Tuesday, September 27, 2011

Prajnaparamita | Sebuah Prolog

Banyak hal yang dilalui setiap insan di dunia, baik ataupun buruk. Hal tersebut muncul ke permukaan dalam bentuk pengalaman. Ya, seperti banyak orang berkata, pengalaman adalah guru paling baik. Entah siapa yang memulai wejangan itu. Namun, kata-kata itu bak telah mendarah-daging di dalam raga insan yang dibelai mesra angin kesepian dan kesunyian malam.

Ragam hikmah dipetik, bagai seorang petani menuai padi yang menguning. Hal yang ditanam sejak benih, lalu menguning. Sempat pula dedaunan ditiup bayu, hingga lunglai. Hanya kesendirian yang membuatnya bertahan, kendati diterpa badai. Apa yang didapat? Hanya sisa-sisa perjuangan, buah dari kesabaran dan nestapa. Satu, mereka melarungkan bahtera berisi cita-cita.

Ketika pengalaman terus mendera, setiap kejadian berlalu, aku berusaha tetap berdiri tegak. Tiada goyah kendati layar diterjang badai gelombang, dan kuterbaring lunglai. Terombang-ambing memang, tapi itulah esensi dari kehidupan. Masalah membuat manusia menjadi manusia. Harapan memicu cita-cita manusia hingga gemilang ketika mencapai tujuan.

Ini adalah ceritaku. Aku dan pengalamanku. Aku dan cintaku yang mengingatkanku tentang arti hidup. Cinta yang terombang-ambing dalam ombak nestapa. Kini, cinta itu menghilang dari dirinya, hanya tersisa kenangan dan nostalgia semata. Kini, hunian di hati pun telah meninggalkan ruang kosong, sirna. Ruang yang dulu sempat tertata, saat ini hancur berkeping-keping.

Puisi membuatku kian merasa sunyi. Lagu sendu hanya memantik kerinduan yang mendalam. Aku dalam dekapan sang Smara, dan sekarang sang dewa cinta telah kembali ke peraduan di taman indraloka. Letih atas apa yang aku alami, mencoba untuk kembali merangkai kata yang telah buyar oleh suara bising. Sang dewa asmara kini lelap dalam alunan cinta Dewi Ratih.

Sejak itu, hati ini selalu bersuara. Tapi ketika hendak melontarkan kata, sang logika membantah. Ya, terkadang cinta membuat hati dan logika selalu berperang. Keduanya menabuh gendering perselisihan, tak gentar meski pendapat selalu terlontar. Apapun itu, aku masih gamang. Inikah cinta? Atau hanyalah sekadar rencana Tuhan untuk membuatku mengerti arti hidup?

Hingga saat inipun, warna hidupku masih didominasi jingga. Jingganya sebuah senja, ketika mentari hendak lelap dan malam menjelang dating. Senja ketika wangi bunga surgawi menyeruak di seantero buana. Senja saat para manusia berkumpul melepas lelah, dan merajut asa. Hari ini, beberapa waktu silam, di taman itu, aku dan kamu menatap senja.

Kisah ini kutujukan untuk satu nama yang terus memberikan asa bagiku untuk menulis, menulis dan menulis. Aku merajut benang dari kisahku dan dirinya dalam satu cerita. Mungkin tak akan dikenang, namun cukup bagiku melekatinya di dalam sanubari. Kisah yang kusimpan rapi serta indah di dalam sebuah peti berwarna emas, gilang gemilang, namun muram.

(ras/28092011)

No comments: