Tuesday, March 20, 2012

Gone With The Wind

Rekam jejakku kini. Ketika waktu bergulir pada 14 Januari, aku menanti datangnya dia. Jam berdetak, sayup-sayup tanpa irama. Pukul 14.00 WIB telah berdentang, dan dia pun tiba. Berpakaian hijau, dia tersenyum dengan ramah, penuh jatmika. Aku membalas senyumnya. Lalu, aku dan dia beranjak menanggalkan segala suasana di sana.

Sepeda motor melaju pelan tapi pasti. Aku tersenyum dibalik helm yang meniti. Dia diam seribu bahasa, membisu tanpa aksi. Namun, aku senantiasa tiada menyepi. Berupaya menciptakan suasana nan asri. Meski debu Jakarta menuai benci. Aku tetap menyungging senyum, lantaran hadir seorang malaikat di sisi. Tiada kuduga, tiada kusangka, hatipun mulai tercuri.

Aku susuri bilangan Casablanca, daerah yang penuh dengan hiruk pikuk manusia, tepat di depan Mal Ambassador. Hari itu adalah hari ramai nasional. Maklum, Sabtu adalah saatnya manusia berbelanja, atau hanya sekadar mencari tanpa ada yang dibeli. Tapi, kemacetan kuterobos. Aku melaju berlomba dengan matahari yang hendak tertutup awan mendung, dan kelabu.

Pasar Festival, Kuningan, Jakarta Selatan, adalah tempat yang kutuju. Aku ingin menghabiskan senja di situ. Sembari, menemani dirinya mencari buku. Pasar Festival dipenuhi lembayung biru. Ya, biru di hatiku yang dirasuki oleh suara lonceng yang mengganggu. Ketika sebuah kayu memukul lonceng itu. Tapi, kali ini lonceng berbunyi pasti, tanpa meragu.

Sebuah toko buku menjadi persinggahanku. Aku persilahkan dirinya untuk menikmati ratusan buku itu. Ya, rak yang tinggi menjulang merapat di selasar toko buku yang cukup sempit. Di sana, buku-buku bekas bergelimpangan. Mulai dari karya sastra, komik hingga buku literatur. Surga para pencinta buku-buku usang, begitulah biasanya aku menyebut tempat itu.

Aku menuju rak yang menyimpan karya-karya sastra. Sedangkan, dia berplesir di dunia novel-novel tua dengan cerita-cerita yang cukup berat bagiku. Naskah Macbeth karya William Shakespeare berada di genggamanku. Bacalah buku itu dengan perlahan. Namun, mata ini tak bisa lepas dari malaikat itu. Dia menuai pandangku, selalu.

“O Tuhan, aku menyukai karya Shakespeare. Bahkan, seorang presiden pun tak akan sanggup membuat aku berpaling dari karya itu. Bagaikan dirasuki pujangga-pujangga masa lalu, aku terpaku jika membaca karya-karya Shakespeare. Tapi, dia merapalkan panaku. Aku terbius oleh lamunan dan gubahan elegi yang melukiskan rasa cinta dan asmara perdana.”

Aku menyambangi dirinya. Upaya melihat apa yang dibaca olehnya. Ternyata, sebuah buku novel karya Stephen King. “Aku tidak pernah melihat karya King yang satu ini diangkat menjadi film. Apa mungkin aku yang tidak pernah menyadarinya?” kata dia seraya mengumbar senyum. Pun aku membalasnya dengan senyum dan berujar “tidak semua karya King difilmkan.”

Adapun Stephen King merupakan salah seorang novelis terkenal. Karyanya rata-rata mengambil tema horror dan thriller. Tak jarang, karya-karya Stephen King diangkat menjadi film karena ceritanya yang terbilang cukup mencekam, tanpa dibumbui oleh sosok-sosok mahluk fiksi yang berwajah absurd dan menakutkan.

Berulang kali dia menjelaskan kepadaku tentang buku-buku bagus yang pernah dibacanya. Pula dengan diriku, yang selalu berbagi cerita mengenai catatan-catatan yang kupelajari. Buku, itulah benang merah antara aku dan dia. Hanya masa dan jenisnya saja yang membedakan. Namun, aku senang dengan persamaan itu. Sepasang kutu buku berlainan dunia.

Sebuah paket buku menjadi perhatianmu. “Gone With The Wind”, judulnya yang dibagi menjadi empat buku. “Aku pernah menyaksikan film ini. Sebuah film tua yang memiliki kisah sangat bagus, dan menyentuh. Aku ingin membaca bukunya. Memang, aku pernah melihat filmnya, tapi aku juga ingin membaca buku itu,” pungkas dirinya, seraya menunjukkan raut wajah gelisah.

Apa yang membuat dia gundah? Suatu keinginan yang tidak bisa dipenuhi seluruhnya. Saat itu, dia telah menggenggam dua buku di tangan. Tak kuasa dirinya membawa satu buku lagi. Terlebih, sudah cukup buruan bukunya hari itu. Hanya ada keinginan, namun tidak terpenuhi tentunya. Aku lagi-lagi hanya tersenyum, menikmati kegundahan itu.

Dalam pencarian itu, aku berupaya untuk memancing dia bercerita. Aku suka mendengar dia menuturkan suatu kisah. Kendati dia sejatinya adalah pendengar yang baik. Aku ingin memasang telinga ini untuk menikmati kisah dari seorang pendengar yang baik, seperti dia. Jangan hanya dia yang selalu mendengar, toh dia pun perlu untuk didengar.

Pencarian pun dilanjutkan. Kini kegundahan melanda diriku. Upaya nyaris nihil. Pada ghalibnya, dua karya Dono sudah di genggamanku. Namun, usai diperiksa, dua karya itu nyatanya kekurangan halaman. Ada beberapa bagian yang copot. Padahal, keduanya merupakan warisan sastra lama. Pengarangnya pun mumpuni: Dono, yang juga dikenal sebagai pelawak gaek.

Bergantian kini. Dia menertawakan kegundahanku. Dan aku pun hanya bisa tersenyum tersipu, seraya memasang raut muka bodoh dan bingung. Tak kugubris tawanya, aku pun lalu mengubah sipu bibirku menjadi dua sisi yang merentang ke atas. Senyum lebar. Waktu demi waktu berlalu. Tanpa terasa, senja telah melewati masanya. Bulan kini menjulang tinggi di angkasa.

Saatnya untuk berhenti berburu. Lupa waktu memang bila terus menerus berada di sebuah toko buku. Apalagi, toko buku itu menyediakan benda-benda tua dan menguning ditelan kejamnya zaman. Pastinya, banyak hal yang ingin digapai, sebagai upaya untuk napak tilas suatu peristiwa lampau yang sudah direndam oleh air keabadian.

Beranjak dari tempat itu memang sulit. Sebab, masih banyak buku-buku tua yang ingin digali. Namun, apa daya. Hari ini bukanlah selamanya. Besok hari lain akan datang dengan sejuta misteri. Ketika keluar dari Pasar Festival, langit gelap. Bintang yang kian menurun jumlahnya tampak menyepi di angkasa yang terbentang luas. Indah mahligai Putri Malam.

Siapa nyana, perut berbunyi mesra. Mengajak kekasihnya, sang mulut, untuk mengunyah dan mengasupkan makanan kepada sang perut. Jika tidak, perut ini akan terus berbunyi mengalunkan musik keroncong, dengan tempo yang sangat cepat, sehingga sang empunya perut akan kelaparan. Akhinya, perhentian aku dan dia adalah makan malam.

Bukanlah di tempat mewah memang, karena kemewahan hanyalah sebuah formalitas, kedok kaum borjuis untuk menunjukkan kekayaan kepada para kaum marjinal. Sebuah lambang feodalisme yang kontras dengan kehidupan masyarakat Indonesia yang saat ini masih mengais nasi aking hanya buat makan malam. Hari ini makan, belum tentu besok, itulah pemikiran mereka.

Di sebuah tempat makan yang sederhana, aku dan dia mengadu nasib yang sama. Lapar saat malam menjelang, dan duli yang sirna ketika makanan tiba di hadapan. Malam mencekam. Suasana di sekitar tempat itu namun begitu hangat. Hanya ada segelintir manusia. Sebut saja, mahasiswa, penghuni Stadion Soemantri Brodjonegoro, dan beberapa petugas keamanan.

Aku dan dirinya duduk di sisi meja makan yang berbeda. Kami berdua saling berhadapan. Aku bisa melihat jelas binar mata di balik kaca matanya. Sebuah cermin ciptaan semesta yang berada di kedua bola mata. Sepasang mata dingin yang senantiasa membekukan apapun yang dilihatnya. Namun, aku lawan hawa dingin itu dengan kehangatan. Semoga berkenan, kataku.

Kendati tersekat kaca, tatapan itu kontan membawa jiwaku. Bagaikan melayang astral ke dunia lain. Lalu, sayup-sayup aku mendengar elegi kerinduan dan mahligai cinta. Menyesaki seluruh otakku, sebuah pandangan yang aku isyaratkan sebagai rasa nyaman. Lagu itupun terus mengalun. Aku mendengar suara gitar dan piano berpadu dengan nyanyian para dewi. Mereka bersyair:

The look of love is in your eyes
A look your smile can't disguise
The look of love is saying so much more,
than just words could ever say
And what my heart has heard,
well it takes my breath away
(The Look of Love/Burt Bacharach)

Hanya Semesta yang tahu bahwa aku jatuh cinta. Hanya Dia yang mengerti betapa aku meyakini cinta itu. Berawal dari sebuah perburuan mencari buku hingga tatapan yang syahdu, membuat bibir ini kelu dan hati kian terpaku. Ini adalah sebuah awal yang nantinya kan menjadi akhir. Entah sampai kapan, aku hanya ingin menikmati malam ini.

Dia terus berkisah, tentang kehidupannya yang riang dan terkadang nestapa. Tapi, dia bercerita dengan riak suara yang optimistis. Tampak, ketegaran yang berulang kali diuji beragam penderitaan. Sesosok jiwa yang terlihat tak pernah rapuh, karena cerita-cerita yang terlontar menandakan ketabahan dan kekuatan dirinya. Hanya dia dan Tuhan yang tahu.

Ada emosi yang menyempil di antara kesabaran yang membelenggu. Ada rona kemarahan di antara senyuman manis yang senantiasa menunggu. Pun aku bercerita tentang kehidupanku. Sebuah pertukaran jiwa yang sempurna, ketika aku dan dirinya berupaya saling mengerti kehidupan masing-masing. Saat itu, perbedaan ini membuatku sempurna untuk sesaat.

Tak seberapa lama setelah makan malam habis, sebuah kejutan pun muncul. Kembang api dengan beragam warna meluncur nun di sana. Menembakkan diri ke arah langit kelam yang penuh rindu dendam. Semarak pula suasana. “Seperti, tahun baru ya? Ada apa di sana?” tanya dia. Aku hanya menggelengkan kepala, dan menjawab “entahlah.”

Sebuah jawaban statis memang. Sebab, aku masih terpukau. Untuk apa Tuhan menciptakan suasana seindah ini? Apakah hanya intuisiku yang berkata seperti ini? Aku percaya, Tuhan tidak bermain judi untuk menentukan nasib kaum-Nya. Seluruh takdir, jodoh, kematian, rezeki, serta kehidupan, diatur dengan sempurna, dan bukan dengan kata “kebetulan” atau “ketidaksengajaan.”

Hari sudah larut. Jarum jam menunjukkan angka 23.00 WIB. Saatnya pulang. Aku enggan menyiksa dirinya dengan gempuran angin malam. Terlebih, saat itu udara melayangkan surat dingin kepada malaikat. Sepeda motor kupacu dengan kecepatan yang tidak kencang. Aku tak ingin angin menerpa dirinya dengan sangat kencang, apalagi di alam terbuka.

Berulang kali, aku bertanya “kamu kedinginan dengan jaket setipis itu.” Lalu, suara dibelakangku menjawab lirih “aku tidak apa-apa. Tidak kedinginan kok.” Kemudian aku pun melanjutkan perjalanan menuju tempat peraduan dirinya, ketika dia jauh dari rumah. Tepatnya, sebuah rumah kedua ketika jarak menjadi musuh bagi diri ini.

Sesampainya di sana, aku melihat punggungmu menghilang di kegelapan. Namun, aku tidak melihat kau menoleh ke arahku. Aku hanya bisa menghela napas panjang. Bukan hak diriku untuk mengharapkan sepasang mata yang menatapku ketika aku beranjak pergi. Aku mengerti dan lalu tersenyum, memacu sepeda motor ke rumahku.

Untuk saat ini, aku selalu mengingat kenangan ini. Menuliskannya sebagai suatu prosa yang berisi keindahan, bukan kesedihan. Setelah beberapa bulan kemudian, dia hilang entah dimana. “Gone With The Wind.” Aku merindukan sosoknya. Tak bisa kulepaskan mata indah, dan senyuman itu. Terbayang lalu dan kerap membawa nostalgia di hati itu. “Aku jatuh cinta kepadamu.”


Jika Tuhan memberikan pilihan
aku ingin hari ini menjadi abadi
Bila Tuhan memberikan putusan
aku mau hari esok seperti hari ini
Jiwaku dipenuhi dengan kerinduan
ketika waktu dan hari terhenti

No comments: