Tuesday, March 20, 2012

Meniti Senja, Bersama Sahabat

Buku selalu menuai perhatianku. Dimana mereka berada, disitulah aku akan mencarinya. Apapun jenis buku itu. Aku mencintai buku. Perburuan buku inipun kembali dimulai, dengan latar belakang mahligai senja. Sebuah suasana yang hangat tanpa pekikan sinar sang surya. Satu kondisi keramaian penduduk Kota Jakarta menyemut di jalan-jalan.

Istana Olah Raga atau yang karib disapa Istora Senayan, Jakarta Pusat, menjadi tempat singgahku. Saat itu, Istora tengah sesak dipenuhi buku, warna keagungan Sang Pencipta dan umat-umat pilihan-Nya. Ya, kala itu tengah digelar pameran buku yang bernafaskan Islam. Ratusan penerbit hadir di sana, ribuan buku dari berbagai dibanting harganya.

Berdua bersama sahabat, aku menyusuri pelataran Senayan. Otak ini selalu memutar pikir, buku apa yang hendak aku cari disana. Aku menyukai sastra, berharap pula menemukan karya seperti itu di sana. Turun dari sepeda motor, dan aku pun beranjak dari parkiran. Sebuah lokasi parkiran di tengah belantara hutan Senayan, beralaskan tanah kerontang pula.

Sejenak aku terdiam. Menghela napas yang dalam sambil menikmati suasana senja yang saat itu sangat bersahabat. Tidak hujan, tidak pula panas menyengat. Tercium bau dedaunan, diiringi dengan suara alam yang berpadu dengan nyanyian bising manusia. Setidaknya, semesta telah memberikan anugerah seindah ini, tatkala alam dan manusia berdamai dalam senja.

Aku melihat ribuan orang di sana. Rata-rata mereka memakai hijab bagi para wanitanya. Sejuk nian suasana di sana. Langsung pikiran ini melesat membawaku ketika Ramadan menyelimuti bumi manusia. Saat itu, para umat manusia berlomba-lomba dalam meraup berkah yang diturunkan oleh Sang Pencipta. Syair-syair keagungan Tuhan pun bergema di pelosok dunia.

Wanita berhijab pun membuat pikiran ini terpental ke alam lain. Ketika wanita-wanita itu mengingatkan diriku dengan seorang malaikat yang sempat turun ke bumi, dan menyapaku. Seluruh wanita itu adalah dirinya. Bayang dan imajinasi ini mungkin membuatku gila. Seolah, aku bisa terus merapal namanya di depan para wanita tersebut.

Masuk ke arena Istora Senayan, kian banyak wanita berhijab. “O Tuhan, inikah bias pandangku ke arah mereka? Semuanya adalah dia. Tidak bisa kubedakan antara nyata dan semu. Ketika warna dunia pun hanya terdiri dari hitam serta putih. Tiada warna lain selain dia. Kegilaan, kesanakah aku akan menuju, berharap pada cintanya yang abstrak?”

Aku berupaya buang jauh-jauh bayang itu. Meski kian kuhindari, bayang itu semakin menuai nyata, dan menanggalkan kesemuannya. Tiba-tiba, suara seorang wanita memecah sunyi di hati. Seorang sahabat yang telah lama hilang, kini hadir berbalut pakaian serba ungu. Dia, dulu dan selamanya, adalah seorang sahabat. Sempat menjadi cerita dalam hidupku.

Tegur dan sapa kami lakukan. Tiga sahabat kini kembali menyatu dalam ruang yang berbeda, di tengah hiruk-pikuk para hamba Tuhan. Persetan dengan hingar bingar, hanya kata dari mulut kami yang terdengar memecah semuanya. Berupaya hadir di antara bising, terkadang hanya mata yang beradu pandang tanpa satupun kata tertuai.

“Apa kabar? Lama kita tidak bersua, sejak kau menghilang dari dunia yang menyelimuti kita. Kini, kau hadir di sini. Betapa rindunya diriku melihat kamu, bagaikan bertemu seorang saudara yang telah lama merantau jauh ke negeri seberang. Banyak hal yang ingin aku sampaikan, kian ramai cerita yang hendak kuhaturkan padamu,” ujarku, mereguk air nostalgia.

“Begitu senang dan antusiasnya diriku bertemu kalian. Sampaik aku lupa, suara ini begitu bising di antara mereka. Bahkan, suara ini terdengar sangat kencang sehingga banyak orang beradu pandang. Mereka terpana, ketika sebuah teriak muncul di suasana syahdu. Namun, aku tak peduli. Kesenanganku adalah milikku, bukan mereka,” kata sahabat, seraya tersenyum tawa.

Sahabat-sahabatku saling berpandang. Jiwa kita tak gentar menghadapi perpisahan. Seperti dulu aku pernah berkata. Perpisahan bukanlah akhir dari segala, tak perlu ada selebrasi untuk merayakannya. Buat apa bersedu sedan serta bertangis ria, padahal suatu ketika jiwa-jiwa ini akan kembali bertegur sapa. Aku dan sahabatku, contohnya.

Hanya kematian yang mampu memisahkan jiwa-jiwa yang bersatu. Mengapa aku menyebutnya jiwa? Karena jiwa adalah elemen abadi di antara raga yang akan lapuk diterkam zaman. Hanya jiwa yang akan melayang melampaui surga dan neraka, saat ajal menjemput manusia. Cuma jiwa yang mampu merasuk di saat insan tengah dilanda cinta.

Bertiga kami menyusuri selasar Istora Senayan. Mencari dan terus mencari buku-buku yang kami sukai. Sesak oleh ribuan orang, tampak mereka pun memiliki misi yang selaras dengan kami. Membaca asma Allah yang dirangkum dalam sebuah buku. Mempelajari makna agama yang luas dalam satu buku kecil, seraya melantunkan syair kerinduan terhadap Ilahi.

Pencarianku nihil, sedangkan sahabatku mendapatkan dua buku yang dicarinya. Beruntunglah dia. Aku cukup puas dengan melihat ribuan buku menumpuk dengan antusiasme para pembelinya. Dan, lagi-lagi bayang itu muncul, ketika punggung seorang wanita begitu mirip dengan malaikat itu. Kembali, bayang itu membuat pikiran ini meracau.

“O nona, mengapa kau ada dimana-mana? Apakah kau malaikat yang mendampingi para manusia, sehingga aku bisa menyaksikan bayangmu melekat di tubuh insan yang kutemui? Aku tahu dunia luas, tapi kenapa hanya dengan kamu yang membuat buana terasa sempit adanya. Mata ini telah tersucikan oleh dirimu, sehingga kau hadir selalu.”

Tampaknya, ini saat yang tepat untuk keluar dari bising ini. Sesak tak bertepi, hanya ada ketidaknyamanan kini. “Bukan aku menghindari suara yang mengagungkan asma-Mu, tapi ini bukanlah tempat yang nyaman untuk berbicara, menyenandungkan elegi nostalgia tiga sahabat yang lama tak bersua,” ungkapku, dalam hati yang penuh kerinduan ini.

Berpelesirlah kami menuju kantin yang tak jauh dari Istora. Berjalan gontai, kami seraya bercerita singkat tentang kabar dunia yang menaungi kami. Beradu wicara ketika dulu menjalankan dunia itu dengan tangan-tangan lembut ini. Tak kuasa, tawa pun terburai saat kami melontarkan canda yang mungkin tak akan digubris oleh manusia-manusia lainnya.

“Ingatkah dulu kau tak pernah meradang, meski salah kerap kali sering aku perbuat? Kau bahkan tertawa setelah itu hingga air mata terurai di pipimu. Air mata buah dari sebuah bahagia yang tak bisa kau lontarkan dengan kata. Seringkali aku menuai kesalmu, namun kau hanya bisa tertawa seru. Persahabatan seperti itulah yang indah, wahai kawan,” aku berujar kepada dia.

Kedua sahabatku yang lain mengangguk, mengamini nyataku. Lalu, sahabat wanitaku berseru “hanya kau yang bisa menuai tawaku, ketika rasa gamang dan bosan tengah melanda diriku. Cuma kau yang mengetahui kelemahanku, hingga tawaku memecah keheningan ruangan tempat kita bersandar. Meski tiada kau, namun hidup dan tawa mesti tetap berjalan selalu.”

Lalu, sahabatku yang lain berkata dalam riak gelombang “hari ini jarang ditemui di hari-hari lainnya. Nikmati hari ini, usah kalian pikirkan hari esok. Canda tawalah, bertangis rialah, berbahagialah, karena hari ini adalah milik kita. Persetan dengan dunia yang terus bergulir. Hari ini adalah saatnya dunia dilanda stagnasi, berhenti berotasi hanya untuk kita, sahabat sejati.”

Kantin ini sangatlah kecil, namun memiliki pekarangan yang luas. Banyak perabotan yang tak cukup muat di dalamnya. Karena itu, meja panjang dan kursi ditaruh di pekarangan. Di sanalah, manusia-manusia yang berkunjung ke Senayan bisa menikmati suasana sembari menyeruput kopi hitam, maupun teh manis hangat yang disediakannya.

Pekarangan kantin itu dipenuhi dengan pohon-pohon yang besar. Cukup rindang sebagai tempat untuk berteduh dari sinar mentari, meski kala itu Batara Surya tengah tersenyum hangat. Bukan terik yang diriakkan dalam gelombang panasnya. Aku bisa melihat sinarnya mengendap di antara rindangnya dedaunan di atas pohon itu. Indah nian wahai senja.

Ketiga sahabat ini duduk di bawah sebuah pohon. Saling berhadapan, hanya dipisahkan oleh sebuah meja panjang. Kami minum bersama, menyeruput kopi dan menghisap sejumlah batang rokok. Dalam setiap embusan, aku bisa mendengar suara sejumlah manusia, lalu nada ranting yang berjatuhan dan bersentuhan menyempil di antaranya.

Hijau mendominasi suasana di sekitar kami. Di kejauhan, anak-anak bermain dengan riang. Orang tuanya menemani sambil membaca buku. Aku pun melihat sepasang manusia yang tengah bergandengan tangan mesra. Di baliknya tubuh keduanya, dua malaikat sedang bercanda riang sambil saling menyandingkan sepasang sayapnya, mesra.

Beragam kisahpun terlontar dari mulut ketiga sahabat, menguak tabir obrolan di sore itu. Aku mendengar ada nada kegalauan, kegetiran, kebahagiaan, kenyamanan, dan lainnya. Semua berkumpul menjadi satu, hadir sebagai bahan perbincangan petang itu. Hijau petang sambil ditemani dua sahabat, menuai kenyamanan tersendiri bagiku.

Cinta ketiga sahabat itu menyatu, sebuah persaudaraan yang tumbuh dari rasa kebersamaan. Ya, saudara, bukan kasih sayang antara pria dan wanita. Senja menuai cakrawala menjadi jingga. Langit tersipu saat matahari menyentuh awan yang berada memenuhi mahligai cinta. Sayang, senja harus lalu. Malam kini menjadi raja semesta, menggantikan sang surya.

“Aku ingin berbagi kisah. Tentang seorang pria yang terus mencari cinta sejati di jiwa seorang wanita. Ketika cinta tertuai, dan jiwa itu pergi, terbang mencari arti. Pria itu kini dilanda duka. Hari berganti, bulan berlalu, namun kelu tetap menjadi bahasa kalbu. Dunia bagaikan sebuah bayangan yang terdiam, senja pun hanya mampu meraih bayangnya,” kisahku.

Lalu, sahabatku pun langsung mengimbuh “jangan kau ragu untuk bercerita, teman. Aku tahu, pria itu adalah kau. Engkau yang selalu tertawa untuk menyembunyikan sedihmu. Kau balut nestapa dengan kain emas yang sangat indah. Aku bisa melihat dari getirnya suaramu, dan mata yang membasah ketika kau menceritakan kisah itu.”

“Ya, itulah adalah kisahku. Saat sedih melanda, aku kini bagaikan seorang pelawak yang hanya menertawakan kehidupan. Memotret kehidupan sebagai kliping yang aku kumpulkan untuk merangkum bahan guna mengocok perut kalian. Hidupku tak lebih dari sebuah dagelan saat bersama kalian, namun aku akan termangu ketika dalam kesendirian,” ungkapku.

Seperti yang dikatakan sastrawan Umar Kayam, sastra mengajar kita untuk selalu mempertimbangkan kemungkinan yang banyak dari kemampuan manusia. Jika begitu, pelawak mengajar kita guna mempertimbangkan kemungkinan kekonyolan dan kebodohan manusia. Keduanya justru berfungsi menormalkan kehidupan manusia.

“Aku buang tawa ini, aku ceritakan sedihku. Aku izinkan kalian memasuki kuil duka citaku. Aku biarkan kalian melihat sesosok mahluk ini menunjukkan rapuhnya seorang manusia, dengan air mata yang bercucuran. Izinkan aku berkisah. Kali ini, aku akan menggunakan kata “aku” bukan “dia” seperti yang kalian mau, wahai sahabat tercinta,” ungkapku, seraya terus berkisah.

Malam kian mencekam, bulan semakin terang. Suara-suara manusia mulai menepi ke kesunyian. Kini, hanya suara alam yang terdengar kencang nian. Pohon-pohon semakin hebat bergoyang usai ditiup angin malam. Bangku dan meja pun telah dibereskan, ini pertanda kantin hendak kembali ke peraduan. Pun demikian aku dan kedua sahabatku.

“Cerita ini usai sudah, meski Tuhan belum mengetuk palu hingga hari kematianku singgah. Aku biarkan kalian mendengarkan, karena kalian adalah orang-orang yang kupilih. Aku bumbui cerita ini dengan keindahan, sehingga kalian tak pernah tahu kandungan nestapa dan jelaga di dalamnya. Kini, petang telah berlalu, malam sudah larut,” ucapku, lirih.

Lalu, sahabatku berkata “wahai kawan, aku dan dia adalah sahabatmu. Tak ada secuil ekspresimu yang tak bisa kami tangkap. Aku bisa merasakan sedihmu, melebihi bahagiamu. Tak ada yang bisa kau sembunyikan, ketika kau bercerita tentang orang lain, tapi ternyata kaulah orang itu. Tuhan akan memberikan jalan bagi akhir kisah itu, kawanku.”

Terlalu hina, bila aku mengganggap sahabat sebagai tong sampah yang bisa aku gunakan untuk menaruh segala keluh kesah dan penat di jiwa. Mereka adalah sebuah peti emas, yang berkilauan, tempat aku menuangkan segala resah dan kisah-kisah nestapa. Ketika itu, peti tersebut tetap memancarkan cahaya, kendati dihujani dengan kisah pedih.

Sahabat selalu ceria menghibur hatiku yang larut dalam lautan tak bertepi. Bersama mereka, sejenak aku bisa melupakan rutinitas yang nyaris membunuh. Dengan mereka, aku menawarkan rutinitas yang berbeda dan menjadi alternatif kebahagiaan bagiku. Itulah sahabat, bukan untuk dipergunakan, namun dibina dengan cinta dan bahagia.

Saatnya pulang. Aku meninggalkan gelapnya Senayan menuju peraduan. Semua keluh kesah terlontar sudah, meski bayang itu senantiasa hadir ketika aku melaju di atas sepeda motor. Aku hanya bisa menghela napas, berharap suatu ketika bayang itu menjadi nyata, atau hilang sama sekali. Aku dan sepeda motorku pun melaju dan hilang lamat dalam remang malam.

No comments: