Monday, March 26, 2012

Angkringan, Tempat Mengadu di Senja Kala

Lagi-lagi sore, lagi-lagi hujan. Air deras membelah bumi. Satu persatu warga pun menyingkir ke pinggiran, mencari tempat berteduh agar terhindar dari cipratan dan percikan air. Ada pula yang nekat menerobos derasnya hujan, meski jarak pandang tidak jauh. Mungkinkah mereka mengandalkan intuisi, tanpa melihat jalan.

Belakangan ini, hujan memang menghiasi Ibu Kota Jakarta. Genangan airpun memoles wajah ibu pertiwi, seraya menutup lubang di ruas jalan. Begitu bencinya para pejalan kaki dengan kolam kecil ini. Apa pasal? Ketika mobil atau sepeda motor melaju kencang sambil menerobos genangan, siapa lagi korbannya kalau bukan warga yang bertengger di bantaran jalan.

Menanggapi ini, paling-paling mereka hanya bisa menghujat dan mencela oknum tersebut. Kata-kata kotor kerap kali terlontar “monyet”, “sialan”, “bedebah” dan sejenisnya. Tapi, percuma pula. Oknum itu tidak mendengar, terhalang tebalnya helm (bagi sepeda motor) dan kaca yang berisi alunan musik kencang serta suara berisik mesin (bagi pengendara mobil).

Banyak dugaan terbersit di benak. Mencari-cari alasan dan logika yang tepat menanggapi turunnya hujan. “Mungkinkah Tuhan saat ini tengah gemar menjodohkan senja dan hujan? Sehingga, duet maut itu selalu dipasangkan, terutama di penghujung hari sebelum bulan menampakkan wajah kelamnya dan mentari akan beradu ke sarangnya.”

“Ataukah Tuhan kini tengah membuat basah bumi yang sudah lama mengering ini. Ya, akhir-akhir ini, bumi dilanda gersang. Bagi sebagian orang, ini merupakan bencana. Kekeringan dimana-mana yang berbuntut pada kelaparan. Tak hanya itu, panas terik pun membuat main emosi manusia. Terkadang mereka marah, terkadang mereka reda saat diguyur segelas air dingin.”

Hampir lupa aku berkata. Sore itu, aku menanti hujan mereda. Ya, mungkin hujan tidak akan reda sepenuhnya. Rintik masih akan membasahi dunia. Kendati air tidak ada, percikan lumpur jalanan pascahujan pun cukup menuai kekesalan. Yang ada, aku hanya mengelus ada menikmati cipratan dari sepeda motor di depanku. Nasib, o, nasib.

Namun, itu belum terjadi. Hanya berdasarkan pengalaman sebelumnya, jika hujan pasti menyisakan ampas yang harus diterima oleh sejumlah manusia. Tak hanya cipratan maut, hujan pun menuai kemacetan yang tak kunjung mendapat solusi tepat dari pemerintah. Maklum, mobil dan sepeda motor berjubel memenuhi jalan, saling enggan mengalah satu sama lain.

Angkringan merupakan tempat yang cocok menikmati sore itu. Aku mencintai warung kecil ini. Nikmatnya secangkir teh manis hangat, sebatang rokok, serta beberapa penganan yang disediakan mas-mas pedagang angkringan. Kalau sudah begini, hujan pun terlupakan, meski suaranya mengalun deras. Percikan air pun bukan masalah. Yang tersisa hanya kenikmatan.

Warung model begini tampaknya sangat jarang ditemui di Jakarta. Berbeda halnya jika di Yogyakarta dan sekitar. Jangan tanya, angkringan bukan hanya menjadi tempat makan, tapi juga lahan nikmat untuk bertegur sapa, berbicara dan mengeluarkan uneg-uneg. Bila tidak ada teman, penjualnya pun rela memberikan telinganya untuk mendengar resah gelisah konsumen.

Dan sang pedagang, palingan memberikan solusi seadanya. Maklum, tak semua uneg-uneg bisa dimengerti oleh mereka. Wong, mereka pun punya masalah tersendiri. Ya tho mas? Manusia mana yang tidak memiliki masalah di zaman yang serba berkembang. Tidak hanya pertumbuhan, masalah dan problematika pun terus merebak bagai wabah epidemi.

Kendati demikian, para pedagang itu cukup lihai membuat konsumen terkesima dengan caranya menjawab. “Mas, saya lagi deketin cewek nih. Gimana yah? Saya suka banget sama dia,” terangku kepada sang penjual. Dan, dia berkata “yah mas, jodoh nggak akan lari kemana. Wong, Tuhan pasti punya rencana buat kita semua.”

Jawaban seadanya. Cenderung normatif. Tidak solutif. Tiada embel-embel administratif. Lugas, tegas, dan terpercaya. Cukup menghentak dan membuatku berhenti berkeluh kesah. Tapi, jawaban itu cukup membuat semangat yang padam, kembali berkobar. Dan, aku pun berkata kepada si mas “jadi gitu yah mas. Kita harus semangat!” seraya disambut anggukan si mas.

Cinta mungkin menjadi pembicaraan yang nikmat untuk hati yang dilanda resah. Seolah, merapal nama sang pujaan hati pun sudah membuat mental yang jatuh, kembali bangun dan tegak berdiri. Ingin terus aku mengucap nama dirinya di depan si mas. Tapi, percuma. Si mas pastinya tidak kenal dengan malaikat yang merenggut hati kecil ini.

Sekadar intermezzo, sore dan hujan mengandung lamunan para pujangga yang tengah memadu kisah menjadi suatu naskah. Sambil mereka menggores tinta, tak segan pula meremas bagian kanan otaknya. Harapannya, semoga inspirasi dan kreativitas mau berkompromi dengan suasana. Tinggallah, kepala sebelah kiri cemburu lantaran tidak diremas.

Sineas legendaris asal Prancis, George Melies, pernah berkata “film memiliki kemampuan untuk menangkap mimpi.” Pernyataan ini relevan dengan karya-karya Melies. Sebut saja, pada film bisu La Voyage Dans La Lune, Melies menggambar adegan per adegan ketika sekelompok manusia akan pergi ke bulan. Suatu hal yang mustahil dan sekadar mimpi saat itu.

Film itu menggambarkan sangat mudahnya bagi sekelompok astronom untuk berangkat ke bulan. Diawali dengan konferensi para astronom tersebut sehingga mereka memutuskan untuk bertualang ke bulan. Untuk menuju ke sana, para astronom itu masuk ke dalam kapsul dan ditembakkan dengan meriam super panjang. Sampailah mereka ke bulan. Segampang itu.

Itu adalah versi seorang sineas. Lalu bagaimana dengan penulis? Pernahkah Anda mendengar tentang Jules Verne, seorang penulis berkebangsaan Prancis. Dia pun menciptakan karya tulis dalam bentuk novel yang umumnya mengisahkan petualangan hebat. Mungkin, petualangan itu hanya bisa diwujudkan di dalam mimpi atau di masa depan.

Tengok saja, kisah Around the World in Eighty Days. Dalam novel itu, seorang ilmuwan Phileas Fogg ditantang untuk berkeliling dunia dalam kurun waktu 80 hari. Hal yang mustahil di masa itu, mengingat tidak ada alat transportasi secepat pesawat. Hanya mengandalkan balon udara dan kereta api, Fogg dan asistennya, Passpertout, pun berhasil menjawab tantangan itu.

Kembali ke angkringan. Tidak hanya cinta, para konsumen pun kerap mengajak ngobrol penjual dan sesama konsumen dengan topik seputar dunia politik, penguasa yang lalim serta pemerintahan yang bobrok. Untuk hal ini, aku angkat tangan. Sungguh memusingkan bertemu dengan orang-orang yang berbicara masalah politik.

Aku punya alasan tersendiri. Politik adalah sebagian kecil elemen dari negeri yang dahulu bernama Nusantara ini. Satu elemen itu bisa melebar dan menimbulkan imaji buruk bagi Indonesia, ketika terus menerus diangkat dalam sebuah pembicaraan. Akibatnya, banyak orang menganggap Indonesia negara bobrok, padahal itu hanya dari kacamata politik saja.

Beruntung, obrolan di angkringan tidak seberat yang ada di layar televisi atau di gedung MPR/DPR. Pembicaraan hanya seputar lapisan atasnya, tidak merambah ke bagian dalam. Sehingga, obrolan itu masih bisa dinikmati seraya menyeruput pinggiran gelas teh manisku dan menghisap dalam sebatang rokok yang menanti gusar. “Uhuk, uhuk!”

Jarang ada orang yang mengangkat topik budaya di angkringan. Topik ini tidak menarik mungkin. Karena jarang ada masalah yang signifikan di ranah budaya. Betapa tidak, angkringan menjadi lahan bagi kaum marjinal untuk mencari penganan dan keluh kesah. Umumnya, mereka memikirkan poltik yang tentunya berimbas pada kebijakan ekonomi. Persetanlah dengan budaya.

Budaya itu mungkin hanya bisa dieksekusi dan tidak diobrolkan. Sebab, budaya merupakan ranah yang bisa dijalankan oleh pribadi masing-masing, bukan hanya sekadar wacana di warung kopi. Permasalahan krusial, namun tidak pantas bila hanya berbentuk dialog di warung kopi. Sebab, budaya harusnya dieksekusi bukan dipikirkan, jika memang sudah mencapai tahap krisis.

Pokoknya, obrolan apa saja bisa menjadi topik hangat. Cukup hangat untuk membuat tubuh ini terhindar dari dinginnya suasana hujan yang kian lama semakin deras. Merapatlah para pengunjung angkringan, menghindar dari percikan air dan genangan yang kian meninggi. Sepatu sudah terendam, beberapa senti bangku sudah tak nampak lagi.

Hal-hal seperti ini mungkin hanya bisa ditemui di angkringan. Ketika antara pedagang dan konsumen tidak ada sekat. Coba bandingkan dengan restoran fast food. Mungkin aku pun tidak mengenal siapa nama penjual, kecuali dia menyambangi satu persatu meja konsumen. Tapi, mustahil. Letih sekali bila dia singgah di hadapan para tamu yang jumlahnya tidak sedikit.

Kalau di angkringan, penjual dengan jelas bisa melihat wajah konsumen. Sejelek dan seganteng apapun pasti terlihat, meski cahaya penerangan di sana bisa dibilang muram dan seadanya. Tapi, tidak ada etalase yang memisahkan antara kedua belah pihak. Yang memisahkan hanyalah gerobak dan penganan-penganan, seperti sate kulit dan nasi kucing.

Sore mulai berganti malam. Malam kini mulai memancing inspirasi para pujangga yang sudah kehabisan ide. Tangan pun bergerak, mencoret-coret kertas yang putih tanpa noda. Kini, noda berbentuk tulisan itu sudah memenuhi beberapa halaman. Ini meski prosesnya tidak segampang itu, setidaknya begitulah gambaran bila seseorang menulis alunan syair indah.

Aku hanyalah amatir. Menulis kulakukan bila hati ini sedang terjerat Dewa Sang Smara. Seperti saat ini, tulisan mengalir deras, inspirasi bergejolak bagai ombak di tengah laut lepas. Tapi, tulisan ini hampa karena tidak ada dirinya. Ya, dirinya yang nyata, bukan hanya sekadar guratan tinta di sebuah kertas, dan kertas yang kini sudah memiliki tuan.

No comments: