Wednesday, March 5, 2008

Masih Teringat Dia

Musik itu merajam telingaku. Meski pelan, tapi cukup membuat adrenalin terpacu. Kuambil sebatang rokok Filter. Tinggal dua batang, padahal baru sejam lalu aku membeli sebungkus. Kunyalakan racun paru-paru itu. Ssshhh... Kuhisap dalam-dalam. Bagiku, rokok adalah obat mujarab untuk menghilangkan kegalauan hati. Namun bayang-bayang sang peri tak berhenti menghantui.

Sekejap, seketika, dia muncul. Lalu, menghilang lagi. Oh. Rebahlah wahai tubuh nan berlemak ini. Jatuh ke kasur, dan terhempas. Nikmat rasanya. Kulihat langit-langit rumah. Mencoba membayangkan, apa yang dilakukan sang peri nun di sana. Sialan. Jadi malah ruwet otakku. Kangen justru semakin melempari diriku dengan senyum manis dan kelembutan hatinya.

Mata ini kian terasa sempit tanpa raut bibirmu. Hati menjadi sesak kala kumengingatmu. Ah... Persetan. Hidup musti tetap berjalan. Angin harus senantiasa berembus. Matahari pun juga mesti bersinar, walau awan mencoba menghalangi. Superman pula tetap terbang, meski sudah berulang kali dihadang Batman. Robin pun kesal karena Batman kok bisa terbang. Namun Batman cuek bebek.

Kutegapkan badan. Meski sudah terkontaminasi asap cigarette, kutetap mencoba membentuk bidang pada dada ini. Teriak lantang seraya kuacungkan tangan. Mencoba meninju angin. Hilanglah segala resah di jiwa. Tapakku berderap, mantapkan langkah pasti. Berjalan melalui pintu rumah yang sudah reyot termakan usia.

Stop, kataku saat melihat metro mini melintas. Enaknya duduk dimana ya? Lalu, kumelihat seorang gadis usia remaja duduk sendiri. Duduk disitu saja, ucap hatiku mantap. Waktu kulalui tanpa berbicara dengan sang gadis. Hanya memandangi alam Ibu Kota. Padahal, hasrat hati ingin sekali berkenalan dengannya. Minimal menjabat tangan, maksimal dapat nomor telepon.

Penantian itu tak kunjung tiba. Tangan pun tak bersambut. Si gayung ikut ingin menyambut. Tapi nihil. Tiba-tiba, sang dara puspita beranjak dari tempat duduknya. Lho, belum kenalan. Lalu, dia tersenyum dan berkata, permisi. Hanya satu kata itu membuka dan mengakhiri penantianku. Walah... Aku tidak ingin membuka pintu asmara. Tapi aku hanya ingin teman ngobrol. Kok susah ya?

Si gadis pergi. Praktis, bangku sebelahku kosong. Kucoba menerka, siapa ya yang nantinya duduk di sini? Angin harapan berembus. Dewi Cinta nyaris tersenyum. Panahnya sudah siap dilepaskan. Ya, kumelihat seorang wanita berbalut pakaian kantoran. Wajah putih penuh permak di sana sini. Tetap saja raut manisnya terlihat. Tubuh semampai. Bahkan dewa pun akan berpaling padanya.

Aduh... Aku bergeser sedikit. Berharap si semampai itu duduk di sebelahku. Asik... Dia tersenyum padaku. Oh Tuhan, kali ini pasti berhasil. Namun sialnya, dia ternyata memilih untuk duduk di belakangku. Entah kenapa. Kucoba menerka alasannya. Apa mungkin tampangku yang buat dia ogah? Salahku memang. Sempat terlihat gurat penuh nafsu di wajahku saat menyambut si kantoran itu.

Taik banget, caciku kepada si Rendy. Oh, dewi cinta beri aku kesempatan kedua. Karena dinanti penuh nafsu, maka si kesempatan itu tak kunjung datang. Tak lama berselang, seorang pria berbadan tegap dan lemak di tubuh naik. Kucoba acuh padanya. Semoga si gendut itu tidak menghampiriku. Bahkan untuk melihatnya saja aku ogah, urung, no way.

Yaaahhh... Badan penuh kalori itu menyambangiku. Dan, dia tersenyum ramah. Aku nyengir kesal campur kecut. Brukk.. dia duduk dan kursi oleng. Metro mini gonjang ganjing. Bayu berhenti bertiup. Dunia terasa sempit. Ingin dapat rusa, malah kena batu raksasa. Aku susah bergerak. Bahkan untuk mengambil ponsel yang berbunyi saja tidak mampu. Nasib, o, nasib.

No comments: