Sunday, March 30, 2008

Banjir

Langit mendung
Awan menyeruak
Petir menggelegar
Menari menyibak bayu

Tanah hijau dihantam ombak
Perlahan menerjang tepian
Sekejap buana berselimut air
Insan pun mengiba nyawa

Amuk Dewa Ruci mahadahsyat
Diubahnya tanah menjadi lautan
Manusia, ini suatu pertanda
Datangnya akhir zaman

Smaradhana

Ratih dewi
citra khayalku, prana dalam hidupku
yang haus asmara
Hm.....nikmatnya bercinta

Andika dewa
Sirna duli Sang Smara, merasuk sukma
menyita heningnya cipta
Oh....resah 'ku jadinya

Prahara nestapa seakan tak kuasa
membendung asmara Insan sedang bercinta
Gelora asmara di Samudra cita
melenakan daku dibuai cinta

Lagu/Syair : Guruh Sukarno Putra
Saduran : Trisutji - Guruh
Jakarta, 1972

Geger - Gelgel

Dulu di Gelgel pernah geger
namun tak segeger hatiku
Hasrat hati ingin membeber
segala peri-laku palsu

Degup jantung irama Batel
bagai derap pasukan Gelgel
Menentang penjajah angkara
penindas hak dasar manusia

Wahai kawan nyalangkan matamu
Simaklah dalam babad moyangmu

Di Gelgel pernah geger
semangat suci luber
Kepasuan tersebar
Orang batil tercecer-cecer
Geger Gelgel - Gelgel geger, di Gelgel geger

Hatta nasib rakyat jelata
yang hukan ahli berbicara
Tapi hatinya bersuara
menuntut hak alam merdeka

Kaum sudra dipermainkan
oleh muliawan gadungan
Hati tercekam suasana
ngeri waswas meraja-lela

Wahai kawan jangan engkau lengah
Ketidakadilan harus musnah

Singkirkan cadar ragu
singsingkan fajar baru
Mari kita bersatu
du dalam setiap nafasmu
Menyingkap dan menelanjangi adegan palsu

membahas sangkakala
menyibak mega raya
Menyongsong bahagia
moga sirna duka derita
janji Sang Hyang Maheswara niscaya 'kan nyata

Durma : Bintang benderang cemerlang
saksi agung lihur suci

Sinom : Tergurat babad Gelgel dalam sastra
di medan perang suci
bajik melawan angkara
tentara Gelgel sura
berjuang tak takut mati

Lagu/Syair : Guruh Sukarno Putra
Saduran : Guruh - Gipsy
Jakarta, 1975

Janger 1897 Saka

Jangi janger
sengsengin sengseng janger (2x)
serere nyoman ngeyorin
kelap - kelap ngalap bunga
langsing lanjar pamulune nyandat gading
jaman edan mejangeran
sariang ngentu rota roti


Lagu janger dinyanyikan buat bersantai (-santai)
agar segar jiwa - raga yang telah lunglai
Mari kita menari janger agar lupa segala duka
mari kita menyanyi janger agar hilang segala lara

Dulu memahat buat menghias pura (-puri)
dulu menari dengan sepenuh hati
Sekarang memahat untuk pelancong mancanegari
Sekarang menari turut cita turis luar negeri

Tari Legong jaman masyhurnya di Saba (-Kedaton)
dipersingkat demi selera penonton
Wingit barong dan tari keris sering sekedar tontonan turis
kekhusukan upacara melins sering terganggu jepret lampu blitz.

Onde-onde dari Cisalak, berkonde Jawa rambut disasak
Ondenya masakan Semarang, konde sasakan mode sekarang

Art shop megah berleret memagar sawah ( Cak he he )
Cottage mewah berjajar dipantai indah
Karya - cipta nan elok - indah ditantang alam modernisasi
Permai alam mulai punah karena gersang rasa mandiri

Boleh saja bersikap selalu ramah (-tamah)
bukanlah berarti bangsa kita murah
Kalau kawan tah berhati-hati bis punah budaya asli
Kalau punah budaya asli harga diri tak ada lagi
(harga diri tak ada lagi maka tak dapat berbangga hati)

Lagu/Syair : anonim + Guruh Sukarno Putra
Saduran : Guruh - Roni - Trisutji
Jakarta, 1975

Chopin Larung

Yen Chopin padem ring Bali
kerarung saking Daksina
Titiang mengenang Bali
sunantara wong ngrusak - asik negara

Sang jukung kelapu - lapu
Santukan Baruna kroda
Nanging Chopin nenten ngugu
kadang ipun ngrusak seni - budaya

Risedeg sang jukung kampih
ring Legian - Kayuaya
'te - lonte ring sisin pasih
anak lacur melalung ngadolin ganja

Chopin ten uning ring Bali
wong putih mondok ring Kuta
Asing lenga lali ring Widi
tan urungan jagi manemu sengkala

Gending Chopin maring ati
nabuhang wirama duka
Duh nyama braya ring Bali
dong sampunang banget nunaning prayatna

Lagu/Syair : Guruh Sukarno Putra
Saduran : Guruh
Jakarta, 1975

Nona Manis Bercelana Pendek

Celana pendek selutut. Warnanya hitam. Kantongnya lumayan banyak. Namun itu bukan berarti dia pencopet ataupun bajing loncat. Sebab dia manusia. Dasar nona manis itu. Dia memang beda. Selalu mengenakan celana pendek. Nona manis itu betah. "Adem," katanya.

Buntutnya saban hari entah itu siang atau malam. Pagi atau petang. Baik itu di kala serius maupun santai. Celana pendek selalu merekat di tubuhnya. Sekali lagi "Adem," tegasnya. Aku curiga kata adem ini hanya sebatas wacana. Dia beralasan.

Kalau kita tengok ke belakang. Pada 2006 silam, banjir merendam kediamannya. Di suatu tempat yang dihuni naga merah pembawa keberuntungan. Begitulah orang Cina bilang. Wajar wilayah tersebut didominasi warga Tionghoa.

Nona manis tentu saja kalang kabut. Air di kediamannya kian meninggi. Kota tersebut kontan menjadi laut berwarna coklat. Nona manis kian gelisah. Selama bencana nasional itu, dia setia mengenakan celana pendek. Alasannya buat menghindari air.

Bukan cuma celana pendek. Sendal jepit merek Swallow juga kerap dipakai untuk menyisir jalan. Langkah demi langkah dilalui. Sendal jepit pun mengerang lantaran diinjak majikannya. Namun si nona manis tak peduli. Toh sendal jepit hanyalah benda mati. Dia tidak bisa protes.

Lama ku tak bersua dengannya. Kini ulat itu telah keluar dari kepompongnya dengan predikat baru. Kupu-kupu. Dia terbang mengangkasa. Bayu menjadi kendaranya. Lembayung mengantarkannya ke udara. Sang surya menyambut meski hampir terbenam.

Kini celana pendek telah ditanggalkan. Sendal jepit sudah disimpan rapat-rapat. Tadi aku bertemu. Dia mengenakan celana jeans panjang berwarna biru. Raut dewasa telah terlihat di wajahnya. Warna merah pipinya kian merona. Dia semakin cantik. Aku terpana.

Friday, March 28, 2008

Dia Yang Terluka

Luka ini terlalu dalam
Luka ini telah menganga
Tiada penyembuh
Dan tiada pernah membaik

Aku ingat seorang teman
Dia sungguh nelangsa
Kasih lama telah menorehkan tinta hitam
Tinta itu pun kian meresap

Dia menangis
Hatinya menjerit
Benaknya terluka
Sedih mengalir dalam darahnya

Entah apa yang bisa kuperbuat
Untuk kembali melihat senyumannya
Merasakan canda tawanya
Menatap binar matanya

Andai..

Tuesday, March 11, 2008

Sang Smara

Aku derapkan langkah di astana para dewata
Perdana, kulihat sesosok batari nan jelita
Rona kelembutan jiwanya buatku terpana
Oh sang smara, cinta ini bergelora
Dia hamparkan anjangsana asmara di dada
Ingin aku mengucap rapal cinta
Tapi lidah ini membisu, kelu tanpa swara
Akankah kubisa menggapai sang mahajana?

Wednesday, March 5, 2008

Masih Teringat Dia

Musik itu merajam telingaku. Meski pelan, tapi cukup membuat adrenalin terpacu. Kuambil sebatang rokok Filter. Tinggal dua batang, padahal baru sejam lalu aku membeli sebungkus. Kunyalakan racun paru-paru itu. Ssshhh... Kuhisap dalam-dalam. Bagiku, rokok adalah obat mujarab untuk menghilangkan kegalauan hati. Namun bayang-bayang sang peri tak berhenti menghantui.

Sekejap, seketika, dia muncul. Lalu, menghilang lagi. Oh. Rebahlah wahai tubuh nan berlemak ini. Jatuh ke kasur, dan terhempas. Nikmat rasanya. Kulihat langit-langit rumah. Mencoba membayangkan, apa yang dilakukan sang peri nun di sana. Sialan. Jadi malah ruwet otakku. Kangen justru semakin melempari diriku dengan senyum manis dan kelembutan hatinya.

Mata ini kian terasa sempit tanpa raut bibirmu. Hati menjadi sesak kala kumengingatmu. Ah... Persetan. Hidup musti tetap berjalan. Angin harus senantiasa berembus. Matahari pun juga mesti bersinar, walau awan mencoba menghalangi. Superman pula tetap terbang, meski sudah berulang kali dihadang Batman. Robin pun kesal karena Batman kok bisa terbang. Namun Batman cuek bebek.

Kutegapkan badan. Meski sudah terkontaminasi asap cigarette, kutetap mencoba membentuk bidang pada dada ini. Teriak lantang seraya kuacungkan tangan. Mencoba meninju angin. Hilanglah segala resah di jiwa. Tapakku berderap, mantapkan langkah pasti. Berjalan melalui pintu rumah yang sudah reyot termakan usia.

Stop, kataku saat melihat metro mini melintas. Enaknya duduk dimana ya? Lalu, kumelihat seorang gadis usia remaja duduk sendiri. Duduk disitu saja, ucap hatiku mantap. Waktu kulalui tanpa berbicara dengan sang gadis. Hanya memandangi alam Ibu Kota. Padahal, hasrat hati ingin sekali berkenalan dengannya. Minimal menjabat tangan, maksimal dapat nomor telepon.

Penantian itu tak kunjung tiba. Tangan pun tak bersambut. Si gayung ikut ingin menyambut. Tapi nihil. Tiba-tiba, sang dara puspita beranjak dari tempat duduknya. Lho, belum kenalan. Lalu, dia tersenyum dan berkata, permisi. Hanya satu kata itu membuka dan mengakhiri penantianku. Walah... Aku tidak ingin membuka pintu asmara. Tapi aku hanya ingin teman ngobrol. Kok susah ya?

Si gadis pergi. Praktis, bangku sebelahku kosong. Kucoba menerka, siapa ya yang nantinya duduk di sini? Angin harapan berembus. Dewi Cinta nyaris tersenyum. Panahnya sudah siap dilepaskan. Ya, kumelihat seorang wanita berbalut pakaian kantoran. Wajah putih penuh permak di sana sini. Tetap saja raut manisnya terlihat. Tubuh semampai. Bahkan dewa pun akan berpaling padanya.

Aduh... Aku bergeser sedikit. Berharap si semampai itu duduk di sebelahku. Asik... Dia tersenyum padaku. Oh Tuhan, kali ini pasti berhasil. Namun sialnya, dia ternyata memilih untuk duduk di belakangku. Entah kenapa. Kucoba menerka alasannya. Apa mungkin tampangku yang buat dia ogah? Salahku memang. Sempat terlihat gurat penuh nafsu di wajahku saat menyambut si kantoran itu.

Taik banget, caciku kepada si Rendy. Oh, dewi cinta beri aku kesempatan kedua. Karena dinanti penuh nafsu, maka si kesempatan itu tak kunjung datang. Tak lama berselang, seorang pria berbadan tegap dan lemak di tubuh naik. Kucoba acuh padanya. Semoga si gendut itu tidak menghampiriku. Bahkan untuk melihatnya saja aku ogah, urung, no way.

Yaaahhh... Badan penuh kalori itu menyambangiku. Dan, dia tersenyum ramah. Aku nyengir kesal campur kecut. Brukk.. dia duduk dan kursi oleng. Metro mini gonjang ganjing. Bayu berhenti bertiup. Dunia terasa sempit. Ingin dapat rusa, malah kena batu raksasa. Aku susah bergerak. Bahkan untuk mengambil ponsel yang berbunyi saja tidak mampu. Nasib, o, nasib.

Untukmu Dewi Cinta..

Aku kagum.
Aku terpukau.
Aku terperanjat.
Aku berada di gunung yang dihuni para dewa dan dewi.

Bayu menari-nari menyambut mereka.
Awan berseri melihat mereka.
Aku pun ikut tersenyum.
Satu demi satu lorong kulalui. Jalan lurus dan berkelok kutapaki.

Kaki ini menuntunku ke suatu titik penantian.
Hati ini berdebar dibuatnya.
Sesosok dewi cantik muncul di hadapanku.
Dia tersenyum, begitu pula aku.

Oh, asmara menggoda jiwa.
Bel di dadaku tak henti berbunyi.
Dia menyentuh hatiku.
Dia buatku terenyuh.

Oh Tuhan, inikah sang dewi itu.
Dewi cinta pujaan hati.
Dia yang bisa mewarnai sukmaku.
Dia yang dapat mencairkan beku di hatiku.

Ingin mulut ini merapal kata cinta.
Entah kenapa hanya bisu yang ada.
Aku hanya melihatnya.
Memandang Dewi Cinta penuh makna asmara.