Monday, September 20, 2010

Di Penghujung Senja...

Maukah kau menemani?
Duduk termenung di tengah taman ini
Menunggu tibanya gelap
Menanti lalunya sang senja

Sepenggal lirik lagu berjudul Sirna karya Yockie Suryoprayogo membuka tabir senja saat hari menapaki pukul 17.30 WIB. Senja menjadi nuansa yang terpapar dalam lagu itu. Ada kedamaian saat merenung, tanpa terbuai dalam lamunan tak terarah. Hangatnya sang surya menjamah tubuh ini dan menusuk hingga ke dasar kalbu.

Indah memang cakrawala senja. Redup mentari menghapus segala rindu dendam di dada. Suara kicau burung membahana, mereka pulang ke sarangnya. Malaikat turun ke marcapada, mereka menampakkan wujud bak manusia. Terdengar alunan kidung yang sendu dari musisi Ilahi. Dia mengantarkan awan lembayung kembali ke peraduan. Putri malam pun tak mau kalah. Dengan tangan halus dan senyum malaikatnya, dia siap membelah serta memeluk angkasa. Gulita menyelimuti, hanya bulan dan bintang nan benderang menyinari.

Senja memuat sejuta inspirasi bagi sejumlah insan. Jiwa sendu dan bahagia menyatu. Untaian kata-kata yang terangkai menjadi puisi atau prosa pun tercipta. Gugusan nada-nada indah tersirat dan menyatu menjadi sebuah lagu nan syahdu. Goresan tinta penuh warna memenuhi kanvas putih. Seketika, jadilah lukisan mashyur panorama ciptaan sang Khalik.

Bagiku, senja adalah suasana damai saat duduk di teras rumah. Ditemani secangkir teh manis hangat dan rokok yang terus mengebul. Embusan asap membawaku ke dalam suatu imaji senja. Sambil memandang langit jingga keemasan, aku terbuai dalam renungan. Megah dan menakjubkan memang kuasa Tuhan. Dia meracik nuansa petang, laksana pelukis yang memadukan warna indah dan mengubahnya menjadi suatu mahakarya. Dia bagai juru masak yang meramu bahan-bahan hingga menjadi santapan yang lezat.

Aku angkat cangkir dan seruput teh di dalamnya. Kusulut rokok, asap pun menyeruak. Tanpa dinyana, muncul imaji seorang gadis. Belum lama kukenal dirinya. Tapi dia cukup memiliki makna dalam hati. Ya, aku sayang dia. Aku terhempas di saat Dewa Cupid menancapkan panahnya di tubuhku. Tak bisa kupungkiri, inilah cinta. Bayangan itu semakin nyata. Bahkan gadis itu seperti tengah berbincang dengan diriku.

"Oh Tuhan, apakah aku sudah gila, seperti Qais si Majnun yang mengejar cinta Laila? Ataukah, senja tengah merasuk ke otakku dan menciptakan imajinasi liar? Dan kini aku terperangkap dalam imajinasi itu. Belenggunya mengikat jiwa dan raga. Aku bagai setitik debu di hamparan jutaan pasir," kataku, seraya mengerinyatkan dahi.

Gadis itu memang tengah membelah hatiku. Dia telah mengambil setengah bagiannya. Hanya bagian sisa yang kupunya. Andai bisa kusatukan kembali hati itu. Tapi aku tak bisa. Kini aku bagai manusia setengah mati. Separuh nyawa dan cintaku telah terbaang bersamanya. Menanti dia kembali. Aku hampa, seperti Nabi Adam saat kali pertama mencicipinya indahnya surga. Kesepian menyeruak, namun hati Tuhan tergerak. Dia menciptakan Hawa dari tulang rusuk Adam dan menjadikannya pasangan sehidup semati.

Kembali, kuhisap rokok dalam-dalam. Kuembuskan asapnya. Bayangan cinta itu hilang, namun senja menggantinya dengan nestapa. Dalam imajiku, tampak ayah tengah terbaring lemah di peraduan. Kelumpuhan menghalangi dia melihat puspa ragam dunia. Kini, dia hanya dikelilingi tembok bisu dan atap berbatas. Televisi dan radio menjadi mata dan telinga. Pandangan ayah menerawang. Matanya lembab, seolah air mata baru saja singgah di sana.

Memang, tak jarang aku melihat ayah berurai air mata. Menangisi nasib yang diderita. Kadang amarah pun singgah di hati, saat berupaya menerima kondisi diri. Tapi, tangan ayah tak kuasa mengusap air matanya. Dia lemah dan tak berdaya. Namun, semangat hidup terus berkobar di dada. Merah membara jika Tuhan mengupas hatinya helai demi helai. Selama 11 tahun, dia melakoni perjuangan yang penuh gejolak. Tangis, bahagia dan amarah dialami. Namun, ayah tetap mencintai hidup ini, meski sarat duka dan air mata siksa.

Dalam senja ini, ibu selalu memandikan ayah. Dia basuh tubuh lumpuh Ayah. Tak tersirat penderitaan di wajah ibu, yang ada adalah rona bahagia dan keikhlasan yang mendalam. Enggan dia melihat keluarganya bersedih. Kesal dia, jika getir hidup menyambangi ayah. Ibu adalah bumi dan surga bagi manusia, dia laksana pelita di saat malam menjelang. Tampak, surga terbentang di hadapannya. Jika saatnya tiba, malaikat kelak kan menyambutnya bagai bidadari yang baru pulang dari indraloka.

Tanpa sadar, air mata jatuh dan tumpah di dalam tehku. Oh Tuhan, bayangan itu membuatku beku. Aku kelu, tak berdaya. Senja membuat jiwa ini bagai selembar kertas tipis, terombang-ambing ditiup angin. Senja membawaku ke peraduan ayah. Di sana, kami menangis bersama, tertawa bersama, dan bahagia. Di sana, kami siap merasakan getir dan nikmatnya hidup.

Kutinggalkan senja, karena hari menjelang malam. Malaikat kembali naik ke surga. Cakrawala senja berganti dengan heningnya malam. Kini waktunya puisi malam tercipta. Kini saatnya sang bulan menyapa dunia. Seraya kubangun dari duduk, terdengar sayup-sayup suara adzan Maghrib dan alunan sunyi lagu Sirna.

(RAS/190910)

No comments: