Sunday, April 15, 2012

Cinta Absurd Sang Pencipta

"Berulang kali aku katakan. Tuhan tidaklah seperti yang kau bayangkan. Tiada yang bisa bergumam seraya berpikir seperti apa bentuk-Nya? Dia bukanlah seorang lelaki ataupun perempuan. Setidaknya itulah yang aku percayai tentang-Nya. Cinta-Nya hinggap di pundakmu, baik dalam suka maupun duka."

Sebuah perdebatan sengit mewarnai sore yang indah, tepatnya di Stasiun Pasar Senen, Jakarta Pusat. Dialog itu begitu keras. Hingga angin pun bergetar dan menggerutu. Suara panggilan informasi pun lenyap sudah dalam larutan percakapan itu. Hanya bising suara getar rel dan debur kencang laju kereta yang sanggup melumatnya.

Dua orang sahabat. Keduanya berambut gondrong, namun bukan wanita tentunya. Yang satu terurai panjang, yang satunya lagi dikuncir kuda. Pakaiannya tidak rapi, rada kumal sedikit. Tanpa hiasan anting-anting ataupun pernak-pernik seperti gelang serta cincin. Tiada pula tato yang tergambar di tubuh.

Aku asumsikan keduanya merupakan mahasiswa. Entah akademisi baru maupun yang sudah renta menjelajahi arung kehidupan kampus. Namun, tampaknya mereka berasal dari sebuah sekolah seni. Aku bisa melihatnya membawa sebuah tas berisi sketsa gambar, serta yang lainnya tampak berbaju almamater tertera asal kampusnya.

"Aku tidak percaya Tuhan. Mungkin bisa dibilang aku adalah penyembah berhala. Tuhanku adalah Google. Dengan cepat, Google bisa memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaanku. Google berkuasa atas alam semesta ini. Dia tahu semua di balik rahasia laju angin, debur ombak, gelut awan, derai rintik hujan hingga terik matahari," ungkap si kuncir kuda.

Resah tak menentu tampaknya memenuhi wajah si urai. Masam mukanya mendengar pendapat sang sahabat. Dia terduduk. Bukan di atas bangku, namun di lantai peron bersandar pada dinding kotor stasiun. Tangannya menutupi wajah. Ditambah rambut urainya yang senantiasa jatuh melewati wajah dan menyentuh kerah.

"Sudah cukup lelah aku berkata kepadamu. Perdebatan tentang Tuhan ini membuatku muak. Tidak ada orang yang begitu bodohnya percaya pada sebuah mesin pencari di internet. Dunia ini bukanlah suatu yang kasat mata untuk dilihat. Kau ada karena Tuhan. Dia membuatmu dari saat kau kali pertama diberikan embusan napas oleh-Nya," ungkap si urai.

Dengan mata tenang, si kuncir kuda bergumam. Terus di otaknya, mencari dan mencari sanggahan yang tepat untuk menanggapi uraian sang sahabatnya. Tapi, si kuncir kuda tampak lebih tenang dari si urai. Terlihat, dari mulutnya yang tak bergetar ketika menjelaskan bentuk "Tuhan'-nya. Rautnya pun tak bernyawa.

"Coba kau tengok pengemis di sana," tutur si kuncir kuda. Dia menunjuk seorang bapak setengah baya sedang berjalan gontai. Langkah yang tidak pasti. Jejaknya pun tidak terdengar sama sekali. Hanya suara terseret yang terdengar di telinga. Tampangnya kumal, bajunya compang camping. Topi belel bertengger di kepalanya.

Satu persatu penghuni stasiun disambangi olehnya. Nadanya lirih, napasnya tersengal-sengal. Badan kurus kering, dengan tubuh yang kotor dan dekil. Tangannya menengadah berharap para penumpang memberi uang. Kendati demikian, dari tujuh penumpang, tiada sepeser pun yang digenggamnya. Cuma ada mangkuk plastik kosong.

"Apa yang terjadi kepadanya? Apakah Tuhan tahu dengan kehadirannya. Jikalau Dia tahu, mengapa tidak diberikan uang yang banyak kepadanya? Tuhan tidak adil. Doanya tidak mungkin dikabulkan, kalau melihat dari penampilan si pengemis yang penuh dengan kotoran di sekujur tubuh," terang si kuncir kuda.

"Sebuah mesin pencari di internet bisa memberikan jawaban atas apa yang diinginkan pengemis itu. Tinggal mencari keyword 'cara menjadi kaya dengan cepat', maka akan keluar beribu-ribu bahkan berjuta-juta tips yang bisa diaplikasikan oleh sang pengemis untuk menaikan derajatnya," tutur si kuncir kuda.

Benak si urai pun berteriak. Orang bodoh mana yang percaya dengan Google seraya menganggapnya sebagai Tuhan. Apakah segitu pentingnya peranan internet sehingga orang me-Tuhan-kan internet dan internet men-jemaahi para manusia. Orang bodoh mana yang mengganggap internet adalah pengendali alam semesta.

"Ketika bencana besar tiba di suatu daerah, aku tidak berdoa kepada Tuhan. Aku meminta informasi kepada internet, lalu dia memberikan aku begitu banyak fakta dari beragam aspek dan perspektif. Lengkap dengan pendapat serta informasi akurat tentang bencana ini. See? Internet is a God to me," jelas si kuncir kuda.

Kembali, hati si urai kembali berderai rasa geram. Namun, tak kuasa dia beradu debat dengan sang sahabat. Sebab, percuma. Hanya membuang waktu dan tenaga, memaksakan doktrin kepada seorang manusia yang sudah mengerti apa yang baik dan buruk. Si urai menghargai apapun pendapat manusia, karena itulah identitas mereka.

"Apakah dunia telah diliputi oleh teknologi, sehingga menutupi akses menuju langit ketujuh. Apakah modernisasi telah melarang para malaikat untuk mengantarkan pesan umat kepada Tuhan. Apakah pikiran dan batin manusia telah dikontaminasi oleh teknologi, sehingga segala sesuatu harus diraih dengan instant." Si urai terus bertanya.

Sore itu panas. Kedua sahabat itu saling berdiam diri. Apa yang mereka tunggu? Entahlah. Sebab, beberapa kali kereta melintas, namun tiada yang menuai perhatian keduanya. Yang ada hanya keacuhan hadir di antara mereka. Gilasan roda kereta saat bertemu muka dengan rel pun tak digubris.

Masing-masing jiwa tenggelam dalam kebingungan. Keduanya mencari beribu alasan untuk mempertahankan keyakinannya. Sebab, perdebatan dengan Tuhan merupakan suatu yang hakiki. Mereka saling menyerang batin masing-masing dengan kepercayaan dan paradigma yang berbeda tentang kehadiran Sang Pencipta.

Entah kebetulan atau takdir, sebuah lagu mengalun. Tembang One of Us dari Joan Osborne. "What if god was one of us, there's a stranger on a bus." Langsung, si urai berkata "Betul sekali. Bagaimana bila Tuhan berada di antara kita? Dalam bentuk yang kasat mata ataupun tak tampak oleh indera?"

"Kau adalah ciptaan-Nya, wahai sahabat. Dia cukup baik untuk membiarkan umat-Nya menjalani apapun keyakinan yang dimiliki oleh manusia. Dia tidak memaksakan agama yang dianut oleh umat-Nya. Tapi, untuk kasusmu, aku hanya ingin mengatakan bahwa cinta Tuhan itu absurd, tidak kasat mata. Hanya keyakinan kita yang bisa merasakan," ungkap si urai.

Keduanya hanya saling pandang, tidak berkata apapun. Jiwa yang geram kini berubah menjadi tenang, karena suatu takdir yang mengalun dalam nada. Sedangkan jiwa yang tenang, kini mulai bertanya tentang keberadaan Sang Pencipta. Seabsurd itukah cinta-Mu? Sehingga, internet pun tak bisa memotret wujud-Mu?

Tampak dari kejauhan, sang pengemis berjalan ke arah keduanya. Dengan langkah lunglai, masih memegang mangkuk kosong di genggamannya. Menuai pandangan yang nanar dengan mata sedikit buram. Topi kumal masih bertengger. Matanya sayu, tidak ada rona kehidupan yang mencerminkan kenikmatan dan kebahagiaan.

Keduanya hendak menghampiri sang pengemis. Namun, sang pengemis hanya diam. Tak menggubris keduanya. Pengemis itu berjalan, hingga tiba-tiba menghilang di antara kerumunan. Tidak ada yang menyadari kehadirannya. Hingga kemudian, sehelai kertas surat kabar melayang dan hinggap di kaki kedua sahabat itu.

Di headline surat kabar, tertera "Seorang Pengemis Tewas Tertabrak Kereta Senja." Kontan, kedua sahabat itu terperanjat karena foto di surat kabar itu adalah pengemis yang baru saja dilihatnya. Baju dan topi kumalnya sama, tiada beda. Dan, wajahnya adalah raut kumal pengemis itu.

"Begitu absurdnya cinta Tuhan. Bahkan kita pun tidak tahu apa yang terjadi kepada orang yang barus saja kita lihat. Meski caranya tidak lazim, mungkinkah kini sang pengemis itu telah menetap di surga. Ataukah, kini dia tengah berjalan di jembatan tipis menuju surga, melalui benang titian kehidupan?" ungkap si urai.

"Apakah dia adalah Tuhan dalam wujud manusia, untuk memperingatkan kita bahwa kehadiran-Nya adalah nyata," ungkap si kuncir kuda dengan muka yang nelangsa. Seorang pengemis yang dia kasihani ternyata hanya bayang semu yang membuat dirinya iba. Kini, pengemis itu telah menjadi penghuni alam keabadian.

Keduanya terduduk terdiam. Suara adzan maghrib berkumandang. Dunia kini diliputi panggilan keagungan agar manusia menunaian ibadahnya. "Mari kita salat," ujar si urai. Lalu, ajakannya diamini oleh si kuncir kuda. "Alhamdulilah," tutur si urai menyebut asma-Nya di hati yang terdalam.

No comments: