Monday, April 30, 2012

Suasana

“Dimanakah engkau wahai suasana? Ketika itu engkau membuaiku dalam suatu kedekatan yang hingga kini masih terngiang di selasar otakku. Namun, hingga kiwari, kau meninggalkanku, mencampakkanku bagaikan tulang ikan yang berserakan. Kau jua yang membuat diriku jauh darinya. Tak ada lagi kedekatan seperti dahulu.”

Suara jiwa. Begitulah aku memanggilnya. Terkadang suara itu muncul dan mencuat ke permukaan otak, seraya berteriak lantang. Bukan suara yang kasat telinga, tapi ungkapan yang hanya bisa didengar oleh hatiku dan Sang Pencipta. Suara seperti ini yang terus menghantui jagaku maupun tidurku, hingga kemudian tak ada lelap bagiku.

Jiwaku terus menggugat terhadap keadaan. Ya keadaan atau suasana, sebuah benda yang abstrak dan tak terlihat, namun cukup membuat manusia terbuai dengan alam sekitar serta elemen pendukung lainnya. Seperti, kicau burung, wangi rumput dan tanah yang membasah, semilir angin penuai rindu serta rintik hujan nan sarat kesejukan.

Suasana itu mempertemukan aku dengan dirinya. Ketika kali pertama aku mengajaknya beranjak dari tempat berteduh dan singgah ke tempat yang jauh. Suasana itu begitu indah. Aku masih bisa merasakan udara yang dulu melingkupiku, suara ombak yang terdengar sayup-sayup menyela obrolan antara aku dan dirinya. Indah memang.

Dan, suasana pula yang membuat kedekatan itu memiliki sekat. Lebih tebal daripada sekat kaca yang biasa memisahkan kita di ruangan tanpa suara. Berawal ketika malam itu, aku memutar arah. Suasana menggiringku untuk berkata “cinta.” Malam dan pikiran yang menghantui, memproyeksikan kondisi ketika aku kehilangan dirimu. Semua berawal dari jika.

Apakah itu adalah kebetulan? Aku tidak percaya dengan kebetulan. Takdir sudah dituliskan oleh Sang Penguasa Semesta, dengan tinta yang tak kuasa dihapus. Kecuali oleh diri-Nya. Namun, tinta itulah yang menuntun manusia ke jalan yang seharusnya. Tak ada yang salah pula dengan cinta. Ketika cinta itu datang, tanpa kita bisa memilih siapa sang pujaan hati.

Dalam sebuah buku tentang cinta, Yudhistira ANM Massardi pernah bercerita tentang sosok Palgunadi, seorang wartawan yang memiliki hasrat mendalam terhadap wanita. Kala pada suatu ketika, seorang wanita mencuri hati sang kuli tinta. Tak kuasa mengelak, Palgunadi dihantui lonceng yang berdentang, iramanya pelan namun cukup membuat bising hati.

Alam menciptakan suasana yang tepat bagi orang yang tengah dilanda cinta dan dipeluk Sang Smara. Digambarkan dalam buku itu, suasana diciptakan oleh panorama serta pesona Bali yang karib dikenal sebagai Pulau Dewata. Bukan hanya menjadi tempat bermukim para dewa, namun keindahan alamnya yang konon hanya ada di negeri para dewa.

Lain Palgunadi, lain pula diriku. Aku mengalami hal serupa. Saat suasana menusukkan cinta ke jantungku, ketika itu seorang wanita mencuri perhatianku. Lalu, aku pun terombang ambing. Bergerak kesana kemari, bagaikan nyiur yang melambai kepada para nelayan nan hendak melaut. Suasana yang memicu hadirnya Dewa Cinta.

Tapi, ketika kata cinta terlontar. Seluruhnya berubah. Suasana itu sirna sudah, tak ada lagi semesta yang mendukung insan bercinta ini. Aku bagaikan sendiri di tengah keramaian. Hanya suara hati yang menjerit dan rentetan nasib yang hanya bisa kusesali. Dimanakah suasana itu? Pergikah mencari para pencinta lainnya, sedangkan pencinta ini sesal sendiri?

Berulang kali, aku kirimkan surat untuk Tuhan. Melalui doa-doa yang aku harapkan diijabah oleh-Nya. Namun, seperti aku ketahui cinta Tuhan absurd, tidak berbentuk. Tak ada yang tahu kapan Tuhan memberikan jawaban dari doa-doa yang dihaturkan. Tapi, aku meyakini kabulan doa itu akan datang pada saat yang tepat. Titi kolo mongso...

Di suatu senja di bilangan Kemanggisan, Jakarta Barat, ketika aku bersantap sore bersama dia dan temannya. Suasana itu menyedihkan. Betapa tidak, dua manusia yang dulu pernah berdekatan dan bisa berbicara dari hati ke hati, kini hanya berdiam diri. Hanya keluar sepatah dua patah kata. Saat itu, kepalsuan merajai jiwa-jiwa ini, dan kejujuran tertutup kabut pekat sore hari.

“Apa yang  terjadi nona? Dimanakah kedekatan yang dahulu pernah menggandeng kita dengan tangan-tangannya yang manja? Kemanakah Sang Smara yang pernah memeluk kita dengan sayap-sayapnya nan putih, seraya mendengarkan alunan nada darinya menyenandungkan elegi kerinduan dan syair-syair merdu, gubahan penyair kehidupan?”

Kini, aku hanya bisa menatap dia. Begitu dekat raga ini, namun jiwaku dan dirinya terlampau jauh. Aku dipisahkan jurang yang sangat dalam. Bahkan, tanganku tak sanggup menggapai tepi jurang itu. Dan, sampai saat ini, jurang itu semakin lebar dan jauh. Betapa aku merindukan sosok di seberang sana. Namun, jembatan yang kugubah senantiasa musnah, tak sampai ke sana.

Aku melihat senyumnya. Sebuah senyum yang membuat aku berpikir. Aku menatap sedihmu. Sebuah kesedihan yang membuat aku bertanya-tanya. Apa gerangan yang dipikirkan olehnya? Ada aku di antara mereka? Ataukah aku hanyalah sekelumit bayangan yang mudah dihapus hanya dengan mengibaskan telapak tangan?

Tanya. Selalu tanya yang hinggap di jiwa. Tak ada bentuk jawaban. Enggan aku bertanya kepadanya, ketika aku melihat rona kehidupan yang tengah dipikirkannya. Sebuah kisah yang mungkin hendak dicari penyambungnya. Hingga kini, dia masih terus mencari potongan puzzle tersebut. Sampai potongan itu sempurna, tak ada tanya yang hinggap di jiwa.

“Senyum itu mengandung berjuta makna. Sempat aku tersenyum padamu, namun kau membalasnya dengan canggung. Pun demikian, ketika kau menyunggingkan senyum, aku membalasnya dengan sebuah reaksi yang tak biasa. Benar-benar ada penghalang. Sebuah dinding yang tebal, tak kasat mata, tapi cukup untuk menciptakan segala nestapa.”

Aku tak sanggup menoleh ke arahnya. Takut, dan gentar atas reaksi yang akan ditimbulkan olehnya. Enggan diriku menatap senyum itu. Apakah semua harus berakhir seperti ini? Ketika sebuah ruang yang dulu terbentang luas, kini hanya sempit yang kurasa. Tak kuasa dan tiada bebas aku bergerak. Hati inipun memiliki belenggu untuk berekspresi.

Ya, ekspresi yang mati. Sedih ditutupi dengan senyum manis. Bila rasa cinta itu memuncak, hanya diam yang aku rautkan dalam mimik wajah. Sisanya, banyak diam di antara aku dan dia. Beberapa kali, aku berusaha memandangnya. Tapi, tidak seperti dulu. Dahulu, aku memandang matanya begitu dalam, sehingga aku bisa merasakan suasana di baliknya.

Tatapan yang dalam kini hanya ada dalam mimpi. Beberapa kali aku memimpikan pribadinya. Ketika terbangun, aku terdiam sejenak. Terhenyak memang, memikirkan betapa Tuhan masih memberikan harapan itu, meski di dalam mimpi. Dalam diam, aku mengawang. Pikiran menerawang kembali ke suasana yang dulu pernah hadir di antara kita.

Seorang teman pernah berkata, mimpi adalah suatu bentuk rasa dari pribadi sang pemimpi. Objek dalam mimpi bisa jadi hal yang paling ditakutkan maupun hal yang paling diinginkan. Tapi, mimpi itu begitu nyata. Ketika aku bisa menatap dalam kedua bola matanya. Tak ada lagi pelangi yang tertutup kabut pekat. Semuanya terlihat jelas.

Kala itu, aku berkata lirih kepadanya. “Wahai nona, dulu tidak seperti ini. Apa yang terjadi? Apakah bulan sudah tertutup awan sehingga tak ada tempat bagi bintang untuk terus bersinar terang? Apakah bumi sudah menenggelamkan diriku, sehingga aku tidak bisa lagi mendengar tawamu, bicaramu, dan melihat wajah sendumu?” ucapku kepadanya.

Sang wanita berkata dengan tenang. “Cintamu terlalu dini terlontar, dan keyakinanmu kepadaku tidak berdasar. Apakah cinta berarti tanpa pengorbanan? Apakah kerinduan akan terus tumbuh tanpa penantian? Takdir Tuhan berkata bahwa waktumu bukan sekarang, bukan pula waktuku kini. Kini, kesendirian tengah memelukku dengan tangannya yang indah.”

Lalu, segenap rasa sesal menghujam diriku. Betapa agresifnya diriku. Betapa naifnya aku menyalahkan suasana atas apa yang terjadi kepada aku dan dirinya. Padahal, tak ada yang salah dengan suasana apabila manusia meyakini apa yang dilakukannya. Bukan dengan mengandalkan suasana, tapi juga hati yang akan membawa dirinya menuju kepada kebenaran sejati.

Kini, aku mengetahui kisah dibalik diamnya. Bukan hanya sekadar suasana, tapi hati yang kini mulai tumbuh menjadi tunas-tunas muda. Aku kini harus bersabar untuk itu. Hati yang suci tidak mudah untuk disentuh. Sebab, hati yang suci bagaikan inti bawang yang dilindungi ribuan lapisan. Hanya dia yang beruntung bisa menyentuh inti tersebut. Bukan andalkan suasana.

Berlalu tak berujung memadu
Dalam arti hidupku
Tanpa kesan mendalam
Tanpa ragam

Kuingin berganti dalam nyata
Hanya yang semestinya
Terjalin dan tercipta
Dalam jiwa

(Suasana, Fariz RM, 1980)

No comments: