Thursday, March 1, 2012

Dua Anak Manusia di Telaga Senja

Sore itu, aku menyusuri Jakarta Pusat. Mencari tempat singgah dan merengkuh inspirasi. Sepeda motor melaju tak kencang, namun tetap terkendali. Di jalan, terdengar bising klakson dari mahluk yang tak mengenal peribahasa "sabar itu disayang Tuhan." Yang dikenal malah peribahasa “Orang sabar pantatnya lebar.”

Tampaknya, peribahasa itu sudah basi seiring dengan perkembangan zaman. Bagaimana orang ingin bersabar? Toh, banyak hal yang kini bisa diperoleh hanya dengan menjentikkan kedua jari alias instan. Sabar pun semakin langka dicari dimana-mana. Kata sabar pun hanya digunakan jika manusia tertimpa bencana.

Aku cuek. Tidak peduli, yang penting sepeda motor tetap melaju. Meski diselimuti abu jalanan dan debu-debu yang tidak bersahabat. Terbukti, "hachiiiuu!!" Hidung gatal dan menuai bersin yang sangat kencang. Kendati tertutup helm, suara bersin ini sempat memancing antusias pengguna jalan.

Jalan Cikini Raya kususuri. Tampak, Taman Ismail Marzuki dipenuhi belasan manusia berambut gondrong. Tarzankah? Orang hutankah? Bukanlah tentunya. Mereka adalah seniman yang berkumpul di pelataran TIM. Mereka berupaya memotret senja dengan tinta dan kertas. Ada pula yang mengabadikannya dengan cat dan kanvas.

Sampailah aku di tempat tujuan. Danau Situlembang, sebuah situ dan telaga di tengah belantara rimba beton Ibu Kota Jakarta. Pinggiran danau tersebut masih dikelilingi oleh rumput hijau dan pepohonan yang rindang. Letak danau itu boleh dibilang berada di antara lingkungan elit Menteng.

Senja di Danau Situlembang. Banyak pasangan yang datang ke sana, hanya untuk bercengkerama dan berbicara. Ada pula satu keluarga yang datang khusus membawa anak mereka yang masih bayi untuk berjalan-jalan di sekeliling danau. Anak sekolah enggan ketinggalan, nongkrong di area danau.

Di sekitar danau, sejumlah manusia mencoba peruntungan. Menggunakan kail dan sedikit umpan, mereka duduk di pinggiran danau. Pancingan pun dilempar, bokong menyentuh tanah. "Sedap!" Mereka memancing seraya ditemani makanan dan rokok yang tersulut. Sekali dua kali hisap, ikan tak kunjung datang. Peduli setan.

Ada rona kesejukan kala aku melihat danau tersebut. Meski tidak jernih, airnya cukup mengundang manusia singgah dan bermain dengannya. Di tengah danau, terdapat sekumpulan bunga teratai. Sayang, bunga itu layu, tak terawat. Entah mengapa, padahal hujan selalu menaungi Jakarta beberapa hari terakhir.

Banyak tempat duduk yang terisi. Maklum, Situlembang tidak pernah sepi pengunjung. Entah kemana lagi mereka bisa menikmati suasana danau di tengah riuh Ibu Kota yang isinya hanya gedung dan jalan. Sedangkan di Situlembang, mereka dapat menghirup udara yang cukup segar dan jauh dari polusi.

Tempat duduk tidak ada, rumput pun menjadi sasaran bagi peraduan bokong yang sudah pegal ini. Aku keluarkan beberapa lembar kertas dan sebuah pena. Hanya ingin mencoba untuk mengabadikan senja yang indah ini di Danau Situlembang, seraya menyambut datangnya bulan yang akan bertugas nanti malam.

Aku pun menulis:

Senja yang menjingga di sebuah danau. Tiada tersentuh oleh polusi Ibu Kota. Di sini, Ibu Pertiwi bisa tersenyum mesra, merangkul manusia-manusia dengan tangan lembutnya. Suasana yang asri, lambang keagungan sang Ibu Pertiwi. Mahligai senja, bertabur sejuta angan dan asa para pencinta.

Dua manusia menyambangi danau yang diselimuti wangi buana. Mereka saling berbicara dan bercengkerama. Mencoba menikmati indahnya suasana. Menghilangkan sejenak penat di kepala. Melihat danau yang bertabur cahaya sang surya. Mencurahkan segala angan dan harapan di jiwa. Indahnya senja.

Aku melihat sang pria menatap wanita itu. Tatapan penuh cinta. Lonceng di hatinya terus berbunyi kencang dan tidak berirama. Dia tidak bisa mengendalikan rasa yang ada. Mungkin rasa itu bisa meledak kapan saja. Bagaikan bendungan yang akan hancur oleh derasnya air, itulah cinta.

Sesekali sang wanita berbicara, namun berkali-kali sang pria mengeluarkan kata. Wanita itu cantik hati dan rupa. Aku bisa melihat dari matanya. Sebuah keindahan yang diciptakan oleh Semesta. Apakah pria itu jatuh cinta kepadanya? Dari tatapan, sang pria dibuai asmara. Sang Smara memeluknya mesra.

Namun, bagaimana dengan sang wanita? Entahlah. Banyak rahasia di hatinya. Berupaya, dirinya menutupi rasa. Bagaikan tirai yang tidak pernah tersingkap, seolah tak ada pria yang bisa menguaknya. Tapi, itulah mungkin yang membuat sang pria jatuh cinta. Sebuah rasa yang terendap, tapi penuh makna.

Sesosok wajah yang dingin, namun penuh kehangatan ketika kata-kata meluncur dari mulutnya. Obrolan pun tercipta, rangkaian kata yang berimbuh kini menjadi beberapa kalimat berima. Bukan puisi yang kudengar, melainkan prosa yang memiliki banyak ragam kata, dan terus mengalir sepanjang masa.

Aku menyaksikan keduanya menatap danau di depan mata. Seolah, danau tersebut sarat dengan unsur magis di dalamnya. Aneh memang, karena itu hanyalah sebuah telaga, tidak kurang dan tidak lebih. Mungkin suasana yang menghipnotis mereka, sehingga kedua mata terpaku dan terkadang saling menatap.

Mendung mulai menyingkir. Matahari jingga mulai tampak dan bersinar. Sinarnya menerobos sela-sela pepohonan yang rindang. Terciptalah suasana kerinduan, ketika air danau memantulkan sinar berkah dari Batara Surya. Kelap-kelip warna danau, pantulannya tiada silau dan tiada benderang.

Di depan mereka, matahari tersenyum. Tampaknya, sang surya sudah lelah karena seharian memberikan anugerah kepada para mahluk bumi. Secercah sinar terang yang membuat daratan dan lautan menjadi terlihat jelas oleh mata. Kini, mentari hendak kembali ke peraduan. "Selamat tinggal buana," ucap sang mentari.

Bulan sudah menampakkan bentuknya. Malam pun kelam mencekam menyimpan sejuta rindu dendam. Kedua cucu Adam dan Hawa itu tak kunjung beranjak. Mereka terus berbicara dengan hidup dan harapan. Saat itu danau pun senyap. Hanya ada suara gemericik air dan wangi rimbunya dedaunan yang bertebaran. Percik pesona.

Tiba-tiba, perbincangan pun selesai sudah. Kedua beranjak meninggalkan sejuta kenangan ketika senja berganti malam. Tentunya, mereka menaruh kenangan pula pada danau yang menjadi saksi obrolan mereka. Entahlah apakah mereka saling mencinta. Namun, aku mendengar bunyi lonceng yang sayup-sayup kerap berbunyi di hati sang pria.

Bersambung...

Selesai sudah bagian pertama prosaku. Aku sambung lain waktu. Sebab, keduanya telah beranjak sebelum aku tahu bagaimana nasib mereka. Apakah mereka akan menjadi sepasang kekasih dan disatukan oleh cinta? Mungkin di lain hari, aku bisa bertemu mereka dan menanyakannya. Semoga mereka mau menjawabnya.

Kini, aku pun pergi dengan bokong yang diselimuti tempelan rumput-rumput hijau. Lumayan, prosa ini terangkum dalam beberapa halaman. Lagi pula, pegal juga menulis hanya beralaskan rumput seperti ini. Tapi, memang inspirasi dan ide didapat dengan ragam cara, baik yang mudah maupun susah.

Yang pasti, inspirasi kebanyakan susah untuk didapat. Begitu pula cinta. Tidak ada yang mudah jika kita ingin mendapatkan cinta sejati. Sebuah cinta yang dinaungi oleh sentuhan malaikan-malaikan yang memainkan senandung bahagia dan nestapa. Tapi, itulah esensi dari mencinta, susah maupun senang selalu bersama-sama.

Hari sudah malam. Saatnya kembali ke peraduan. Sepeda motor kusambangi, kupanaskan dan bayar parkir. Langsung, aku tancap gas dan pulang ke rumah. Dalam perjalanan, masih terbersit bayangan kedua anak manusia itu. Dan, terbayang pula suasana keindahan danau di waktu senja tiba.

(RAS/01032012)

No comments: