menyepi di angkasa yang terbentang luas. Indah mahligai Putri Malam.

Siapa nyana, perut berbunyi mesra. Mengajak kekasihnya, sang mulut, untuk mengunyah dan mengasupkan makanan kepada sang perut. Jika tidak, perut ini akan terus berbunyi mengalunkan musik keroncong, dengan tempo yang sangat cepat, sehingga sang empunya perut akan kelaparan. Akhinya, perhentian aku dan dia adalah makan malam.

Bukanlah di tempat mewah memang, karena kemewahan hanyalah sebuah formalitas, kedok kaum borjuis untuk menunjukkan kekayaan kepada para kaum marjinal. Sebuah lambang feodalisme yang kontras dengan kehidupan masyarakat Indonesia yang saat ini masih mengais nasi aking hanya buat makan malam. Hari ini makan, belum tentu besok, itulah pemikiran mereka.

Di sebuah tempat makan yang sederhana, aku dan dia mengadu nasib yang sama. Lapar saat malam menjelang, dan duli yang sirna ketika makanan tiba di hadapan. Malam mencekam. Suasana di sekitar tempat itu namun begitu hangat. Hanya ada segelintir manusia. Sebut saja, mahasiswa, penghuni Stadion Soemantri Brodjonegoro, dan beberapa petugas keamanan.

Aku dan dirinya duduk di sisi meja makan yang berbeda. Kami berdua saling berhadapan. Aku bisa melihat jelas binar mata di balik kaca matanya. Sebuah cermin ciptaan semesta yang berada di kedua bola mata. Sepasang mata dingin yang senantiasa membekukan apapun yang dilihatnya. Namun, aku lawan hawa dingin itu dengan kehangatan. Semoga berkenan, kataku.

Kendati tersekat kaca, tatapan itu kontan membawa jiwaku. Bagaikan melayang astral ke dunia lain. Lalu, sayup-sayup aku mendengar elegi kerinduan dan mahligai cinta. Menyesaki seluruh otakku, sebuah pandangan yang aku isyaratkan sebagai rasa nyaman. Lagu itupun terus mengalun. Aku mendengar suara gitar dan piano berpadu dengan nyanyian para dewi. Mereka bersyair:

The look of love is in your eyes
A look your smile can't disguise
The look of love is saying so much more,
than just words could ever say
And what my heart has heard,
well it takes my breath away
(The Look of Love/Burt Bacharach)

Hanya Semesta yang tahu bahwa aku jatuh cinta. Hanya Dia yang mengerti betapa aku meyakini cinta itu. Berawal dari sebuah perburuan mencari buku hingga tatapan yang syahdu, membuat bibir ini kelu dan hati kian terpaku. Ini adalah sebuah awal yang nantinya kan menjadi akhir. Entah sampai kapan, aku hanya ingin menikmati malam ini.

Dia terus berkisah, tentang kehidupannya yang riang dan terkadang nestapa. Tapi, dia bercerita dengan riak suara yang optimistis. Tampak, ketegaran yang berulang kali diuji beragam penderitaan. Sesosok jiwa yang terlihat tak pernah rapuh, karena cerita-cerita yang terlontar menandakan ketabahan dan kekuatan dirinya. Hanya dia dan Tuhan yang tahu.

Ada emosi yang menyempil di antara kesabaran yang membelenggu. Ada rona kemarahan di antara senyuman manis yang senantiasa menunggu. Pun aku bercerita tentang kehidupanku. Sebuah pertukaran jiwa yang sempurna, ketika aku dan dirinya berupaya saling mengerti kehidupan masing-masing. Saat itu, perbedaan ini membuatku sempurna untuk sesaat.

Tak seberapa lama setelah makan malam habis, sebuah kejutan pun muncul. Kembang api dengan beragam warna meluncur nun di sana. Menembakkan diri ke arah langit kelam yang penuh rindu dendam. Semarak pula suasana. “Seperti, tahun baru ya? Ada apa di sana?” tanya dia. Aku hanya menggelengkan kepala, dan menjawab “entahlah.”

Sebuah jawaban statis memang. Sebab, aku masih terpukau. Untuk apa Tuhan menciptakan suasana seindah ini? Apakah hanya intuisiku yang berkata seperti ini? Aku percaya, Tuhan tidak bermain judi untuk menentukan nasib kaum-Nya. Seluruh takdir, jodoh, kematian, rezeki, serta kehidupan, diatur dengan sempurna, dan bukan dengan kata “kebetulan” atau “ketidaksengajaan.”

Hari sudah larut. Jarum jam menunjukkan angka 23.00 WIB. Saatnya pulang. Aku enggan menyiksa dirinya dengan gempuran angin malam. Terlebih, saat itu udara melayangkan surat dingin kepada malaikat. Sepeda motor kupacu dengan kecepatan yang tidak kencang. Aku tak ingin angin menerpa dirinya dengan sangat kencang, apalagi di alam terbuka.

Berulang kali, aku bertanya “kamu kedinginan dengan jaket setipis itu.” Lalu, suara dibelakangku menjawab lirih “aku tidak apa-apa. Tidak kedinginan kok.” Kemudian aku pun melanjutkan perjalanan menuju tempat peraduan dirinya, ketika dia jauh dari rumah. Tepatnya, sebuah rumah kedua ketika jarak menjadi musuh bagi diri ini.

Sesampainya di sana, aku melihat punggungmu menghilang di kegelapan. Namun, aku tidak melihat kau menoleh ke arahku. Aku hanya bisa menghela napas panjang. Bukan hak diriku untuk mengharapkan sepasang mata yang menatapku ketika aku beranjak pergi. Aku mengerti dan lalu tersenyum, memacu sepeda motor ke rumahku.

Untuk saat ini, aku selalu mengingat kenangan ini. Menuliskannya sebagai suatu prosa yang berisi keindahan, bukan kesedihan. Setelah beberapa bulan kemudian, dia hilang entah dimana. “Gone With The Wind.” Aku merindukan sosoknya. Tak bisa kulepaskan mata indah, dan senyuman itu. Terbayang lalu dan kerap membawa nostalgia di hati itu. “Aku jatuh cinta kepadamu.”


Jika Tuhan memberikan pilihan
aku ingin hari ini menjadi abadi
Bila Tuhan memberikan putusan
aku mau hari esok seperti hari ini
Jiwaku dipenuhi dengan kerinduan
ketika waktu dan hari terhenti

Elegi Sendu, Menuai Kelu

Senja tak henti-henti menggodaku untuk menikmatinya. Kesunyian pun selalu berupaya menuai rinduku. Dan, keduanya memang berhasil. Aku merindukan suasananya sunyi dan awan jingga. Tapi kini, aku tak bisa memenuhi kolaborasi keduanya. Aku hendak beranjak menuju sebuah konser yang hingar bingar, meski diadakan di saat sinar mentari senja memancar.

Sore itu, Ibu Kota tengah merayakan sebuah hari raya. “Selamat Hari Raya Jazz,” begitu yang diteriakkan oleh musisi generasi muda, Barry Likumahuwa, ketika tampil dalam perhelatan akbar konser jazz tersebut. Beragam panggung menampilkan para musisi jazz dari yang amatir hingga kelas dunia. Tak jarang pula, nama-nama musisi itu telah mengharu biru dunia musik.

Tak pelak, Arena Pekan Raya Jakarta, Kemayoran, Jakarta Pusat, pun dipadati oleh lautan manusia. Senja menjadi saksi di saat para manusia, tua dan muda, bereksodus ke arena PRJ untuk sebuah perhelatan akbar. Mereka mulai melupaka kesunyian. Bagi mereka, inilah saatnya berpesta dengan musik jazz, sebuah aliran yang kini telah menjadi gaya hidup ketimbang aliran musik.

Kini, suara alam semesta berganti menjadi nada-nada yang dialunkan oleh para musisi jazz. Dari panggung ke panggung, aku menjelajahi, ditemani seorang sahabat. Tidak ada satupun manusia yang kukenal. Mereka datang dengan satu tujuan, mencari alternatif dari rutinitas yang saban hari membelenggu dan menyalurkannya dengan bernyanyi bersama pengalun jazz.

Hingar bingar tak buatku melupakan alam. Aku masih menghela nafas panjang saat lembayung senja bergumul mesra bermandikan cahaya jingga. Mentari pun tampak berseri, menikmati musik yang tiada kencang dan syahdu. Bagaikan suara alam yang berpadu dengan nada artifisial yang diciptakan manusia melalui alat-alat musiknya. Perpaduan yang indah jazz di kala senja.

Tampak, berpuluh-puluh dewata penghuni langit melongok ke arah buana. Mereka mungkin sedikit penasaran dengan hingar bingar yang terjadi. Namun, hingar bingar ini bukanlah perang yang mengorbankan banyak nyawa. Ini adalah hingar bingar perdamaian. Melalui musik, para pengalun jazz menyampaikan pesan-pesan cinta dan kasih sayang kepada umat manusia.

Sejenak, tugas para dewata agak ringan. Mereka pun cuti senja ini, dan memberikan kesempatan kepada manusia untuk menyampaikan pesan perdamaian. Tentunya lewat musik mereka yang indah. Terkadang, para dewa ikut bergoyang mengikuti alunan musik. Gerakannya tak ubah seperti nyiur melambai yang diembus angin pantai. Pelan namun santai dan pasti.

Teringat pada aluan suara Orpheus yang syahdu. Penyair ini kerap menghibur para dewata dengan syair dan nada-nada indahnya. Namun, sejak dirinya terpendam dalam kesedihan akibat kematian sang kekasih, Eurydice, musik-musik itu hanya menuai tangis dan kerinduan tak berujung. Hingga akhirnya, Orpheus dipeluk ajal dan malaikat membawa raganya dengan iringan lagu sedih.

Saat ini, telah banyak Orpheus-orpheus yang lain. Mereka memainkan musik riang, bahagia, sendu maupun syahdu. Sebagai titisan Orpheus, para musisi mengemban tugas berat. Bagaimana melontarkan sebuah musik hingga akhirnya bisa membuat pendengarnya terbuai dan terbawa baik dari segi psikologis maupun emosi. Tak jarang, musik membuat para pendengar larut dalam rasa cinta.

Berbagai arena konser aku susuri. Jalan setapak demi setapak,ditemani langkah lain yang berderap. Banyak langkah manusia di sana. Mereka berbondong-bondong ingin menyaksikan penampil favorit yang tengah menyenandungkan alunan jazz. Tak jarang, mereka rela mengantre hingga belasan kilometer demi mendapatkan tempat terdepan, hingga sang musisi terlihat dekat bak dalam dekapan.

Ketika tengah mengunjungi sebuah arena expo yang terletak di dalam sebuah hangar besar, aku melihat sesosok wanita. Aku mengenal punggung wanita itu, dan jilbab sutera yang dikenakannya. Dia berjalan menyusuri setiap selasar area para penampil di sudut-sudut arena. Jalannya cukup cepat, aku tiada sanggup mengimbangi tiada pesat. Dia terus berjalan, dan aku berkali-kali terhenti sejenak.

Saat bisa melampauinya, aku membalikkan badan. Ingin kulihat wajahnya yang tersingkap. Apakah dia wanita yang aku harapkan untuk ditemui? Ternyata bukan. Sosoknya berbeda, kendati ciri fisiknya sama, dengan kulit putih yang menyinari wajah. Tapi, itu bukan dia. Sirna sudah bayangan itu, ketika harap tengah menanti untuk melihat kembali wajah yang lama kunanti.

Bukan kali ini peristiwa terjadi. Berulang kali aku melihat sesosok gadis yang menyerupai dirinya, tapi itu bukan dia. Kiranya, Sang Smara telah menancapkan erat panahnya. Nukilan kisah yang terajut pun kian membuat khayalan itu menjadi nyata. Aku terjebak antara mimpi dan nyata. Tatkala, setiap wujud nyata aku anggap sebagai dirinya. Sebuah bayang yang berulang kali menanggalkan jejak.

Di tengah keramaian, kontan tubuhku merasa sendiri. Aku melihat seluruh manusia bergerak dalam derap yang sangat lambat. Aku berada di tengah, bagai pusaran air yang membentuk sebuah lubang di lautan. Aku bagaikan mata topan yang terjebak stagnasi di tengah pusaran, ketika elemen dan mahluk lainnya tengah terombang-ambing dalam amukan sang Dewa Bayu.

Musik pun hanya sayup-sayup terdengar. Bunyi saksofon mengalun dari kejauhan, dan suara seorang lelaki yang kukenal. Dia adalah Bobby Caldwell, penyanyi yang menjadi raja romansa pada dekade 1980 dan 1990-an. Mengobati rindu, seraya memanjakan rasa, aku menyaksikan penampilan dirinya. Raut wajah renta tampak di sosok Caldwell. Namun suaranya masih menuai nostalgia para penggemar.

Pada ghalibnya, lagu-lagu itu hanya menepis sedikit telingaku. Bagai elegi yang terus bersenandung. Sedangkan, otakku masih disesaki awan mendung. Sesosok malaikat yang sempat mengisi malamku, namun kini tengah kembali ke khayangan. Yang tersisa di dunia hanyalah raga yang tiada kukenal. Hanya sesal yang kini bisa kulayangkan kepada Tuhan, meski aku tahu cinta-Nya abstrak.

“O Tuhan, berdosakah aku? Ketika aku memandang sepasang mata yang indah, dan memuja sosok yang memilikinya, sedangkan dia adalah ciptaan-Mu. Apakah aku dosa? Saat cinta ini terlontar dari hati yang paling jujur, dan getir karena takut malaikat-Mu kembali terbang ke surga. Tiada kumaksud menduakan-Mu, aku hanya ingin memuja ciptaan-Mu yang terindah dan termashyur.”

Tak seberapa lama, Bobby Caldwell menyenandungkan lagu “Back to You.” Tembang yang sejatinya dinyanyikan secara duet dengan Marilyn Scott ini, mengisahkan tentang sepasang kekasih yang kembali bersatu usai mengakui kekhilafan. Dikisahkan, keduanya merupakan sepasang jiwa yang sempurna jika tidak memiliki satu sama lain, dan meleburkan kasih mereka.

Kontan, pikiran langsung tertuju kepadanya. Bagai roket yang melesat tanpa halangan, bayangan pun terbang entah kemana mencari sang pujaan. Tapi, hanya sebatas bayangan, ketika sosok itu kian menjauh dan menjauh hingga hanya setitik debu. Dia hilang di antara bayangan hitam yang aku hadapi. Dia sirna ditelan oleh kabut penantian dan harapan, sampai saat ini.

Lagu ini menjadi pemicu, ketika jiwaku berkelana di sebuah dunia yang sarat kerinduan. Tembang lain menjadi hambar, karena aku tiada mendengar. Dalam impian itu, aku terus menggapai, meski tangan ini enggan bergeming. Hanya kelu yang kupacu. Hanya dengan mimpi aku bisa mendekap bayang itu, meski sebenarnya nyata dan dekat dengan kehidupanku.

Kebencian itu membuat dia berpaling, ketika dulu aku dan dirinya sempat berbicara seperti rumput yang tiada pernah mengering. Selalu, obrolan mengalir bagaikan hujan yang kini tengah membasahi bumi, tanpa malu-malu. Tapi, roda zaman terus bergulir. Kebingungan melanda diri, ketika dia menjauhi saat aku berkata lirih bahwa aku jatuh cinta kepadanya.

Dan, anganku pun melayang seraya menanggalkan jubah kemunafikan. Pikiran terbenam dalam kerinduan. Suara hatiku pun berkata mesra dan tangis yang senantiasa menerpa jiwa. Lalu, aku pun menggoreskan tinta jiwa dalam hati dan pikiran yang terus mengawang:

Setelah itu, hanya punggungmu yang tampak di hadapanku. Aku terus mengejarnya, tapi meraih pun tak kuasa. Suatu saat ketika kau memandang kusejenak, bulir-bulir asmara merasuk ke dalam tubuhku. Tapi, kembali kau memalingkan wajah, sehingga bulir-bulir itu tersendat dalam nadi yang tengah berdetak kencang. Dan, hanya punggungmu yang kembali kutatap.

Setiap hari, saban malam. Aku terus menggoreskan tinta, merangkai kata dan merapal kalimat kerinduan. Ketika mentari terbenam, saat bulan benderang muram. Aku pun senantiasa mencari, dan mencari nada merdu yang bisa mengusir rasa sendu. Lagu cinta, hingga tembang renta. Alunan sedih, sampai nada lirih. Musik keras, hingga syair pedas. Namun, upaya ini nihil.

Bayangmu kian nyata, rasa pun semakin bergejolak mencari dunianya. Tak ada yang sanggup mengusirmu pergi dari imaji ini. Aku mencoba teriak, hanya namamu yang tak kuasa hilang bagai karang tegak. Apa merasuki diriku? Cinta yang kian membeku, atau rasa sesaat yang nantinya akan berlalu. Rasuk nadiku, ketika jantung ini berhenti berlaku. Berhenti sejenak menuai letupan rindu.

"Aku ingin mengisi duniamu, seperti kau mengisi hariku. Aku ingin merangkai bunga kehidupan untukmu. Tatapan dinginmu, senyum ceriamu, suara lembutmu. Aku merindukanmu sungguh. Aku bisa berkaca di matamu yang menyimpan beragam rahasia. Seonggok hati memendam rasa, aku bisa mendengarnya. Kian jelas, meski sayup bersuara.Namun kini seluruh dunia sirna."

Dari balik jendela, aku selalu memandangmu, erat. Dan, aku palingkan wajahku ketika mata itu mencari secercah kebenaran. Lalu, aku pun kembali melihat dirimu. Sekat kaca, tak seberapa tebal memang. Namun, benteng di hatimu begitu kokoh. Tak kuasa aku menatap cahaya benderang. Dalam hati, aku berkata “lihatlah diriku, akulah pemuja rahasiamu. Kau mencuri hatiku yang telah membeku.Kini, kau membawaku ke sebuah padang tak bertepi. Sesatku dalam duniamu. ”

Wahai nona, aku tersesat dalam labirin di hatimu. Kini, sepenggal hati ini telah sirna, raib entah kemana. Aku enggan mencari. Sebab, tak ada daya yang bisa kulakukan. Biarlah kutitipkan hati itu di tanganmu. Buatlah dia bahagia, meski aku harus menanggung segala nestapa. Suatu saat aku akan pergi meninggalkan duniamu, agar kau bisa bahagia berlaku.

Tapi, aku senang mendengar tawamu. Andai aku bisa menuai tawa itu. Hanya ada sesal yang tersisa dalam raga hina ini. Ketika sebuah upaya yang kunjung menuai hasil, hanya doa yang kuhaturkan. Aku bahagia bisa memberikan hati ini untukmu, kendati cinta tak kunjung hinggap di sana. Tapi, apa daya kau memiliki duniamu. Dunia yang kau ciptakan dengan tangan emasmu.

Terima kasih atas inspirasi-inspirasi yang telah kau sematkan dalam bentuk cinta. Sebuah cinta impian yang kurangkai dari sederet kata-kata mesra dan puisi-puisi bernada suka. Suatu saat, aku ingin bertemu denganmu kembali, meski dalam mimpi maupun nyata, dan berkata "aku sayang kamu. Suatu kebahagiaan bisa menuai senyum di wajahmu dan hatimu. "

Hingar bingar jazz pun kembali terdengar, mesra di telinga. Aku merasa temanku telah memanggil. Berulang kali memang, namun suara itu tak singgah di telingaku. Pertunjukkan Bobby Caldwell hampir rampung. Sebuah encore memuaskan dahaga para penonton. Mereka terus bernyanyi, sedangkan aku hanya terdiam di tengah ramainya suara koor yang dirapalkan para penonton.

Raga ini telah kembali ke peraduan, meski pikiran terkadang mengambang. Aku lanjutkan petualanganku sore itu menuju ke arena konser lainnya. Senja pun berganti malam, tanpa terasa bulan kini telah berlabuh di pantai kerinduan. Bermeditasi dalam malam yang kian menusuk kalbu, dengan rindu dendam dan senyum mesra sang Putri Malam.

Sebuah bayangan terkadang membuat diri ini terlena sesaat. Menuai mimpi yang terus melontarkan kata-kata kiasan berisi harapan kepada hati yang telah. Sejenak terlampau, bayangan itupun sambil lalu. Hingga aku pun menyadari, dia hanyalah sebuah bayangan, sudut semu dari dunia yang aku ciptakan sendiri. Bukan nyata yang bisa tersentuh dan kasat oleh mata.

Hingga hari ini aku terus menulis, dan menulis tentang bayangan itu. Berupaya meraihnya lewat untaian kata-kata kerinduan dan mesra. Meski berpuisi untuknya, namun itu bukanlah dia. Tulisanku hanya sebuah bayangan yang aku anggap nyata. Dan, ternyata pun bayangan itu bisa menuai sepiku dalam hingar bingarnya suasana, sampai saat ini.