Wednesday, April 18, 2012

Singkatku di Kota Tua

Kota tua alias kota toea. Beberapa hari belakangan, aku sering menyambangi situs warisan yang dibangun koloni Belanda untuk memberi hormat kepada Bataviere alias leluhur bangsa Negeri Tulip itu. Apa yang menarik di sana? Mungkin banyak yang berpikir bahwa Kota Tua hanyalah sebuah komplek gedung tua yang usang dan tergilas roda zaman. Kini renta.

Namun, tidak bagiku. Ada hubungan batin yang erat antara aku dan gedung-gedung tua tersebut. Seolah, gedung itu bercerita. Mereka bersaksi atas apa yang telah dilihat dan dirasakan dari zaman ke zaman. Dunia kini telah menua. Berbeda dengan zaman dulu, ketika mereka masih belia. Gedung yang kokoh berdiri tegak, mulai lunglai dipenuhi lumut dan noda hitam sejarah.

"Gedung ini memberikan hawa usang. Aku merasa tua di antara komplek ini. Betapa tidak, duniaku yang modern dan penuh dengan teknologi, tidak menjanjikan apapun selain persaingan dan rutinitas. Di sini, mereka mengayomiku. Pergerakan roda zaman perlahan mulai melambat. Lamat-lamat dunia pun berhenti berputar. Hanya ada aku, kesunyian dan suara yang kuciptakan."

Duduk di sebuah pelataran membelakangi Sungai Ciliwung yang membelah Ibu Kota. Bau tak sedap, tak membuatku gentar. Aku tetap beradu pikiran dengan seluruh imaji yang merasuki jiwaku. Kopi dan sebatang sigaret melengkapi pertapaanku di jurang kedamaian. Ya, kedamaian serta ketenangan yang tidak aku dapatkan di sela rutinitas keseharian.

Dan, aku pun menulis:

"Wahai kota yang kini telah termakan usia. Tua dan usang. Aku disini berada. Menjadi tua seperti kalian. Aus dalam pertapaan yang aku lalui kini. Kau adalah gedung yang tak bernyawa, tidak bernapas dan tiada bergerak. Namun, kau memiliki sejarah yang tidak dimiliki manusia. Kau menjadi saksi bisu bagi perkembangan kota yang aku singgahi."

Sekejap seluruh dunia hilang. Tapakku tidak menjejak. Penaku terdiam, mulutku membisu. Aku melihat seorang wanita. Dengan cadar dan kerudung hitam melintas di hadapanku. Langkahnya tegap, dan pasti. Ada yang mengejarnya. Entah itu sesuatu atau seseorang. Aku hanya berpikir, namun tak bereaksi. Otak ini terus melalui beragam pertimbangan.

Lalu, aku mengejar sosok misterius itu. Gerakanku melambat, seolah ada kekuatan yang menahanku. Aku melihat gedung-gedung itu bersuara, mengumamkan sebuah kata. Tapi, aku tidak menyimaknya dengan jelas. Hanya gumaman, aku pikir. Tak lebih dari itu, meski mereka ingin menyampaikan suatu hal yang mungkin harus aku ketahui.

Kini, suara itu semakin jelas. Kian aku berlari, suara itu kian lantang. Terdengar renta memang. Seraya ada sekat yang menghalangi suara itu. Serak namun lirih dan jelas. Tidak terlalu lantang. Aku melintasi jalan menuju Lapangan Fatahillah. Selasar itu seperti menyempit, dan membentuk sebuah lorong. Menggelap, hanya ada setitik cahaya.

Kendati demikian, aku terus melaju melintasi lorong itu, mendekati cahaya. Aku meyakini semuanya adalah halusinasi. Tak lebih dari itu. Gedung-gedung itu terus bersuara, tanpa henti. Seiring dengan itu, cahaya kian mendekat dan benderang. Aku menduga ada sebuah dunia lain di sisi cahaya itu. Sebuah dunia yang aku tidak kenal. Asing nanti dan kini bagiku.

"Cahaya apa ini? Benderang, namun sangat aneh. Aku bagaikan suatu harapan yang disuguhi cahaya kecil menjadi tujuanku kelak. Udara di sekelilingku pun berubah pekat. Ketika kuhirup, ada bulir-bulir kecil yang menempel di tenggorokan. Seperti sebuah benda tua yang baru ditemukan. Penuh debu yang meyelimutinya, dan bau yang tersimpan lama di gudang."

"Hanya cahaya, namun kemanakah gerangan gadis itu? Apakah cahaya itu menelannya bagaikan lubang hitam di angkasa yang melahap asteroid di tata surya? Entahlah. Yang terang hal ini aneh bagiku. Seorang gadis berpakaian serba tua di Kota Tua dan dunia tua yang melingkupinya. Peduli setan, aku harus mengejar dan menemukan dia."

Rasa penasaran berbuah ketertarikan. Ketertarikan berbuah suka. Suka berbuah cinta. Namun, ini bukanlah cinta. Hanya rasa ingin tahu yang amat sangat atas kehadiran wanita tua. Seorang wanita melintas tanpa sebab, lalu menuai perhatianku. Ketika kusapa, dia berjalan seolah di dunia ini hanya ada dia dan dirinya. Ya, dia dan dunia yang mengelilinginya.

Tak lama, hawa di sekitarku menjadi tua, baunya kian pekat. Sayup-sayup terdengar suara musik jazz. Musik ini adalah alunan nada yang dibawa penjajah Belanda ketika masuk ke Indonesia. Jazz ini berbeda. Sangat tua, seperti suara yang keluar dari piringan hitam. Bukan musik yang modern dengan irama yang dipenuhi dengan dominasi mesin dan teknologi.

Langsung, aku teringat sebuah adegan dalam lagu Sore. Judulnya "Bogor Biru." Lagu jazz dengan ambience era masa lampau. Aku merasa tua, ketika membayangkan diriku berada di sebuah rumah makan. Seluruh ornamennya mengisahkan zaman kolonial. Foto orang-orang dengan gaya seadanya pun menghiasi setiap sudut ruangan itu. Hitam putih, tiada berwarna.

"Seribu bunga menghamburi. Indah merasuki. Malam mengawali, kasihku. Selimut suasana, membakar waktu dan melaju. Perihku terhempaslah, menampar waktu dan melaju. Menyatu di alam." Suara lirik sang penyanyi menghantui telingaku. Menghempas diriku ke alam yang syahdu. Kini dan nanti, suara itu selalu terngiang melaju dalam deru kalbu.

Tapi, itu hanya imajiku. Kini kembali ke cerita yang sudah berlalu. Aku memasuki cahaya itu. Suara gedung yang menghimpitku hilang tak menentu. Bising yang lirih dan serak, kini berganti dengan keramaian manusia. Ya, gelombang para warga Jakarta yang memadati Lapangan Fatahillah. Dengan sepeda onthel yang berseliweran dengan gagahnya.

Tunggu dulu! Ini bukan Jakarta yang aku kenal. Aku merasa berada di sisi lain dari suatu era. Bagaikan melewati lorong waktu, kini aku berada di dunia lain. Namun, dimanakah diriku? Lapangan yang sama, tapi lebih luas dan bersih. Gedung yang sama, namun dengan gaya arsitektur yang masih berdiri tegap dan cantik. Siluetnya pun tidak menunjukkan penuaan.

"Aku pernah melihat dunia ini. Suatu ketika, aku pernah mencari arti dari Kota Tua. Lalu, tanpa sengaja aku menemukan sebuah foto hitam putih yang telah memudar. Di sana, terlihat aktivitas Kota Tua dengan segala kesibukannya. Namun, kesibukan itu bukanlah di zaman modernisasi. Itu adalah zaman ketika Jakarta masih menyandang nama Batavia."

Tak salah lagi, aku berada di zaman yang berbeda. Sepasang suami istri tampak di hadapanku. Sang suami memakai baju safari berwarna putih dengan topi bundar. Aku asumsikan dia berprofesi sebagai seorang mandor. Sedangkan, sang istri membawa payung dengan topi bunga. Dia mengenakan gaun yang cukup panjang untuk menyeret pakaiannya di jalan.

Keduanya sangat menikmati pembicaraan. Tak diacuhkan, manusia-manusia yang berada memenuhi lapangan ini. Aku hanya menoleh, tanpa bersuara. Masih tidak percaya dengan apa yang aku saksikan. Tak hanya kedua suami-istri itu, orang-orang pun menggunakan pakaian yang tidak ada di zamanku. Bilapun ada, pastinya orang itu dijuluki Jadul alis jaman dulu.

Aku hanya tertawa terbahak-bahak. Inilah dunia yang aku cari. Sebuah wilayah kuno, dengan lorong waktu. Aku seperti di film bisu. Hitam putih di sini pun menjadi berwarna-warni. Aku berpikir foto-foto yang aku lihat hanya menyuguhkan dwiwarna itu. Ternyata, aku dikelilingi warna-warna dengan aura tua di sekelilingku. Aku pun terduduk dalam diam.

Sepeda onthel bukanlah barang langka. Yang aku lihat bukanlah sepeda tua, melainkan kendaraan yang sangan kinclong, persis seperti benda yang baru kelar diproduksi oleh pabrik. Aku membaca merknya. Di sana tertera merk Gazelle, Simplex, dan Humber. Melongo, itulah ekspresi wajahku. Sepeda-sepeda ini menjadi buruan kolektor di zamanku.

"Tapi di sini, sepeda onthel menjadi barang receh yang dipakai hampir setiap orang. Besinya pun masih bagus. Aku pikir pastinya kolektor akan tersenyum sumringah melihat kondisi ini. Betapa tidak, apa yang mereka cari menyemut bagaikan cendol di sini. Aku merasakan seperti orang dari negeri antah berantah, dengan pakaian modern dan ornamen teknologi di ragaku."

Lalu, orang-orang. Mereka yang telah tiada, bersenda gurau dan membuka pembicaraan di hadapanku. Kebanyakan dari mereka berbicara tentang isu-isu yang terjadi di antara bumiputera. Seputar pertikaian mereka dengan bangsa kolonial Belanda. Entah apa yang mereka rencanakan, namun ini sangatlah nyata bagiku. Mimpi yang tidak ingin aku akhiri kini.

Para bumiputera itu langsung diam terhenyak kala sekelompok tentara Belanda berpakaian serba hijau dengan bedil di tangan melintas. Apakah sebuah konspirasi yang mereka ingin libatkan diri? Entahlah, ini merupakan bagian dari sejarah. Jika memang berada di lingkaran masa lampau itu, aku enggan mengubahnya sedikitpun. Karena aku adalah "tamu" di zaman ini.

Aku menyebutnya "zaman ini" bukan "zaman dulu". Karena, aku sekarang ada di sini. Bukan di era seharusnya aku berada. Di sini, dunia masih belia, meski dibilang tua jikalau aku berada di zamanku. Hidup ini bergetar dalam dunia yang kekal. Riwayat kini bukanlah hidup yang telah aku lalui. Tapi, ini adalah era ku kini. Enggan lagi kumenyembah teknologi dan modernisasi.

Masyarakat dahulu merajai benakku. Sekejap aku melupakan sosok wanita bercadar itu. Si misterius yang telah menuai perhatian sehingga aku memasuki dimensi lain. Meski belum mempercayai, kini aku sudah menganggap dunia ini sebagai suatu realita, tanpa bayang semu. Melangkah aku menuju sebuah gedung tua yang konon menjadi tempat singgah Gubernur Batavia.

"Bolehlah aku bertanya wahai kawan? Seorang wanita memancing skeptisku. Beradu pendapat dengan raga yang enggan memasuki dimensi ini. Namun, aku kehilangan arah. Limbung dalam dekapan dunia asing. Dimanakah dia? Apakah engkau melihat dirinya. Dia memiliki kerudung dan cadar hitam, mengenakan baju panjang," tuturku, bertanya kepada seorang penjual arloji.

"Aku tidak melihatnya. Sekelilingku hanya orang-orang berkerumun. Para bumiputera dan kompeni yang bertandang ke kiosku. Namun, aku tak menampak seorang wanita bercadar hitam. Dan, tidak ada orang bercadar di sekitar sini. Bukan tempat bagi orang bercadar di sini. Coba rekatkan dirimu pada Sang Pencipta. Mungkin Dia tahu jawabnya," urai sang penjual arloji.

Tanyaku sia-sia. Aku ucapkan terima kasih, kemudian berlalu menuju arah entah kemana. Begitu melekat bayang itu di benakku. Entah kenapa, namun ada suatu hal yang harus aku tanyakan kepada wanita itu. Rasa penasaran ini membuai terus, bertandang ke hati yang dipenuhi tanda tanya. Aku jatuh terduduk, letih mencari ke pelosok Kota Tua.

Ketika bunga rampai di otakku mencari arti, mengalunlah lagu tua. Bersenandung dalam sunyinya malam. Musik yang selalu menemani, saat jiwa yang suci enggan berhadapan dengan puspa ragam keingintahuan. Kini, aku harus pulang. Menyimpan dalam-dalam rasa itu. Peluh tak kunjung mengering. Aku mencari jalan menuju persinggahan lain.

Lorong itu terbentang. Gedung-gedung membungkuk, seraya mengantarkan diriku menuju lorong tersebut. Langkahku gontai, ketika cahaya terang menyelimuti tubuh ini. Aku kini berada di dunia yang membuatku terhimpit. Dunia penuh rutinitas dan modernisasi. Peraduan menjadi tempatku berlabuh. Masih terngiang sosok cadar hitam di langit-langit kamar.

"Aku bertemu seorang wanita. Namun kini dia entah kemana. Terpisahkan dua dunia yang mungkin mustahil untuk kusinggahi kembali. Dulu hanya ada aku dan diriku, namun sekarang wanita itu menemaniku dalam bentuk bayang semu. Cinta kini mulai tumbuh, ketika bayangnya hanya melintas di pikiran, membentuk emosi yang tak menentu."

Cintaku tak termakan zaman. Ketika sebuah era berganti, dan bumi terus berputar searah rotasi, cinta tetap seperti ini. Teruslah abadi. Tak ada rona materi dunia yang sanggup membeli. Yang, pasti kenangan ini menjadi sebuah alunan lirih di hati. Hingga kini, masih aku mencari. Dirinya yang hilang ditelan bumi. Sebuah kisah singkat, namun mengendap cukup di hati.

Dan, aku pun lamat-lamat mendengar alunan lagu "Mata Berdebu" dari Sore. Sayup-sayup namun kian jelas terdengar. "Tak kupelajari dimana pelangi itu. Di antara kabut, kucari jemari itu. Dan, aku tak bisa melangkah di antara musafirnya. Dan, aku rindu melangkah di duniamu. Di antara ku, janjimu terlunta." Duniamu, menuai rinduku.

No comments: