Wednesday, March 7, 2012

Kutipan Tan Malaka

Saat menghadap Tuhan, saya seorang muslim
Tapi, kala menghadap manusia, saya bukan muslim
(Tan Malaka/1922)

Penggalan kalimat merupakan kutipan dari seorang revolusioner bernama Tan Malaka. Kalimat itu dilontarkan oleh orang yang disebut sebagai Bapak Republik Indonesia itu, ketika berpidato di hadapan para peserta Kongres Komunis International ke-4 di Moskow, Rusia, pada tahun 1922.

Tan merupakan seorang visioner. Perspektifnya tentang Indonesia sudah dikemukakannya jauh sebelum Tanah Air ini merdeka. Kendati demikian, visi itu dimentahkan begitu saja oleh beberapa pihak. Hingga kemudian, namanya sempat hilang dalam sejarah, bagai buih yang musnah ditelan ombak lautan.

Gagasan tersebut muncul dalam tulisannya di salah satu brosur panjang bertajuk Naar de Republiek Indonesia atau Menuju Republik Indonesia. Dia menulis "Jiwa saya dari situ dapat menghubungi golongan terpelajar (kaum intelektual) dari penduduk Indonesia dengan buku ini sebagai alat."

Tulisan ini tercipta dalam statusnya sebagai orang buangan. Keinginannya kembali ke Tanah Jawa usai diusir dari Indonesia ditolak mentan-mentah oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda Dick Fock. Kontan, si mata nyalang ini geram. Betapa tidak, dia tak bisa ikut para bumiputera berjuang menyepakati kemerdekaan.

Karya Tan tidak begitu saja menyebar luas ke Tanah Air. Butuh waktu lama, sebelum tulisan ini diterima oleh para pejuang di Indonesia. Bahkan, hanya beberapa yang masuk ke Nusantara. Sebelumnya, buku ini kali pertama terbit pada 1925 di Kanton. Rekan-rekannya menerima cetakan kedua dari buku ini.

Singkat cerita, pria yang telah menyamar ke beragam negara ini, mewakili Partai Komunis Indonesia dalam Konferensi Komunis Internasional. Di sana, Tan bertemu para dewa komunisme, seperti Vladimir Lenin, Joseph Stalin, dan Leo Trotsky. Bagi akvitis komunis, nama-nama ini menjadi panutan maupun tutor bagi mereka.

Pan-Islamisme. Gagasan revolusioner ini dikemukakan Tan Malaka untuk mengawinkan antara komunisme dan Islam. "Komunis tak boleh mengabaikan bahwa ada 250 juta umat muslim di dunia. Pan-Islamisme sedang berjuang melawan imperialisme-perjuangan yang sama dengan gerakan komunisme," tutur Tan.

Di atas podium dengan bahasa Jerman yang patah-patah, Tan berbicara. Menawarkan konsep ini kepada para Bolsyewik. Usai berdiskusi, para Bolsyewik itu menentang gagasan dari Tan Malaka. Namun, pidato Tan yang menggelegar dan membangkitkan semangat menuai tepuk tangan, bahkan ovasi dari peserta.

Petikan pidato Tan bisa menyentil para dramatis persona yang memiliki topeng di hadapan manusia, bahkan di depan Tuhan. Ketika seorang manusia mengaku dirinya muslim yang dibungkus dalam wajah kemunafikan, apa yang akan mereka akui di depan Tuhan? Tentunya, mereka tidak bisa berbohong dan sembunyikan kejujuran.

Tuhanlah yang menciptakan manusia. Bukan manusia itu sendiri. Alangkah lebih baiknya, jika hanya Tuhan yang mengakui keimanan manusia, dibanding ribuan manusia yang mengakui keimanan manusia lainnya. Sebab, manusia tidak selamanya jujur dengan keimanan yang dianutnya. Namun, di hadapan Tuhan, mereka tidak bisa berkelit.

Penggalan kalimat di atas mungkin diciptakan Tan bukan untuk menyinggung para penguasa dan manusia yang munafik. Tapi, setidaknya kata-kata itu memiliki makna lain yang bisa dikaitkan ke arah situ. Toh, tujuannya sama dengan Tan: membuat negara ini merdeka dari tikus-tikus yang berkedok agama dan nasionalisme.

Tan adalah orang buangan. Sedangkan, penguasa adalah wujud anggur kenikmatan dunia. Seorang buangan akan bebas bernyanyi jika dirinya berada di dalam tanah yang hangat dengan batu nisan di atasnya. Ya, dari balik bumi, mereka bisa lebih bersuara menggugat para manusia yang dibuai kenikmatan fana.

Ingatlah
Bahwa dari dalam kubur
Suara saya akan lebih keras
Daripada dari atas bumi
(Tan Malaka/1948)

Kutipan inilah yang disiratkan Tan Malaka dalam bukunya, Dari Penjara Ke Penjara jilid kedua. Tan telah memprediksi nasibnya yang akan selalu menjadi orang buangan. Ditolak oleh sejumlah negara yang acapkali berujung pada bui, namun terus bersuara dalam setiap goresan tintanya.

Begitu kuatnya pengaruh suatu tulisan hingga bisa menjadi penggedor suatu masa. Ketika raga tidak berada dalam suatu masa, hanya tulisan yang mampu menunjukkan eksistensi suatu jiwa. Itulah yang dilakukan Tan hingga dirinya tewas dihujam timah panas.

Saat dirinya kembali ke Tanah Air dengan cara yang ilegal, dia pun berbuat banyak demi republik ini. Rapat di Lapangan Ikada--yang kini menjadi lapangan Monumen Nasional—merupakan salah satunya. Tan yang berperan besar mengumpulkan massa ketika Bung Karno memberikan orasinya menjelang Kemerdekaan RI.

Namun, tiada yang mengenali sosok Tan. Sejarah yang mencatat ada seseorang yang selalu memakai topi mandor ala Belanda, dan celana pendek serta pakaian serba putih yang hadir di antara rakyat. Disinyalir kuat, inilah sosok Tan Malaka. Sekali lagi, tak ada yang menggubris kehadirannya.

Sosok tidak perlu mendapat sorotan. Tapi, lewat karya-karyanya, Tan mengubah republik yang rentan. Ya, rentan dengan sensitivitas dan hasutan. Maklum, kala itu Indonesia tengah mengalami masa pencarian jati diri. Alhasil, belum menemukan pakem yang tepat bagi negaranya.

Apakah masih ada orang seperti Tan di masa kini? Sesosok jiwa revolusioner yang selalu menentang penguasa lalim. Sesosok manusia yang rela dibui demi mempertahankan idealismenya. Tentunya, idealisme yang berkualitas, bukan cuma berkoar-koar di jajaran dewan.

Ya, banyak manusia di Indonesia dan dunia yang bertindak sok revolusioner. Tapi, mereka hanya bagaikan tong kosong yang nyaring bunyinya. Mereka berorasi dengan suara yang meledak-ledak. Sayang, itu hanya suara, bukan ideologi. Mereka hanya meniru apa yang dilakukan oleh para pendahulunya, tanpa memahami arti ideologi sebenarnya.

Kini, remaja Indonesia hanya berpikir, bahwa revolusi membutuhkan darah dan pengorban. Setuju, bila pengorbanan menjadi kendaraan bagi suatu gerakan. Namun, kalau darah, sangatlah sia-sia bila darah tertumpah, karena zaman kini telah berubah. Pemikiran yang menjadi tonggak suatu masa.

Bilapun ada pemikiran yang brilian, ini hanya digunakan untuk melancarkan perbuatan tidak terpuji. Misalnya, para koruptor. Mereka adalah orang-orang pintar, namun tidak diiringi dengan moral yang baik. Bagaikan Profesor Moriarty dalam drama detektif Sherlock Holmes.

Karena itu, apakah mereka perlu mengaku beragama di hadapan manusia? Mungkin cukup Tuhan saja yang tahu bahwa mereka menyembah-Nya. Bukan topeng yang selama ini dipakai, dalam dunia yang penuh dengan sandiwara ini.

Aku bukanlah orang yang sempurna. Karena itu, aku menulis untuk menyentil orang-orang yang merasa dirinya sempurna, dan berlindung di balik kedok zaman. Tan adalah sosok manusia yang tidak sempurna, namun berupaya melindungi kesempurnaan dunia, dari manusia yang sok sempurna.

(RAS/07032012)

No comments: