Friday, January 20, 2012

karamnya sang penyair

sekian lama, kini aku sudah lupa. kugoreskan tinta di atas kanvas. hanya bentuk absurd yang tertera. ikan yang berenang dengan indah, sang jukung melaju di atas laut, birunya langit yang memantul ke kerajaan dewa baruna, serta gunung tinggi sejauh mata memandang. kucoba abadikan dalam lukisan.

entah kenapa, goresan yang menjadi duri dalam daging. sakit terasa ketika kumenari di atas kanvas. ada bagian yang hilang di lukisan itu. sebuah cawan emas yang berisi anggur kehidupan. di sana, bersemayam sebuah harapan dan cinta. kini, bagian itu entah kemana, hilang tak tentu rimbanya.

saat bulan bertengger di timur dunia, dan mentari mulai berhibernasi menanti hingga fajar berkelana mengitari buana. perahu itu kian terombang ambing dalam keresahan. dunia penyair memang kejam, sekejam ombak yang membuat perahu bergejolak, bahkan hingga karam. kini, penyair itu tengah bersemayam di tebing di tengah laut.

siapakah yang hendak menolongnya? teriakannya hanya didengar oleh burung camar. malang, sang camar pun tak kuasa menolong. apa daya, tubuh mungil menjadi kendala. tersendat oleh ragam ukuran. kulihat sang camar terbang, enyah dari pandangan. tinggallah sang penyair seorang diri, terjerembang di sana.

lalu, aku mendengar suara debur ombak. menggulung bagaikan amukan sang dewa laut. dari kejauhan, seekor lumba-lumba datang menghampiri. dia bertanya kepada sang penyair. "apa yang terjadi padamu wahai perangkai kata, pemuja keindahan, dan penguasa kalimat sendu dan nestapa?" ujar sang lumba, seraya terus mengitari tebing.

"aku karam, aku tersesat, tak tahu arah mata angin, pandangan ini nanar, dan tenggelam dimakan debur ombak. aku hanyalah seorang diri, membawa raga dan jiwa ini. hanya kutopang dagu ini, seraya memandang birunya langit. ya, pandanganku hanya biru, biru dan biru, tak ada warna lain di sana," terang sang penyair.

sang lumba menggelengkan kepala, dia tak sanggup penuhi permintaan sang penyair. wahai penyair, malang nian nasibmu. tiada yang kuasa beradu nasib di sana. jikalau, deburan ombak membesar, kiranya kau meminta pertolongan kepada sang penghancurmu, sang pembawa kekaramanmu. nikmatilah sejenak indahnya laut, kendati pahit terasa.

hidup terkadang membelenggu. ikatannya kuat dan erat. kau bagaikan terpasung dalam mahligai kebusukan dunia. tiada yang bisa kauperbuat. namun, itulah esensi hidup. kau menunggu, seraya berupaya keluar dari pasungan itu. hingga satu saat nanti, pertolongan kan datang dari Sang Raja Manusia, membawamu ke alam keabadian.

(ras/20012012)

No comments: