Monday, April 23, 2012

Wijaya Kusuma

Terang, namun tak menyilaukan. Peluh pun enggan untuk mengaliri tubuh ini. Kendati begitu, napas rada tersengal-sengal ketika aku mendaratkan kaki di lapangan luas itu. Matahari tampak tersenyum menyelimuti bumi yang kian muram, hingga akhirnya gelap kelak merajai seluruh semesta raya. Dan, rindu dendam pun menyibak takbir di dalam jiwa manusia.

Terdiam, aku menatap tempat itu. Sebuah monumen berdiri tegak. Inilah tonggak perjuangan bangsa ini. Pucuk berhiaskan emas kian membuat hawa bangga ini kian merinding, raga pun tak bergeming, mengingat perjuangan dahsyat hingga darah mereka mengering. Ya, masa silam ketika bangsa ini masih merintis sebuah pengakuan dan mencari arti kemerdekaan.

Lapangan dengan sentral sebuah monumen itu menghadap ke empat penjuru mata angin: Utara, Timur, Selatan dan Barat. Keempatnya bertemu dan bertegur sapa di lokasi yang menjadi titik nol Ibu Kota itu. Mereka mengadu seraya memberikan aspirasi atas apa yang terjadi di alam. Melaporkan seluruh kejadian yang berkaitan dengan semesta raya Ibu Kota.

Empat mata angin itu mengadakan rapat. Mungkin rapat yang sama ketika dulu bangsa ini merayakan kemerdekaan. Ribuan massa menggalang semangat di lapangan itu. Berkumpul untuk mendengarkan pidato akbar dari sang pemimpin negara. Dengan jiwa membara, dan merdeka, mereka menggulungkan nestapa, menanggalkan baju pribadi dan menjadi satu.

Sayup-sayup, aku merasakan genta yang sempat berbunyi dahulu kala. Masih terasa, bagaimana teriakan mereka memecah langit yang tengah senyap. Bagaimana aksi mereka yang membuat para penjajah ketar-ketir, dan mulai berpikir bahwa negara ini bukanlah negara yang pantas untuk dijadikan bahan jajahan dan objek penyiksaan. Negara ini adalah negara merdeka.

Monumen Nasional di Jakarta Pusat, atau Monas biasa orang menyebutnya. Senja menjadi elemen yang sangat menawan ketika dihabiskan di tempat ini. Percayalah, bukan hanya hawa yang hangat, namun pula suasana aktivitas warga Jakarta yang menuai aura kebersamaan. Di sana, warga Jakarta bersatu padu menikmati sore hari, seraya merangkum damai dan melepas penat.

Aku adalah salah satu dari mereka. Buaian senja menerapa, mengalunkan musik yang sanggup menuai damai. Ketika aku duduk di sebuah bangku taman, ada satu hal yang memancing perhatianku. Bukanlah wanita molek, bukan pula rombongan tanjidor, bukan juga komunitas-komunitas yang acapkali ikut menuai bising di lapangan Monas.

Seorang wanita paruh baya berjalan gontai. Dia tidak lemah, dan bukan seorang pesakitan. Raganya sehat, namun di dalam jiwanya, aku merasakan wanita itu tengah mencari kedamaian, berupaya menghilangkan kepenatan dengan menyambangi Monas. Dia sendiri. Tiada yang menemani. Sesekali, wanita itu beradu pandang dengan puncak monas, dan mentari jingga.

“Wajahnya cantik, meski raut menua sudah menghiasi wajahnya. Cadar berwarna hijau melekat menutupi rambut, yang sepertinya telah memutih dimakan usia. Tapi, wanita itu tampak sulit untuk tersenyum. Berulang kali, aku melihat tak ada sunggingan senyum di wajahnya. Muram, seperti seorang manusia yang memiliki puspa ragam problema.”

Hanya dugaan dan sinyalemen, manusia tak akan pernah mengetahui tanpa berupaya mengenalnya. Sebuah lapisan yang sangat kasar, bukan memiliki isi yang terlampau keras. Sebut saja kerang. Mahluk laut ini memiliki cangkang yang keras, namun dagingnya sangat lembut. Pun demikian dengan wanita itu. Belum tentu hatinya semuram wajahnya.

Wanita itu duduk di bangku. Letaknya di seberang tugu Monas. Di sana, dia hanya terdiam. Tampak, dia tengah menikmati alam raya. Hangatnya suasana senja di Monas.  Pandangannya tak pernah lepas dari Tugu Monas. Berulang kali pula wanita tua itu menghela napas panjang, menikmati suasana seraya meresapinya dengan segenap jiwa raga.

Aku pun menyapanya. “Sore ini senantiasa menjadi pelipur lara bagi para manusia. Tak terkecuali, seorang ibu. Selamat menikmati suasana ini, jangan lelah untuk menghujamkan penat dengan panah-panah keabadian dari Sang Pencipta. Kelak, penat ini akan menjadi rutinitas dan akan menghabisi nyawa para manusia. Apa gerangan yang membawa ibu ke sini?”

Siapa nyana, di balik dingin sikap dan muram wajahnya, terdapat senyuman yang memiliki kehangatan. Lebih hangat dari pada cahaya mentari petang itu. Tidak sedingin ruang kutub di dua penjuru bumi. Senyuman manis itu aku balas. Tentunya dengan senyuman pula. Aku merasakan aura keibuan dan sahaja di wanita itu, sangatlah sarat dengan kenyamanan.

“Aku datang dengan setangkup rona kebahagiaan. Bersyukur diri ini dengan apa yang diberikan Tuhan kepadaku. Sebuah dunia yang memiliki bunga rampai. Anomali yang tidak mengundang hawa negatif dan nestapa. Aku datang kesini untuk mengucapkan syukur kepada senja atas cinta yang diberikannya kepadaku, dan segenap rasa cintaku kepada semesta,” tutur sang ibu.

Ternyata, jauh dari perkiraanku. Tak semua manusia datang untuk menyajikan penat kepada semesta. Ada pula yang memberikan apresiasi rasa syukur terhadap segala macam anugerah. Ungkapan sebagai wujud terima kasih, bukan hanya sekadar pelampiasan dari impitan kehidupan di Ibu Kota. Salah ketika aku mengatakan bahwa tempat ini untuk membuang jauh penat.

Aku bertanya namanya. Dan, dia menjawab. “Namaku Gaia. Aku sangat mencintai tumbuhan. Aku memuja mereka. Tapi, bukan seperti aku menyembah Tuhan tentunya. Ada suatu ikatan yang tak bisa dijelaskan dengan logika antara diriku dan tumbuh-tumbuhan. Mereka memberiku hidup. Mereka menghaturkan cinta yang membuatku terbuai kerinduan kepada-Nya.”

Gaia, sebuah nama yang indah.  Dalam mitologi Yunani, Gaia adalah Dewi Bumi. Kalau dalam mitologi India, dia bernama Pertiwi. Alkisah, cinta Gaia sangatlah besar kepada bumi. Dia adalah ibu dari para dewa yang menguasai Gunung Olympus, seperti Zeus, Poseidon, Hades, dan lain-lain. Gaia bersuamikan Cronos yang kelak akan dibunuh oleh anak-anaknya sendiri.

Tapi berbeda nasib dengan Gaia dalam mitologi Yunani tentunya. Gaia yang aku kenal ini memiliki latar belakang keluarga yang tidak aku ketahui. Maklum, namanya juga baru kenal. Tapi, di dekatnya, aku merasa seperti  di samping ibuku, atau nenekku. Dia mengajakku bicara dengan nada bersahabat. Tak pelak, dia pun menanyakan ragam kisah hidupku.

Singkat cerita, aku mengisahkannya dengan gamblang. Tapi, tidak seperti saat melamar kerja, ketika seluruh kisah dilontarkan secara akurat tentunya. Lalu, aku bertanya pula kepadanya. “Ibu adalah seorang yang bersyukur atas apa yang telah diberikan Yang Kuasa, dan cinta telah membuat ibu jatmika. Maka, aku ingin bertanya apakah arti sebuah cinta bagi ibu?”

Wanita bersahaja itu pun berkisah:

“Kesunyian membuahkan cinta. Damai kian merapalkan rasa cinta, dan mahligai asmara. Tapi, tak semua cinta adalah hubungan antarmanusia. Meski demikian, cinta tak menutup kemungkinan dua manusia berpadu menuju kesempurnaan. Bagaikan Adam yang tak pelak bisa hidup tanpa Hawa. Dua manusia menjadi sempurna. Jika salah seorangnya hilang, maka timpang.”

“Aku adalah orang yang hidup di duniaku sendiri. Di dalam ruang yang penuh dengan ruas-ruas kehidupan. Dunia itu kuciptakan sendiri, hingga kini menjadi zona nyaman bagi aku. Inilah aku, tidak ada yang bisa mengubahnya. Namun, inilah kenikmatannya. Bukan suatu jurang nestapa yang terjalin dari bulir-bulir air mata dunia dan ibu pertiwi.”

“Acapkali aku tertawa dengan lelucon yang diberikan temanku. Tawaku yang khas seringkali membahana di setiap sudut ruangan. Tapi, aku menikmatinya. Aku mencintai tawaku, seperti asmara seorang seniman terhadap air matanya yang kelak membuahkan inspirasi. Tawa ini membawaku menikmati kehidupan di tengah penat yang mendera.”

“Makanan vegetarian. Tak ada yang bisa mengalahkan cintaku kepada jenis makanan ini. Setiap hari aku menikmatinya, meski orang lain kerap berkata bahwa makanan ini tidak memiliki rasa, serta tak menyentuh bagian perut yang terdalam. Sekali lagi, inilah makanan kesukaanku, karena hal ini menyehatkan. Dan, aku pun selalu menikmatinya.”

“Mengajar, inilah hasratku sedari dulu. Kini, aku bisa memenuhinya. Betapa tidak, ingin rasanya diri ini memberikan ilmu pengetahuan yang aku punya kepada mereka yang membutuhkan. Aku mengutuk dunia pendidikan yang ‘kotor’, selalu berpikir tentang uang dan uang tanpa memperhatikan para akademisi. Aku enggan seperti ini.”

“Kini, aku memiliki sebuah sekolah. Mereka adalah wujud cintaku kepada dunia pendidikan. Anak-anak kolong langit yang mengais mimpi dari tempat sampah umum dan perempatan lalu lintas. Aku merangkum mereka agar memiliki ilmu. Bukan ilmu yang spesifik, namun pengetahuan umum tentang filsafat kehidupan untuk menghadapi gejolak dunia.”

“Aku menikmati mengajarkan ilmu kepada mereka. Tanpa donasi, hanya beratapkan kayu tipis dan peralatan ala kadarnya. Tapi, tidak ada rona kesedihan dan nestapa di raut wajah anak-anak tersebut. Mereka senang, dan antusias, meski tidak semegah  fasilitas di sekolah-sekolah ternama. Bukan fasilitas yang mereka inginkan, tapi sebuah semangat yang datang dari jiwa.”

“Salah satu cintaku yang terbesar adalah kepada tumbuhan. Warna hijau, dan wanginya di kala hujan turun seperti membawaku kembali ke masa silam. Mengingat berbagai kenangan yang pernah singgah di hati dan jiwaku. Tumbuhan merekam semua kenangan tersebut di sela-sela daunnya yang berwarna hijau, dan berkembang seiring rotasi roda zaman.”

“Adalah Wijaya Kusuma yang menyisakan kenangan manis dalam hidupku. Masih teringat, ketika bunga itu hendak mekar, keluargaku memberi kabar kepadaku. Waktu itu, malam tengah menyajikan panorama purnama. Dari segala penjuru, keluarga kami berdatangan. Namun, hingga kini kami tak pernah melihat proses mekar bunga tersebut. Misterius memang.”

“Tapi, bunga itu menjadi saksi bisu jatuh bangunnya keluarga kami. Dari kami merintis hidup, hingga aku beranjak dewasa. Bunga itu setia mendampingi. Beberapa kali bunga itu layu. Bahkan, kami menganggapnya telah mati. Namun, berulang kali bunga itu kembali terjaga dan tumbuh. Ini seperti semangat keluarga kami yang selalu tegar menghadapi jatuh bangun kehidupan.”

“Kini, Sang Wijaya Kusuma telah mati. Benar-benar tak terjaga lagi. Kami sekeluarga sedih. Bisa dibilang, bunga itu mengawal kehidupan keluargaku. Beberapa kali, aku mencari bunga yang sama seperti itu. Namun, aku tak pernah menemukannya. Hanyalah bunga yang mirip, namun bukan bunga yang menyimpan sejarah dalam keluargaku.”

“Mereka tahu cintaku kepada tumbuhan. Aku pun mengerti jenis-jenis tumbuhan. Aku tumbuh kembang bersama mereka. Ketika bunga hidupku mekar, tunas-tunas baru muncul kembali. Mereka adalah wujud regenerasi yang tak pernah habis digilas roda zaman. Teman-temanku bahkan menjuluki ‘si gadis tumbuhan’ karena kepiawaianku di bidang tumbuhan.”

“Cinta terbesarku adalah kepada Tuhan dan keluargaku. Tuhan memberiku kehidupan yang sangat dinamis, sedangkan keluarga selalu ada di saat aku terangkum dalam kesedihan maupun kebahagiaan. Tak ada harta yang bisa menggantikan mereka. Di penghujung hidupku kelak, hanya ada aku dan mereka. Tak ada seorang pun yang bisa menjadi mereka.”

Obrolan diriku dengan wanita telah membawaku ke tahap baru semesta. Saat itu, semesta mulai mencekam. Malam menjadikan langit menggelap, sedangkan mentari entah kemana. Terlampau nikmat berbicara, aku tidak memperhatikan kemana sang mentari. Tapi, aku meyakini dia tengah berada di sisi lain bumi. Terlelap dalam tidurnya yang syahdu.

Aku melihat sosok yang sama dengan wanita ini. Seorang wanita yang telah bersemayam di hatiku. Banyak kesamaan yang kuresapi. Ya, wanita itu entah kemana. Hilang bagaikan debur ombak yang berangsur-angsur hilang seiring dengan pergerakan air. Wanita itu bagaikan embun yang dihiasi kencana, ketika pagi membuatnya menghilang tanpa bekas.

Tanpa sadar kini, aku merindukannya. Teringat pula, saat-saat bersama dengannya. Ketika bumi merangkum dua hati yang berbeda dan mengizinkan aku dekat dengannya. Namun, kini jarak menjadi musuhku. Aku dan dia jauh, meski sempat mengalunkan nada-nada kerinduan. Tapi, kini lamat-lamat sirna. Inilah cinta, menurutku, kendati hati itu raib sudah.

Hari sudah malam, sang ibu pamit menuju tempat peraduannya di penghujung Ibu Kota. Sedangkan, aku masih berada di pelataran lapangan tersebut. Mencoba mengais inspirasi dan ide yang tercecer di rumput dan tumbuhan Monas. Berdiam diri sejenak, sebelum merebahkan diri di persinggahan. Terngiang, sosok wanita yang telah lama hilang itu.

Dan, lagu “Mata Berdebu” dari Sore pun mengalunkan rinduku. “Sabar kumendaki pusara puncak hatimu. Kesan yang terjadi di ladang lara batinku.”

No comments: