Sunday, August 7, 2011

Pendidikan Film? Perlu!

Saat maraknya pembatasan pajak film impor, Indonesia digempur oleh film-film bertema serupa yang cerita horor atau thriller dibumbui adegan vulgar. Jika melewati sejumlah bioskop, Anda bisa menemukan poster film-film itu. Judulnya tak jauh dari pocong, hantu dan kuntilanak. Kualitasnya pun menyedihkan. Meski bergenre horor, poster film itu malah memajang gambar cewek molek dan seksi berbaju minim. Tak jarang pula, sang sutradara film mengikutsertakan artis porno dari luar negeri.

Yah, beginilah kondisi perfilman di Indonesia saat ini. "Mengenaskan. Banyak pihak yang membuat film dengan menekan biaya serendah mungkin, namun bisa meraup penonton. Mereka tidak mementingkan kualitas, simpel dan hanya asal jadi," kata Program Coordinator Film BINUS INTERNATIONAL, Tito Imanda, M.A. saat ditemui di Kampus Joseph Wibowo Center, Senayan, Jakarta Pusat, Jumat (5/8).

Kendati begitu, tidak menutup fakta bahwa masih banyak insan-insan perfilman yang masih setia untuk melahirkan karya-karya yang menakjubkan. Hal ini meski konsistensi mereka harus dibayar dengan merogoh kocek dalam-dalam sebagai biaya produksi film itu. Yang terang, karya mereka mendapat antusias lebih besar dari masyarakat. Sebut saja, Laskar Pelangi, dan sederet film sejenisnya.

Hal ini merupakan salah satu imbas kurangnya layar bioskop di Indonesia. Tercatat, saat ini hanya ada 600 layar bioskop di Tanah Air. “Lantaran banyaknya film-film asal jadi, film-film bagus harus kalah dalam antrean. Sebelum beredar lama, film-film itu sudah keburu ditarik dari peredaran, dan kembali digantikan oleh film-film lainnya,” ungkap Tito Imanda.

Pentingnya Pendidikan Film

Untuk mendongkrak kualitas baik film maupun sumber daya manusianya, diperlukan pendidikan film. Hal ini diamini oleh Tito. Menurut Tito, industri film di Indonesia tidak bisa menggantungkan nasib di tangan para pembuat film “asal jadi” itu. Bahkan, untuk membuat film tersebut, tidak diperlukan insan yang notabene adalah lulusan sekolah perfilman.

“Membuat film murah tidak diperlukan lulusan sekolah film. Mereka bisa memakai orang luar yang mungkin belajar otodidak. Agar ongkos produksinya murah, mereka pun menggunakan orang-orang nonlulusan sekolah film,” terang lulusan New York University ini.

Kehadiran sekolah film sangat berpengaruh terhadap lahirnya SDM dan film berkualitas. Sayangnya, hanya ada dua sekolah film di Indonesia, salah satunya adalah jurusan film yang ada di BINUS INTERNATIONAL. Tentunya, hal ini berbanding terbalik. Banyaknya produksi film Indonesia dan kuantitas SDM tidak sebanding dengan jumlah sekolah film.

Hambatan Mendirikan Sekolah Film

Untuk mendirikan suatu instansi, tak pelak banyak kerikil-kerikil yang menghadang. Apa sih hambatannya untuk membuat sekolah? Tito menjelaskan jarang ada orang yang ingin menanam investasi untuk mendirikan sebuah sekolah film. “Orang itu musti nekat,” tegas Tito. Selain itu, kata Tito, fasilitasnya pun cukup mahal.

Tito menuturkan pula sangat sulit untuk mencari orang yang bisa dan handal mengembangkan program di sekolah film. “Untuk mengajar di sekolah film, para dosen harus mengemban gelar sarjana strata 2. Coba saja, siapa yang lulusan S2 perfilman? Untuk mencari orang S2 di film, susahnya minta ampun. Bagi orang film, tidak perlu gelar untuk membuat suatu film, terlebih S2,” kata Tito.

Bukan hanya itu, ihwal perizinan pun masih memiliki kendala yang cukup pelik. Seyogyanya, untuk mendaftarkan suatu sekolah tinggi terkait perizinan, harus melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) Kementerian Pendidikan Nasional. Jika sudah terdaftar, maka suatu instansi boleh mendirikan sekolah tersebut.

“Nah, membuat izinnya saja jungkir balik. Sulit mencari orang yang bisa menulis proposal ke Ditjen Dikti. Orang tersebut tentunya harus menguasai analisis terhadap satu masalah, memiliki wawasan luas tentang industri perfilman, pengalaman teknis, mengetahui kurikulum ideal yang akan diajarkan serta mencari dosen-dosen yang menguasai perfilman,” terang Tito.

Peranan Sekolah Film

Sejauh ini, imbuh Tito, lembaga pendidikan formal, khususnya di bidang film, telah menjalani fungsinya dengan baik. Banyak sineas muda yang merupakan cetakan dari sekolah film. Mereka cukup sukses mengembangkan dan memberikan kontribusi bagi dunia perfilman di Indonesia.

“Untuk BINUS sendiri, jurusan film tergolong baru. Kita belum bisa mencetak lulusan di dunia film. Namun, sejauh ini, kita sudah bisa menabung alias mempersiapkan pembuat film di masa depan. Meski belum lulus, anak-anak BINUS sudah mengikuti beragam acara di luar. Potensi-potensi mereka pun sudah terlihat,” tutur pria yang sempat mengenyam pendidikan S1 di Universitas Indonesia ini.

Sebenarnya, setiap orang bisa membuat film tanpa harus duduk di bangku sekolah film. Toh, banyak pula lembaga pendidikan nonformal bagi orang yang berminat terjun ke dunia film. Tapi kebanyakan dari mereka hanya menawarkan pelatihan skill. “Pendidikan tidak masalah. Namun, apakah SDM itu bisa membuat film yang bagus atau tidak? Ini kan artinya sudah berbicara kualitas,” terangnya.

Selain itu, banyak pula lembaga nonformal di Indonesia yang menawarkan pendidikan film. “Sebut saja, sekolah-sekolah film yang menjanjikan gelar Diploma 3. Ini bisa menjadi alternatif kok,” ujar Tito.

Harapan Terhadap Dunia Film

“Baiknya, sebelum kita berbicara tentang pendidikan film, saya lebih dulu berharap untuk perfilman di Indonesia agar ditambah lebih banyak lagi layar bioskop,” ujar Tito, berharap. Alasannya, kata Tito, jumlah 600 layar bioskop di Tanah Air tidak sebanding dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 240 juta jiwa. Dengan bertambahnya layar bioskop, tingkat produksi film serta minat menonton masyarakat pun menjadi melonjak.

Nah, setelah layar bioskop ditambah, Tito pun mengharapkan agar sekolah film di Indonesia diperbanyak. “Ya, saya sih inginnya agar tiap daerah punya sekolah film masing-masing. Itu harapan saya,” tukas Tito, menutup pembicaraan.

(ras/05082011)

No comments: