Terdiam, aku menatap tempat itu. Sebuah monumen berdiri
tegak. Inilah tonggak perjuangan bangsa ini. Pucuk berhiaskan emas kian membuat
hawa bangga ini kian merinding, raga pun tak bergeming, mengingat perjuangan
dahsyat hingga darah mereka mengering. Ya, masa silam ketika bangsa ini masih
merintis sebuah pengakuan dan mencari arti kemerdekaan.
Lapangan dengan sentral sebuah monumen itu menghadap ke
empat penjuru mata angin: Utara, Timur, Selatan dan Barat. Keempatnya bertemu
dan bertegur sapa di lokasi yang menjadi titik nol Ibu Kota itu. Mereka mengadu
seraya memberikan aspirasi atas apa yang terjadi di alam. Melaporkan seluruh kejadian
yang berkaitan dengan semesta raya Ibu Kota.
Empat mata angin itu mengadakan rapat. Mungkin rapat yang
sama ketika dulu bangsa ini merayakan kemerdekaan. Ribuan massa menggalang
semangat di lapangan itu. Berkumpul untuk mendengarkan pidato akbar dari sang
pemimpin negara. Dengan jiwa membara, dan merdeka, mereka menggulungkan
nestapa, menanggalkan baju pribadi dan menjadi satu.
Sayup-sayup, aku merasakan genta yang sempat berbunyi dahulu
kala. Masih terasa, bagaimana teriakan mereka memecah langit yang tengah
senyap. Bagaimana aksi mereka yang membuat para penjajah ketar-ketir, dan mulai
berpikir bahwa negara ini bukanlah negara yang pantas untuk dijadikan bahan
jajahan dan objek penyiksaan. Negara ini adalah negara merdeka.
Monumen Nasional di Jakarta Pusat, atau Monas biasa orang menyebutnya.
Senja menjadi elemen yang sangat menawan ketika dihabiskan di tempat ini.
Percayalah, bukan hanya hawa yang hangat, namun pula suasana aktivitas warga
Jakarta yang menuai aura kebersamaan. Di sana, warga Jakarta bersatu padu
menikmati sore hari, seraya merangkum damai dan melepas penat.
Aku adalah salah satu dari mereka. Buaian senja menerapa,
mengalunkan musik yang sanggup menuai damai. Ketika aku duduk di sebuah bangku
taman, ada satu hal yang memancing perhatianku. Bukanlah wanita molek, bukan
pula rombongan tanjidor, bukan juga komunitas-komunitas yang acapkali ikut
menuai bising di lapangan Monas.
Seorang wanita paruh baya berjalan gontai. Dia tidak lemah,
dan bukan seorang pesakitan. Raganya sehat, namun di dalam jiwanya, aku
merasakan wanita itu tengah mencari kedamaian, berupaya menghilangkan kepenatan
dengan menyambangi Monas. Dia sendiri. Tiada yang menemani. Sesekali, wanita
itu beradu pandang dengan puncak monas, dan mentari jingga.
“Wajahnya cantik, meski
raut menua sudah menghiasi wajahnya. Cadar berwarna hijau melekat menutupi
rambut, yang sepertinya telah memutih dimakan usia. Tapi, wanita itu tampak
sulit untuk tersenyum. Berulang kali, aku melihat tak ada sunggingan senyum di
wajahnya. Muram, seperti seorang manusia yang memiliki puspa ragam problema.”
Hanya dugaan dan sinyalemen, manusia tak akan pernah
mengetahui tanpa berupaya mengenalnya. Sebuah lapisan yang sangat kasar, bukan
memiliki isi yang terlampau keras. Sebut saja kerang. Mahluk laut ini memiliki
cangkang yang keras, namun dagingnya sangat lembut. Pun demikian dengan wanita
itu. Belum tentu hatinya semuram wajahnya.
Wanita itu duduk di bangku. Letaknya di seberang tugu Monas.
Di sana, dia hanya terdiam. Tampak, dia tengah menikmati alam raya. Hangatnya
suasana senja di Monas. Pandangannya tak
pernah lepas dari Tugu Monas. Berulang kali pula wanita tua itu menghela napas
panjang, menikmati suasana seraya meresapinya dengan segenap jiwa raga.
Aku pun menyapanya. “Sore
ini senantiasa menjadi pelipur lara bagi para manusia. Tak terkecuali, seorang
ibu. Selamat menikmati suasana ini, jangan lelah untuk menghujamkan penat
dengan panah-panah keabadian dari Sang Pencipta. Kelak, penat ini akan menjadi
rutinitas dan akan menghabisi nyawa para manusia. Apa gerangan yang membawa ibu
ke sini?”
Siapa nyana, di balik dingin sikap dan muram wajahnya,
terdapat senyuman yang memiliki kehangatan. Lebih hangat dari pada cahaya
mentari petang itu. Tidak sedingin ruang kutub di dua penjuru bumi. Senyuman
manis itu aku balas. Tentunya dengan senyuman pula. Aku merasakan aura keibuan
dan sahaja di wanita itu, sangatlah sarat dengan kenyamanan.
“Aku datang dengan
setangkup rona kebahagiaan. Bersyukur diri ini dengan apa yang diberikan Tuhan
kepadaku. Sebuah dunia yang memiliki bunga rampai. Anomali yang tidak
mengundang hawa negatif dan nestapa. Aku datang kesini untuk mengucapkan syukur
kepada senja atas cinta yang diberikannya kepadaku, dan segenap rasa cintaku
kepada semesta,” tutur sang ibu.
Ternyata, jauh dari perkiraanku. Tak semua manusia datang
untuk menyajikan penat kepada semesta. Ada pula yang memberikan apresiasi rasa
syukur terhadap segala macam anugerah. Ungkapan sebagai wujud terima kasih,
bukan hanya sekadar pelampiasan dari impitan kehidupan di Ibu Kota. Salah
ketika aku mengatakan bahwa tempat ini untuk membuang jauh penat.
Aku bertanya namanya. Dan, dia menjawab. “Namaku Gaia. Aku sangat mencintai tumbuhan.
Aku memuja mereka. Tapi, bukan seperti aku menyembah Tuhan tentunya. Ada suatu
ikatan yang tak bisa dijelaskan dengan logika antara diriku dan
tumbuh-tumbuhan. Mereka memberiku hidup. Mereka menghaturkan cinta yang
membuatku terbuai kerinduan kepada-Nya.”
Gaia, sebuah nama yang indah. Dalam mitologi Yunani, Gaia adalah Dewi Bumi.
Kalau dalam mitologi India, dia bernama Pertiwi. Alkisah, cinta Gaia sangatlah
besar kepada bumi. Dia adalah ibu dari para dewa yang menguasai Gunung Olympus,
seperti Zeus, Poseidon, Hades, dan lain-lain. Gaia bersuamikan Cronos yang
kelak akan dibunuh oleh anak-anaknya sendiri.
Tapi berbeda nasib dengan Gaia dalam mitologi Yunani
tentunya. Gaia yang aku kenal ini memiliki latar belakang keluarga yang tidak
aku ketahui. Maklum, namanya juga baru kenal. Tapi, di dekatnya, aku merasa
seperti di samping ibuku, atau nenekku.
Dia mengajakku bicara dengan nada bersahabat. Tak pelak, dia pun menanyakan
ragam kisah hidupku.
Singkat cerita, aku mengisahkannya dengan gamblang. Tapi,
tidak seperti saat melamar kerja, ketika seluruh kisah dilontarkan secara
akurat tentunya. Lalu, aku bertanya pula kepadanya. “Ibu adalah seorang yang
bersyukur atas apa yang telah diberikan Yang Kuasa, dan cinta telah membuat ibu
jatmika. Maka, aku ingin bertanya apakah arti sebuah cinta bagi ibu?”
Wanita bersahaja itu pun berkisah:
“Kesunyian membuahkan cinta.
Damai kian merapalkan rasa cinta, dan mahligai asmara. Tapi, tak semua cinta
adalah hubungan antarmanusia. Meski demikian, cinta tak menutup kemungkinan dua
manusia berpadu menuju kesempurnaan. Bagaikan Adam yang tak pelak bisa hidup
tanpa Hawa. Dua manusia menjadi sempurna. Jika salah seorangnya hilang, maka
timpang.”
“Aku adalah orang yang
hidup di duniaku sendiri. Di dalam ruang yang penuh dengan ruas-ruas kehidupan.
Dunia itu kuciptakan sendiri, hingga kini menjadi zona nyaman bagi aku. Inilah
aku, tidak ada yang bisa mengubahnya. Namun, inilah kenikmatannya. Bukan suatu
jurang nestapa yang terjalin dari bulir-bulir air mata dunia dan ibu pertiwi.”
“Acapkali aku tertawa
dengan lelucon yang diberikan temanku. Tawaku yang khas seringkali membahana di
setiap sudut ruangan. Tapi, aku menikmatinya. Aku mencintai tawaku, seperti
asmara seorang seniman terhadap air matanya yang kelak membuahkan inspirasi.
Tawa ini membawaku menikmati kehidupan di tengah penat yang mendera.”
“Makanan vegetarian.
Tak ada yang bisa mengalahkan cintaku kepada jenis makanan ini. Setiap hari aku
menikmatinya, meski orang lain kerap berkata bahwa makanan ini tidak memiliki
rasa, serta tak menyentuh bagian perut yang terdalam. Sekali lagi, inilah
makanan kesukaanku, karena hal ini menyehatkan. Dan, aku pun selalu
menikmatinya.”
“Mengajar, inilah
hasratku sedari dulu. Kini, aku bisa memenuhinya. Betapa tidak, ingin rasanya
diri ini memberikan ilmu pengetahuan yang aku punya kepada mereka yang
membutuhkan. Aku mengutuk dunia pendidikan yang ‘kotor’, selalu berpikir
tentang uang dan uang tanpa memperhatikan para akademisi. Aku enggan seperti
ini.”
“Kini, aku memiliki
sebuah sekolah. Mereka adalah wujud cintaku kepada dunia pendidikan. Anak-anak
kolong langit yang mengais mimpi dari tempat sampah umum dan perempatan lalu
lintas. Aku merangkum mereka agar memiliki ilmu. Bukan ilmu yang spesifik,
namun pengetahuan umum tentang filsafat kehidupan untuk menghadapi gejolak
dunia.”
“Aku menikmati
mengajarkan ilmu kepada mereka. Tanpa donasi, hanya beratapkan kayu tipis dan
peralatan ala kadarnya. Tapi, tidak ada rona kesedihan dan nestapa di raut
wajah anak-anak tersebut. Mereka senang, dan antusias, meski tidak semegah fasilitas di sekolah-sekolah ternama. Bukan
fasilitas yang mereka inginkan, tapi sebuah semangat yang datang dari jiwa.”
“Salah satu cintaku
yang terbesar adalah kepada tumbuhan. Warna hijau, dan wanginya di kala hujan
turun seperti membawaku kembali ke masa silam. Mengingat berbagai kenangan yang
pernah singgah di hati dan jiwaku. Tumbuhan merekam semua kenangan tersebut di
sela-sela daunnya yang berwarna hijau, dan berkembang seiring rotasi roda
zaman.”
“Adalah Wijaya Kusuma
yang menyisakan kenangan manis dalam hidupku. Masih teringat, ketika bunga itu
hendak mekar, keluargaku memberi kabar kepadaku. Waktu itu, malam tengah
menyajikan panorama purnama. Dari segala penjuru, keluarga kami berdatangan.
Namun, hingga kini kami tak pernah melihat proses mekar bunga tersebut.
Misterius memang.”
“Tapi, bunga itu
menjadi saksi bisu jatuh bangunnya keluarga kami. Dari kami merintis hidup,
hingga aku beranjak dewasa. Bunga itu setia mendampingi. Beberapa kali bunga
itu layu. Bahkan, kami menganggapnya telah mati. Namun, berulang kali bunga itu
kembali terjaga dan tumbuh. Ini seperti semangat keluarga kami yang selalu
tegar menghadapi jatuh bangun kehidupan.”
“Kini, Sang Wijaya
Kusuma telah mati. Benar-benar tak terjaga lagi. Kami sekeluarga sedih. Bisa
dibilang, bunga itu mengawal kehidupan keluargaku. Beberapa kali, aku mencari
bunga yang sama seperti itu. Namun, aku tak pernah menemukannya. Hanyalah bunga
yang mirip, namun bukan bunga yang menyimpan sejarah dalam keluargaku.”
“Mereka tahu cintaku
kepada tumbuhan. Aku pun mengerti jenis-jenis tumbuhan. Aku tumbuh kembang
bersama mereka. Ketika bunga hidupku mekar, tunas-tunas baru muncul kembali. Mereka
adalah wujud regenerasi yang tak pernah habis digilas roda zaman. Teman-temanku
bahkan menjuluki ‘si gadis tumbuhan’ karena kepiawaianku di bidang tumbuhan.”
“Cinta terbesarku
adalah kepada Tuhan dan keluargaku. Tuhan memberiku kehidupan yang sangat dinamis,
sedangkan keluarga selalu ada di saat aku terangkum dalam kesedihan maupun
kebahagiaan. Tak ada harta yang bisa menggantikan mereka. Di penghujung hidupku
kelak, hanya ada aku dan mereka. Tak ada seorang pun yang bisa menjadi mereka.”
Obrolan diriku dengan wanita telah membawaku ke tahap baru
semesta. Saat itu, semesta mulai mencekam. Malam menjadikan langit menggelap,
sedangkan mentari entah kemana. Terlampau nikmat berbicara, aku tidak
memperhatikan kemana sang mentari. Tapi, aku meyakini dia tengah berada di sisi
lain bumi. Terlelap dalam tidurnya yang syahdu.
Aku melihat sosok yang sama dengan wanita ini. Seorang
wanita yang telah bersemayam di hatiku. Banyak kesamaan yang kuresapi. Ya,
wanita itu entah kemana. Hilang bagaikan debur ombak yang berangsur-angsur
hilang seiring dengan pergerakan air. Wanita itu bagaikan embun yang dihiasi
kencana, ketika pagi membuatnya menghilang tanpa bekas.
Tanpa sadar kini, aku merindukannya. Teringat pula,
saat-saat bersama dengannya. Ketika bumi merangkum dua hati yang berbeda dan
mengizinkan aku dekat dengannya. Namun, kini jarak menjadi musuhku. Aku dan dia
jauh, meski sempat mengalunkan nada-nada kerinduan. Tapi, kini lamat-lamat
sirna. Inilah cinta, menurutku, kendati hati itu raib sudah.
Hari sudah malam, sang ibu pamit menuju tempat peraduannya
di penghujung Ibu Kota. Sedangkan, aku masih berada di pelataran lapangan
tersebut. Mencoba mengais inspirasi dan ide yang tercecer di rumput dan
tumbuhan Monas. Berdiam diri sejenak, sebelum merebahkan diri di persinggahan.
Terngiang, sosok wanita yang telah lama hilang itu.
Dan, lagu “Mata
Berdebu” dari Sore pun mengalunkan rinduku. “Sabar kumendaki pusara puncak hatimu. Kesan yang terjadi di ladang
lara batinku.”
No comments:
Post a Comment