Friday, October 18, 2013

Di Lantai Dingin Ruang Kelas

SEKS. Sebuah naluri alami manusia. Mulai merajai jiwa, sejak Adam dan Hawa tercipta. Namun, naluri hanyalah sebuah kata sifat. Terkadang, terselimuti oleh buasnya hawa nafsu. Buntutnya, terjadilah pelecehan dan kasus pemerkosaan. Sebuah penyaluran naluri tanpa memandang rasa manusiawi.

Kemarin, saya membaca sebuah berita. Miris, dan cukup memantik emosi. Hal yang sepatutnya tidak terjadi pada generasi penerus bangsa. Semesta berteriak merintih, gunjingan bertubi-tubi, air mata yang berurai tanpa henti, caci maki menghampiri, dan penjara pun menanti. Semua terjadi hanya gara-gara satu kata: syahwat.

Ruang kelas di lantai dasar Sekolah Menengah Pertama Negeri 4 Jakarta, Sawahbesar, Jakarta Pusat, menjadi saksi bisu. Lantai yang dingin, dan kursi yang sudah tertata rapi. Alih-alih sunyi, malah muncul kegaduhan di akhir jam pelajaran. Saat pulang sekolah tepatnya. AE, seorang siswi kelas IX [baca: delapan] di SMPN 4 tersebut diperkosa oleh adik kelasnya, FP.

Belum beranjak dewasa. Usia pun belum 17 tahun. Namun, sang adik kelas sudah membawa panji syahwat ke dalam ruang kelas. Siang itu, AE akan pulang ke rumah di sebuah lokasi di bilangan Kemayoran. Namun, tiba-tiba, sebuah tangan menariknya. A, salah satu siswi SMPN 4 membetot tangan AE, seraya mengempaskannya ke lantai. Tak pelak, AE yang tak tahu menahu terperanjat. Tapi, raganya kelu. Tak bisa berbuat apa-apa.

Bak adegan di film biru, A menyuruh FP, adik kelasnya yang baru berusia 15 tahun untuk mencium korban. Ketika bibir hendak mendarat, korban menolak. Namun, pisau pun berbicara. Terhunus, sebilah pisau mengancam nyawa sang penyintas [baca: korban yang selamat] bila tidak menuruti kemauan. Kontan, AE tidak bisa berbuat apa-apa di bawah ancaman belati. Tak pelak, korban pasrah untuk melepas kerudung. Ciuman bertubi-tubi mendarat di wajah korban.

Tak puas menganiaya, penyintas juga dipaksa untuk melakukan [maaf] oral seks. Masih di bawah ancaman pisau, AE menuruti keinginan untuk berhubungan layaknya suami-istri. Pencabulan dan pemerkosaan pun pecah. Sang gadis merintih, mencari pertolongan. Namun, semua kelu. Air matanya tak henti membayangkan dunia yang akan jatuh di atas kepalanya. Bisik-bisik masyarakat yang akan mencemoohnya. Namun, kejahatan sudah terjadi.

Seluruh adegan tersebut diabadikan oleh salah seorang siswi. Menggunakan kamera ponsel, seluruh aksi bejat pelaku terekam. Baik dalam bentuk video maupun foto. Ketika itu, lima siswi lainnya tak berbuat apa-apa. Hanya menyaksikan ketika sebuah keperawanan terenggut dengan paksaan dan berlumuran darah kemaksiatan dari punggawa nafsu syahwat.

Ketika perbuatan itu selesai dilakukan, AE ditinggalkan tergolek di lantai dingin ruang kelas. Rambut panjangnya tak tertata. Berantakan, berpencar di seluruh penjuru ruangan. Baju seragamnya pun dalam kondisi acak-acakan. Isak tangis AE menggema. Tak ada yang mendengar, kecuali dinding, lemari, kursi, meja, dan papan tulis nan membisu.

Malu, sedih, kecewa, dan kesal bercampur menjadi satu. Meski sudah mencapai ubun-ubun, AE merahasiakannya. Mulutnya terkunci rapat, hanya wajahnya yang kerap terdiam tanpa kata. Dia sudah berandai-andai, apa yang akan terjadi bila buka suara. Orang akan berdatangan, dan berbicara dengan pendapat yang kosong. Gosip, dan hanya bualan yang keluar dari mulut masyarakat yang tak tahu kejadian sesungguhnya.

Namun, sakit psikis tak luput mencederai fisiknya. Keluarga AE tidak tahu menahu. Namun, AE belakangan sering mengeluh sakit saat buang air kecil dan buang air besar. Kecurigaan membuncah, membuat EAN, ibu penyintas, menanyakan penyebab rasa sakit pada kemaluan itu. Dia tetap kelu tidak mengaku. Setelah didesak, anak pendiam itu mulai mengangkat suara. Dengan terbata-bata, dia mengaku telah menjadi korban nafsu bejat pelaku.

Sang nenek korban mengamini apa yang dialami cucunya. Nada marah terlontar, diiringi dengan mata yang menyala. "Benar, cucu saya diperkosa," kata nenek bernama Dewi, dengan suara lamat-lamat dan terbata-bata. Dia terkejut. Tidak pernah terbersit bahwa peristiwa itu menghampiri cucunya.

Kini, AE terpukul. Terngiang peristiwa keji tersebut di benaknya. Bagai luka yang menganga, sulit untuk diobati. Namun, ini bukanlah luka yang tampak. Ini adalah luka yang tergores jauh di lubuk hati, dan menghantam psikologis AE. Tak pelak, penyintas mengucilkan diri. Bersama sang bunda yang selalu menemani, dia mengasingkan diri ke tempat yang terpencil.

Kemana? Sang nenek pun mengangkat bahu. Dia tidak tahu. "Saat ini cucu saya sama ibunya tidak ada di rumah," katanya. Hingga kini, Dewi belum mengetahui kejadian sesungguhnya. Namun, hukum harus berbicara. Dia akan menyiapkan pengacara untuk membawa kasus tersebut ke meja hijau. Ingin mengempaskan pelaku ke jurang pembalasan, di sebuah tempat bernama penjara.

Menurut sang nenek, AE merupakan pribadi tertutup terhadap kaum Adam. Tidak pernah ada pria yang datang ke rumah, baik untuk mampir maupun bertegur sapa. Meski kerap pulang sore, kegiatan AE masih bisa dibilang seperti layaknya anak sekolah: menjalani ekstrakurikuler atau les.

Sekolah dinilai lengah. Ya, hal itu dikatakan Kepala Dinas Pendidikan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Taufik Yudi Mulyanto, yang tengah melakukan penyelidikan atas kasus tersebut. Sekolah lalai melakukan pengawasan hingga terjadi pemerkosaan di sebuah ruang yang harusnya menjadi contoh dan kawah candra dimuka bagi para generasi yang mengenyam pendidikan: ruang kelas.

Apakah hanya pengawasan yang dilakukan? Menurut saya, pengawasan hanya sebuah alasan yang berada di atas permukaan. Pengawasan hanya memberikan stimulus yang mungkin tidak akan mengubah sebuah persepsi nan fundamental. Lalu, apakah yang harus dilakukan? Jika diibaratkan sebuah sungai, maka cegah lah dari hulunya. Bukan hanya sebatas memperketat pengawasan.

Bisa dikatakan, salah satu hulu dari masalah ini adalah sosialisasi pendidikan seks yang kebablasan. Hal ini didapat dari derasnya arus teknologi. Alhasil, konten-konten pornografi tak terbendung. Dan, ini pun bisa diakses oleh anak remaja yang notabene masih belum bisa membedakan baik dan buruk. Dari pornografi, tercetuslah sebuah insipirasi untuk menunaikan adegan di dalamnya.

Adegan memerlukan pemeran. Suka atau tidak, remaja yang sudah kerasukan setan seks, akan mencari lawan mainnya. Baik dengan ajakan maupun dengan paksaan. Dalam kasus AE, paksaan adalah sebuah kata yang tepat. Dengan paksaan, pastinya ada orang yang tersakiti. Resistensi, namun tak kuasa apabila di bawah ancaman. Mau tidak mau, meski menahan perih dan malu, adegan itu pun berlangsung. Pemerkosaan terjadi.

Dunia memang mengalami deras informasi. Baik yang positif maupun negatif. Konten-konten seksual terus menjamah internet. Apakah bisa difiltrasi? Hingga kini, belum ada perangkat lunak yang bisa menjaring konten-konten tersebut. Pasalnya, sistem itu bagaikan sebuah dinding, tak luput dari celah. Alhasil, konten-konten tersebut bisa diakses, meski perangkap telah ditebar di setiap sudut dunia maya.

Apalagi, kini akses tersebut berada dalam genggaman. Gadget dalam bentuk ponsel dan tablet. Keduanya menjadi media yang tersembunyi untuk menyambangi situs pornografi. Layanan internet yang disediakan operator pun tak sampai merogoh kocek dalam-dalam. Terlebih untuk ukuran siswa. Untuk itu, kembali ke hulu. Pemerintah menjadi kunci yang bisa berperan menjaring konten itu di tingkap operator.

Dan, tentunya, kembali ke diri kita masing-masing. Perbuatan yang paling keji, adalah perbuatan yang merugikan orang hingga merusak masa depan yang bersangkutan. Sebab, luka yang menganga tidak hanya sampai fisik, tapi juga bisa berpengaruh secara psikis.

Kasus ini terus bergulir hingga kini. Pelaku bakal diburu. Tak lama lagi, dia akan merasakan dinginnya lantai penjara. Hukum sudah menanti. Hal itu disampaikan Kepala Disdik Pemprov DKI Jakarta, Taufik Yudi Mulyanto. Polisi sudah beranjak dari kursi, mulai memburu pelaku. Pasalnya, kata Taufik, kenakalan remaja seperti pencabulan sudah melanggar hukum.

Namun, hingga kini, pelaku masih duduk di bangku SMPN 4 Jakarta. Belum ada instruksi 'dikeluarkan' hingga dirinya terbukti bersalah. Tapi, jika benar pelaku melakukan hal itu, sekolah akan menendangnya dari SMPN 4. Satu lagi remaja menjadi penyintas pemerkosaan, dengan masa depan yang dirusak. Satu lainnya remaja yang dicap pemerkosa, menanti keadilan dari negara dan mungkin dari masyarakat. Hanya karena satu hal: syahwat

No comments: