Sunday, April 15, 2012

Bayangan Keindahan

Lembayung bertabur nestapa. Warnanya mendung. Rindu dendam yang kian lama terkandung. Bergumul sang awan, menyambut nelangsa semesta. Bagaikan ombak yang menghiasi angkasa, bergolak seperti dunia yang kini penuh sengsara. Perang dimana-mana, kelaparan mendera warga dunia, sedangkan penguasa asyik bersenyum sapa.

Apakah terlalu berat untuk seorang manusia memanggul beban dunia? Berbuat sesuatu untuk alam yang kini kian terpenjara oleh angkara murka. Manusia itu bukanlah Atlas, seorang titan yang dikutuk oleh Zeus untuk terus memikul buana sepanjang masa. Manusia itu hanyalah setitik debu di padang pasir. Mudah tertiup angin lalu, dan terbuai emosi belaka.

Lalu apa hakku untuk menggugat dunia? Sementara debu itu rentan terbuai suasana, tergoda nafsu dunia dan bertabur suara yang menyenandungkan lagu duka. Beribu asa. Ya, hanya asa yang bisa disampaikan kepada penguasa dunia, meski telinga tak mudah tergugah oleh kata. Tapi, apa daya? Aku hanya mencoba, dan upaya.

Lantas, aku pun tertawa. Tak sengaja, ketika sebuah rasa tak terbendung. Dari duka mendalam membuncah menjadi suasana suka yang bergelora. Hanya tawa yang tersirat. Dunia terlalu besar untuk dibawa ke alam pikiran. Betapa tidak, angkasa dipersempit menjadi seukuran tangan manusia. Hingga kini, hanya Krishna yang bisa melahap semesta.

Teringat, ketika Krishna kecil bermain di pelataran candi. Kedua orang tuanya pun menyambangi. Tanpa sengaja, keduanya melihat isi mulut Krishna. Lalu, mereka pun terperanjat, tiada kuasa berkata-kata. Sebuah anugerah dari dewata yang agung menciptakan seorang anak yang memiliki semesta di mulutnya. Bintang bertaburan, planet bermesraan, bersama berpadu cinta.

Lamunanku buyar seketika, kala di depanku berdiri kokoh sebuah masjid yang sangat megah dan rupawan. Sore itu, mentari melafaskan kata “Allahu Akbar” seraya mengoreskan siluet gambar masjid berwarna hitam. Siluet menyentuh jalanan yang bertabur para penjual makanan. Damai, meski hanya bayangannya saja. Bertaburlan bintang keabadian.

Sore menjelang, burung-burung berkicau dari balik Masjid Sunda Kelapa yang terletak di dalam bilangan Menteng. Bersembunyi dibalik Gedung Bappenas, dan dikelilingi para penjaja makanan. Meski demikian, kemegahannya tetap terasa. Bukan suara hiruk pikuk yang terdengar, namun kesunyian yang melekat di kala dunia bertabur rindu.

Apalah artinya aku? Aku hanyalah setitik pasir bisu, tiada arti tanpa pantai yang menjerat lautan biru. Aku hanya setitik debu, yang dengan mudah terombang-ambing ketika angin semena-mena berlalu. Dunia tak memiliki waktu, apalagi untuk memikirkan setitik debu. Banyak hal yang terbersit, namun bukanlah debu yang beterbangan dan lamat-lamat menjerit.

Namun, sore itu aku memiliki arti bagi dunia. Aku menyaksikan saat hujan rintik turun. Bulir-bulir air tak terhitungnya jumlah. Mungkin triliunan, atau hanya miliaran. Ya, hanya Dia yang tahu jumlahnya. Toh, jumlah itu tidak pernah dihitung dan dirapal dengan angka. Karena itu pula Tuhan membedakan benda menjadi yang terhitung dan mustahil dihitung dengan jari.

Kesekian kalinya, aku berbicara dengan dia. Namun, Sunda Kelapa menjadi salah satu tempatku dan dia. Terkadang, dalam kesendirian, aku menjenguk gedung tua itu. Hanya sekadar napak tilas atas apa yang pernah aku alami bersama dia di sana. Indah memang. Bukan keindahan secara kasat mata, tapi juga lambang keagungan suatu jiwa yang kekal ada di sana.

Napak tilas seolah bagaikan membuka kembali lemari yang telah terkunci. Jejak ini begitu nyata meski tak berbekas secara terlihat. Dia ada di sana, bersama aku. Dengan nada yang lembut dan lirih, dia bersenandung indah dan nestapa. Aku mendengar dengan telinga yang kubuka lebar-lebar. Aku menyadari, karena mendengar adalah seni dari berbicara.

Seperti biasa, aku duduk di depannya. Memandang matanya yang sayu dan bibir mungilnya. Hanya meja panjang yang memisahkan. Tapi erat hati ini berada di dekatnya. Bukan cuma rayuan gombal semata, tapi sebuah kata tulus yang terangkum selama berhari-hari seraya terendap di dasar kalbu. Lamat-lamat dunia berhenti berdengung gusar.

“Would you mind, If i look into your eyes till i hypnotized, and i lose my pride?” Sebuah tanya melayang yang kukutip dari sebuah lagu milik Earth, Wind & Fire, “Love’s Holiday”. Pas memang. Sebab, pandangan itu menghipnotisku. Membawaku ke alam penuh dengan bunga-bunga, serta langit biru yang berubah menjadi ungu muda.

Dia dan pandangannya, membuat harga diri ini musnah di hadapan cinta. Aku bertekuk lutut, bagaikan prajurit Odysseus yang terbuai nyanyian dari para pengawal Calypso. Dan, para prajurit itu pun rela menunda perjalanan pulang ke Ithaca lantaran berada dalam pengaruh cinta punggawa Calypso. Tak berdaya mereka, seperti aku di depan dirinya.

Gerakmu, tak sekalipun lepas dari pandanganmu. Aphrodite hadir di hadapanku. Menyemai benih-benih berwarna kilau emas. Sesekali, Dewi Cinta mengusap keningku dengan kecupan hangatnya. Untuk menunjukkan, bahwa kini cinta telah memperdayaiku. Membuatku berdiri di pinggir jurang, entah aku akan jatuh atau menghindari bibir terjal itu.

Tapi aku memilih jatuh. Aphrodite pun tertawa. Bahagia dia melihat satu lagi budak cinta telah hadir di dunia. Aphrodite menang, aku kini terbuai tak tenang. Dengan sayap merah jambunya, Aphrodite pun terbang kembali. Meninggalkan benih yang telah merasuk ke jantungku dan raga ini. Aku sendiri dalam kekalutan dan kerinduan atas kehadirannya.

Bayangan itu berupaya kuusir. Aku sadar cinta ini tidak memperbudakku. Cinta justru menambah khasanah dalam hidupku. Aku merupakan manusia yang dinamis, dengan perasaan bagaikan roller coaster. Namun, itulah esensi dalam bercinta. Tidak akan pernah puas seorang manusia, saat cinta datang dengan segala kemudahan, tanpa tantangan.

Tanpa dia, kini aku mengarungi sisa hidup. Kata cinta yang terlontar, saat ini mengendap dalam relung hatiku. Setiap selasar jantung dan kalbu, selalu merapal namanya. Ketika adegan mesra menghiasi layar kaca, bayangan dia menjadi nyata. Saat lagu cinta mengalun, aku melihat dia bersandar dalam jubah keindahan dan kesuciannya.

Ya, bayangan itu. Seperti seorang penderita skizofrenia yang selalu melihat halusinasi di hadapan. Aku bukanlah mereka, namun bayangan ini cukup menjelaskan semua. Saat semua wanita adalah dirinya. Saat aku merasakan sepi di antara kerumunan manusia. Ya, aku sendiri membayangkan dunia memelukku dengan tangannya yang hangat.

Aku bukanlah orang yang suci dan sangat beriman. Tapi kini aku membutuhkan Tuhan. Tepatnya, aku ingin malaikat menemani jiwa yang meronta ini. Aku membutuhkan ketenangan, bukan suara-suara bising yang kerap menghantui tidur dan jagaku. Ini merupakan fase yang dulu pernah menghiasi, kini bayangan itu kembali lagi.

Pilihan memang ada di tanganku. Tidak kupungkiri itu. Namun, aku memang memilih untuk mengingatnya selalu, bukan melupakan kenangan indah itu. Kini, yang harus aku lakukan adalah berdamai dengan bayangan itu. Jujur, bayangan itu memang menjanjikan keindahan. Tapi, aku takut bayangan itu tak ubahnya harapan kosong yang menawarkan kerinduan.

Suatu waktu, aku bermimpi bertemu dengan dirinya. Puji-pujian aku haturkan kepada Tuhan atas keindahan ciptaan-Nya. Sinar yang hangat menyelimuti tubuhnya. Bukan aura dingin yang biasa aku temui saat melihat wujud nyatanya. Bayangan itu hadir dalam pesona kelembutan. Buah kenikmatan yang kerap menghiasi setiap surga para pencinta.

“Kau adalah khayalanku. Kau datang dalam wujud yang sempurna. Di sini, aku ingin mengatakan bahwa cinta ini sudah merasuk ke jiwa, bukan lagi raga. Cinta ini telah mengendap dan membatu di hati. Kini, kau adalah mimpiku, dan aku enggan terbangun dari itu. Cintaku menatap di sini, namun ragaku ada di dunia nyata yang hanya menawarkan nestapa,” tuturku dalam mimpi itu.

Tiada gusar dalam hati ini sangat aku mengucapkan kata cinta itu. Ini adalah imaji yang menyoroti alam dunia dan membentuk keberanianku untuk merapal kata rindu. “Aku merindukanmu. Aku merindukan pembicaraan yang lalu. Ketika kau masih kerap menyambangiku kala malam menjelang, dan aku pun senantiasa terpesona oleh wajah letihmu,” ungkapku.

“Kini, malam-malamku terasa sepi. Dalam bunyi senyap, aku melalui. Tak ada yang bisa kulakukan di sana. Ketika dulu, aku bisa menanti hadirmu, menunggu singgahmu, dan melihat pesonamu. Kini, dunia ini berhenti bergulir. Aku kerap terpana saat hanya bisa melihat punggungmu, tanpa kau berbalik melihatku. Sedih memang, tapi inilah jalanku,” kataku kepada bayangan itu.

Kekalutan membangunkanku dari mimpi indah itu. Kembali, di depanku berdiri sebuah masjid megah. Namun, awan biru kini mulai pudar. Cahaya jingga pun senantiasa menghilang berganti malam yang kelam. Dunia diliputi aroma kesejukan dari sang putri malam. Kidung rindu dari Sang Pencipta pun kembali mengalun, memanggil umat-Nya.

Lalu, aku melihat sesosok wanita dalam bayangan itu. Dia menjelajahi jalan menuju ke aran Taman Surapati. Ketika berbelok, dia menghilang. Tak ada kerumunan di sana. Jalan raya pun tidak dipenuhi kepadatan para pengguna kendaraan. Namun, wanita itu menghilang. Aku jatuh terduduk. Nyata sekali bayang itu, bukan imajinasi yang aku percayai dahulu.

Sesalku kini atas apa yang memisahkan aku dan dia. Gontai aku melangkah menuju Sunda Kelapa. Aku penuhi panggilan-Nya. Sama persis ketika aku dan dia memenuhi panggilan itu beberapa waktu silam, dan dia berkata “baru kali ini aku kesini. Masjidnya indah dan megah.” Kata-kata itu selalu terngiang di benakku. Sisa kerinduan dan bayangan dirinya ketika itu.

Lalu, sebuah lagu mengalun rindu. Astrud Gilberto bersenandung lagu "Dreamer" ditemani iringan piano dari Antonio Carlos Jobim. Sayup-sayup aku terbuai senja yang berganti malam, terang yang tertutup tirai kelamnya sang rembulan. Lamunan tak kuasa kuhirau, bunga cerita terlena dalam perang antara benci dan rindu. Kini, hanya kidung yang mengalun mesra.

"Why are my eyes always full of this vision of you? Why do i dream silly dreams that i fear won’t come true? I long to show you the stars, caught in the dark of the sea. I long to speak of my love, but you don’t come to me."

No comments: