Tuesday, March 13, 2012

Impian II: Pelukis

Aku ingin menjadi orang yang menggoreskan kuas dan cat ke sebuah kanvas putih. Sebuah seni yang merupakan kebohongan namun akan mengarahkan manusia kepada kebenaran, begitulah yang dikatakan Pablo Picasso, seorang pelukis terkenal beraliran abstrak dan surrealis. Impian ini telah aku rintis sejak kecil, saat duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) tepatnya.

Mengenyam pendidikan di SD sangat membosankan menurutku. Setiap hari belajar matematika, IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) dan IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial). Aku ingin sesuatu yang berbeda, sebuah pelajaran yang bisa melatih otak kreatif. Bukan hanya sekadar hafalan belaka. Aku bukan orang yang menyembah logika, aku adalah pemuja imajinasi. Harus ada media yang bisa menyalurkan energi kreatif ini, tanpa embel-embel narkotik untuk memantiknya.

Pucuk dicinta ulam tiba. Ada pelajaran menggambar. Aku lupa nama gurunya. Yang terang, pelajaran itu dicampuradukkan dengan seni musik. Seminggu menggambar, seminggu kemudian bernyanyi. Setidaknya ada pelajaran yang bisa aku petik, meski harinya berganti terus menerus. Tapi, aku tetap semangat, menjalani mata pelajaran ini.

Hatta, ada sebuah kompetisi menggambar yang diadakan di sekolahku. Pastinya, aku turut serta, meski hanya bermodal coretan berbentuk kurva yang kerap kugambar di buku tulis. Setidaknya, hal ini bisa menjadi batu loncatan untukku. Siapa tahu aku bisa terkenal dan menjadi pelukis cilik yang berbakat? Siapa tahu, tidak ada yang tahu, enggan tahu. Namanya juga cita.

Lomba menggambar ini begitu menegangkan. Keringat bercucuran, peluh membasah. Kertas pun tak luput dari hujan air asin. Tunggu dulu, ini bukan karena tegang, tapi lantaran ruangannya panas. Matahari sedang riang gembira tersenyum, memanjakan bumi dengan sinarnya. Namun, panitia tidak tergugah, hanya menaruh kipas kecil di pojok ruangan. Bengis nian dirinya.

Konsentrasi pun buyar sudah. Tapi, aku cuek. Aku menggambar dengan contekan. Sesosok pahlawan bernama Pangeran Diponegoro dengan menaiki kuda putih dan membawa rencong serta bendera merah putih, menjadi objek bagiku untuk menggambar. Lukisan itu tertera di buku Lembar Kerja Siswa, yang merupakan buku latihan soal untuk murid.

Buku itu aku taruh di bawah meja. Tinta aku goreskan dengan panduan gambar di bawahku. Meski muka sang pangeran rada mencong, untuk anak seusiaku, gambar itu adalah sebuah masterpiece. Skala pun tidak kugubris. Terkadang, bentuk tubuhnya terlalu besar dan tidak pas dengan kepalanya. Alhasil, berulang kali lukisan itu aku hapus.

Satu jam berlalu, atau setengah jam, aku lupa. Gambar itupun selesai sudah, tanpa warna. Aku bangga dengan gambar jiplakan itu. Mungkin itu gambar indah pertamaku seumur hidup. Ya, setelah sekian lama, aku hanya bisa menggambar dua gunung, sebuah matahari, dan jalan yang mengarah ke gunung tersebut. Ditambah, sawah-sawah kering kerontang.

Kendati begitu, masterpiece tersebut tidak berhasil menggugah juri. Mungkin karena gambar itu terlalu sempurna untuk seorang anak ingusan seperti aku. Atau, para juri tahu kecuranganku mencontek. Sebab, gambar Pangeran Diponegoro itu saban hari dilihat oleh para guru ketika menilai lembar LKS. Bodohnya diriku, tanpa berpikir ke arah situ.

Aku meraih juara harapan 1. Yah, lumayanlah buat pemula. Tidak jumawa, langkahku pun gontai menuju podium, kendati podium itu lebih pendek dari pemenang lainnya. Aku senang bakatku melukis bisa tersalurkan. Hadiahnya adalah sebuah piala dan buku. Persetan dengan piala, aku senang bisa mencoba meraih mimpi yang sesuai dengan keinginanku.

Pernah pula aku menggambar dengan mencontoh foto Yanni, seorang komposer dan pemimpin simfoni asal Yunani. Pensil aku goreskan dengan sangat hati-hati di buku gambar A4. Tapi, setelah kelar, aku bingung. Kenapa gambar itu malah mirip Barry Gibbs, seorang penyanyi dari grup musik Bee Gees? Aku hanya bisa garuk-garuk kepala, menjajal sana sini untuk menutupi kemiripan.

Memang, kedua persona itu memiliki kemiripan, antara Yanni dan Barry Gibbs. Dari bentuk mata, rahang, hidung dan rambutnya yang gondrong. Nah, yang membedakan hanyalah kumis dan brewoknya. Tak kehabisan akal, aku tambahkan saja kumis dan brewok itu. Jadilah gambar Barry Gibbs, sebuah wujud ketidakkonsistenan diriku ketika melukis.

Belasan tahun berlalu sudah. Aku melatih gambar di komputer, meski idenya tidak selalu cemerlang. Tapi, gambar-gambar itu cukup sesak mengisi tampilan depan komputer. Entah gambar apa itu, aku hanya berekspresi tho. Tak hanya itu, buku SMA pun kerap menjadi sasara kejahilanku. Terkadang, aku melukiskan gambar maupun huruf-huruf berbentuk grafitti di buku itu.

Masa-masa SMA hampir usai. Anak-anak remaja coret-coretan. Ada yang pakai pylox, ada yang kebut-kebutan, ada yang ditangkap polisi. Saatnya memilih universitas. Aku pun bilang kepada orang tuaku. "Mak, gue mau kuliah melukis. Gue pengen masuk IKJ (Institut Kesenian Jakarta). Ntar keluarnya jadi pelukis dah," kataku seraya membujuk ibunda agar bisa merealisasikan keinginanku.

"Ngapa lo tong mau masuk IKJ? Mau jadi gembel lo? Emak lihat anak-anak IKJ tuh pada gondrong-gondrong awut-awutan. Tuh anak-anak bisanya cuma ngerokok ama nongkrong di pinggir jalan. Mau jadi kayak gitu lo tong?" ucap ibunda sambil melotot ke arahku. Aku menghindar, tapi sorot matanya mengikutiku. Aku kelojotan dipelototi emak. Matanya punya aura panas.

"Yah, mak. Nggak semua anak IKJ itu gembel. Jangan lihat gondrongnya. Lihat dong bakatnya. Mereka bisa melukis, dan sukses juga," ucapku membujuk ibunda tercinta. "Aaah, palingan lo entar jadi pelukis yang di pinggir jalan," pungkas ibunda membabat omongku. Aduh, musnah sudah mimpiku, sirna bagai embun diusik pagi. Paginya si emak.

Apa daya, tidak bisa kulawan ibundaku yang tercinta. Ingin hati menjelaskan, tapi kata-kataku selalu diembargo tanpa boleh melintasi otak ibunda. Tak bisa kutentang, aku takut surgaku di telapak kakinya ditutup. Runyam urusan, kalau surga itu sampai dipagari dengan garis polisi, Kemana lagi aku akan pergi? Neraka tak mungkin bisa kusinggahi. Panas di ruang kelas saja buat diriku bermandi peluh.

Meski demikian, impian tak sepenuhnya musnah dan sirna. Kini, aku masih menggambar, meski hanya sekadar mencoret-coret di saat rapat berlangsung. Tak jarang pula, aku kena semprot atasan, karena dinilai tidak serius saat rapat. Persetanlah, aku hanya berupaya merangkai mimpi yang berantakan. Mimpi menjadi pelukis. Ya, pelukis buku-buku kantor.

(RAS/14032012)

No comments: