Suara jiwa. Begitulah aku memanggilnya. Terkadang suara itu
muncul dan mencuat ke permukaan otak, seraya berteriak lantang. Bukan suara
yang kasat telinga, tapi ungkapan yang hanya bisa didengar oleh hatiku dan Sang
Pencipta. Suara seperti ini yang terus menghantui jagaku maupun tidurku, hingga
kemudian tak ada lelap bagiku.
Jiwaku terus menggugat terhadap keadaan. Ya keadaan atau
suasana, sebuah benda yang abstrak dan tak terlihat, namun cukup membuat
manusia terbuai dengan alam sekitar serta elemen pendukung lainnya. Seperti,
kicau burung, wangi rumput dan tanah yang membasah, semilir angin penuai rindu serta
rintik hujan nan sarat kesejukan.
Suasana itu mempertemukan aku dengan dirinya. Ketika kali
pertama aku mengajaknya beranjak dari tempat berteduh dan singgah ke tempat
yang jauh. Suasana itu begitu indah. Aku masih bisa merasakan udara yang dulu
melingkupiku, suara ombak yang terdengar sayup-sayup menyela obrolan antara aku
dan dirinya. Indah memang.
Dan, suasana pula yang membuat kedekatan itu memiliki sekat.
Lebih tebal daripada sekat kaca yang biasa memisahkan kita di ruangan tanpa
suara. Berawal ketika malam itu, aku memutar arah. Suasana menggiringku untuk
berkata “cinta.” Malam dan pikiran yang menghantui, memproyeksikan kondisi
ketika aku kehilangan dirimu. Semua berawal dari jika.
Apakah itu adalah kebetulan? Aku tidak percaya dengan
kebetulan. Takdir sudah dituliskan oleh Sang Penguasa Semesta, dengan tinta
yang tak kuasa dihapus. Kecuali oleh diri-Nya. Namun, tinta itulah yang
menuntun manusia ke jalan yang seharusnya. Tak ada yang salah pula dengan
cinta. Ketika cinta itu datang, tanpa kita bisa memilih siapa sang pujaan hati.
Dalam sebuah buku tentang cinta, Yudhistira ANM Massardi
pernah bercerita tentang sosok Palgunadi, seorang wartawan yang memiliki hasrat
mendalam terhadap wanita. Kala pada suatu ketika, seorang wanita mencuri hati
sang kuli tinta. Tak kuasa mengelak, Palgunadi dihantui lonceng yang
berdentang, iramanya pelan namun cukup membuat bising hati.
Alam menciptakan suasana yang tepat bagi orang yang tengah
dilanda cinta dan dipeluk Sang Smara. Digambarkan dalam buku itu, suasana
diciptakan oleh panorama serta pesona Bali yang karib dikenal sebagai Pulau
Dewata. Bukan hanya menjadi tempat bermukim para dewa, namun keindahan alamnya
yang konon hanya ada di negeri para dewa.
Lain Palgunadi, lain pula diriku. Aku mengalami hal serupa.
Saat suasana menusukkan cinta ke jantungku, ketika itu seorang wanita mencuri
perhatianku. Lalu, aku pun terombang ambing. Bergerak kesana kemari, bagaikan
nyiur yang melambai kepada para nelayan nan hendak melaut. Suasana yang memicu
hadirnya Dewa Cinta.
Tapi, ketika kata cinta terlontar. Seluruhnya berubah.
Suasana itu sirna sudah, tak ada lagi semesta yang mendukung insan bercinta
ini. Aku bagaikan sendiri di tengah keramaian. Hanya suara hati yang menjerit
dan rentetan nasib yang hanya bisa kusesali. Dimanakah suasana itu? Pergikah
mencari para pencinta lainnya, sedangkan pencinta ini sesal sendiri?
Berulang kali, aku kirimkan surat untuk Tuhan. Melalui
doa-doa yang aku harapkan diijabah oleh-Nya. Namun, seperti aku ketahui cinta
Tuhan absurd, tidak berbentuk. Tak ada yang tahu kapan Tuhan memberikan jawaban
dari doa-doa yang dihaturkan. Tapi, aku meyakini kabulan doa itu akan datang
pada saat yang tepat. Titi kolo mongso...
Di suatu senja di bilangan Kemanggisan, Jakarta Barat, ketika aku bersantap sore bersama dia dan
temannya. Suasana itu menyedihkan. Betapa tidak, dua manusia yang dulu pernah
berdekatan dan bisa berbicara dari hati ke hati, kini hanya berdiam diri. Hanya
keluar sepatah dua patah kata. Saat itu, kepalsuan merajai jiwa-jiwa ini, dan
kejujuran tertutup kabut pekat sore hari.
“Apa yang terjadi nona? Dimanakah kedekatan yang dahulu
pernah menggandeng kita dengan tangan-tangannya yang manja? Kemanakah Sang
Smara yang pernah memeluk kita dengan sayap-sayapnya nan putih, seraya
mendengarkan alunan nada darinya menyenandungkan elegi kerinduan dan
syair-syair merdu, gubahan penyair kehidupan?”
Kini, aku hanya bisa menatap dia. Begitu dekat raga ini,
namun jiwaku dan dirinya terlampau jauh. Aku dipisahkan jurang yang sangat
dalam. Bahkan, tanganku tak sanggup menggapai tepi jurang itu. Dan, sampai saat
ini, jurang itu semakin lebar dan jauh. Betapa aku merindukan sosok di seberang
sana. Namun, jembatan yang kugubah senantiasa musnah, tak sampai ke sana.
Aku melihat senyumnya. Sebuah senyum yang membuat aku
berpikir. Aku menatap sedihmu. Sebuah kesedihan yang membuat aku
bertanya-tanya. Apa gerangan yang dipikirkan olehnya? Ada aku di antara mereka?
Ataukah aku hanyalah sekelumit bayangan yang mudah dihapus hanya dengan
mengibaskan telapak tangan?
Tanya. Selalu tanya yang hinggap di jiwa. Tak ada bentuk
jawaban. Enggan aku bertanya kepadanya, ketika aku melihat rona kehidupan yang
tengah dipikirkannya. Sebuah kisah yang mungkin hendak dicari penyambungnya.
Hingga kini, dia masih terus mencari potongan puzzle tersebut. Sampai potongan
itu sempurna, tak ada tanya yang hinggap di jiwa.
“Senyum itu mengandung
berjuta makna. Sempat aku tersenyum padamu, namun kau membalasnya dengan
canggung. Pun demikian, ketika kau menyunggingkan senyum, aku membalasnya
dengan sebuah reaksi yang tak biasa. Benar-benar ada penghalang. Sebuah dinding
yang tebal, tak kasat mata, tapi cukup untuk menciptakan segala nestapa.”
Aku tak sanggup menoleh ke arahnya. Takut, dan gentar atas
reaksi yang akan ditimbulkan olehnya. Enggan diriku menatap senyum itu. Apakah
semua harus berakhir seperti ini? Ketika sebuah ruang yang dulu terbentang
luas, kini hanya sempit yang kurasa. Tak kuasa dan tiada bebas aku bergerak.
Hati inipun memiliki belenggu untuk berekspresi.
Ya, ekspresi yang mati. Sedih ditutupi dengan senyum manis.
Bila rasa cinta itu memuncak, hanya diam yang aku rautkan dalam mimik wajah.
Sisanya, banyak diam di antara aku dan dia. Beberapa kali, aku berusaha
memandangnya. Tapi, tidak seperti dulu. Dahulu, aku memandang matanya begitu
dalam, sehingga aku bisa merasakan suasana di baliknya.
Tatapan yang dalam kini hanya ada dalam mimpi. Beberapa kali
aku memimpikan pribadinya. Ketika terbangun, aku terdiam sejenak. Terhenyak
memang, memikirkan betapa Tuhan masih memberikan harapan itu, meski di dalam
mimpi. Dalam diam, aku mengawang. Pikiran menerawang kembali ke suasana yang
dulu pernah hadir di antara kita.
Seorang teman pernah berkata, mimpi adalah suatu bentuk rasa
dari pribadi sang pemimpi. Objek dalam mimpi bisa jadi hal yang paling
ditakutkan maupun hal yang paling diinginkan. Tapi, mimpi itu begitu nyata.
Ketika aku bisa menatap dalam kedua bola matanya. Tak ada lagi pelangi yang
tertutup kabut pekat. Semuanya terlihat jelas.
Kala itu, aku berkata lirih kepadanya. “Wahai nona, dulu tidak seperti ini. Apa yang terjadi? Apakah bulan
sudah tertutup awan sehingga tak ada tempat bagi bintang untuk terus bersinar
terang? Apakah bumi sudah menenggelamkan diriku, sehingga aku tidak bisa lagi
mendengar tawamu, bicaramu, dan melihat wajah sendumu?” ucapku kepadanya.
Sang wanita berkata dengan tenang. “Cintamu terlalu dini terlontar, dan keyakinanmu kepadaku tidak
berdasar. Apakah cinta berarti tanpa pengorbanan? Apakah kerinduan akan terus
tumbuh tanpa penantian? Takdir Tuhan berkata bahwa waktumu bukan sekarang,
bukan pula waktuku kini. Kini, kesendirian tengah memelukku dengan tangannya
yang indah.”
Lalu, segenap rasa sesal menghujam diriku. Betapa agresifnya
diriku. Betapa naifnya aku menyalahkan suasana atas apa yang terjadi kepada aku
dan dirinya. Padahal, tak ada yang salah dengan suasana apabila manusia
meyakini apa yang dilakukannya. Bukan dengan mengandalkan suasana, tapi juga
hati yang akan membawa dirinya menuju kepada kebenaran sejati.
Kini, aku mengetahui kisah dibalik diamnya. Bukan hanya
sekadar suasana, tapi hati yang kini mulai tumbuh menjadi tunas-tunas muda. Aku
kini harus bersabar untuk itu. Hati yang suci tidak mudah untuk disentuh.
Sebab, hati yang suci bagaikan inti bawang yang dilindungi ribuan lapisan.
Hanya dia yang beruntung bisa menyentuh inti tersebut. Bukan andalkan suasana.
Berlalu tak berujung memadu
Dalam arti hidupku
Tanpa kesan mendalam
Tanpa ragam
Kuingin berganti dalam nyata
Hanya yang semestinya
Terjalin dan tercipta
Dalam jiwa
(Suasana, Fariz RM, 1980)
No comments:
Post a Comment