Saturday, January 28, 2012

Prajnaparamita | Chapter 2

Beberapa bulan berlalu. Kegundahan sirna sudah. Upaya nan berat membuahkan pudar serta mengerat. Seluruh ingatan kini menjadi kenangan. Rutinitas membunuh cinta di hati. Membuatnya membeku serta membiru. Dingin, mungkin ini yang menggambarkan sikapnya. Lonceng di hatinya telah berkarat. Sulit membuatnya berbunyi, sejak cinta dalam diri kandas di tepi jurang terjal.

Muka kusam menemani setiap bayangan raga. Panca bagaikan mahluk tak berjiwa, kendati raga membawa kesana dan kemari. Panca berujar dalam hati:

“Separuh jiwa tak tentu rimba, aku hampa. Acapkali hati menjerit, namun tak kuhiraukan. Kuanggap sang hati hanyalah angin lalu, yang berembus dan sirna ditelan bebunyian melodi buana. Kerinduan kubuan menjadi kesibukan. Hari yang padat menjadi teman sejati. Buah pemikiran terus kupaksakan itu melontarkan ide. Hanya untuk satu tujuan, melupakan nama yang terus membahana di kalbu.”

Kendati demikian, tak semua keindahan sirna. Panca masih bisa menikmati kicauan burung di pagi hari, harumnya bunga aster yang bermekaran, serta kedamaian taman hati. Kendati, taman itu kini diselimuti salju abadi, menanti seorang wanita yang sanggupnya mencairkan serta melelehkannya. Hingga salju itu menjadi air yang mencari sungai dan bermukim di laut lepas.

Panca duduk di sebuah taman. Pohon-pohon mengayun. Berlenggak-lenggok seperti penari dengan kaki yang terpasung dalam pijakan buana. Sesekali, dedaunan meranggas, membelah angin dan jatuh terhempas. Belum selesai beristirahat sejenak, sang daun kembali dibawa oleh angin ke negeri antah berantah. Entah dimana, mungkin di surga dedaunan yang menempati sisi lain surga manusia.

Merebahkan diri di atas dinginnya bebatuan taman. Ditemani suara desiran angin lalu, dan gemericik air mancur di pusat taman. Bahtera putih tampak membubung di antara lautan langit biru. Meski nestapa mereda, tanya masih menyesak di dada. Ada yang hilang, inspirasi sang perangkai kata raib pula. Benak Panca menerawang , hati kecilnya pun melontarkan tanya:

“Mengapa inspirasiku mati? Kini, inspirasiku berada di sebuah peti. Terkunci rapat. Entah dimana kunci itu bisa kutemukan. Apakah terbawa oleh kekasih hatiku yang tengah berlayar di lautan tak dikenal? Bisakah kumemintanya kembali, meski mustahil? Aku butuh inspirasi itu. Dialah pusat dari pusaran prosa dan karya yang telah kuciptakan sejak lama.”

“Dimanakah engkau inspirasiku? Apakah kau akan membiarkan diriku kosong, tanpa karya? Apakah kau akan membuat sebuah lubang di hati, dan memampatkannya dengan kebingungan? Apakah kau akan membelai otakku dan menusukkan belati di setiap selasar jiwa? Apakah, apakah dan apakah? Pertanyaan ini terus bermunculan, tanpa henti. Otakku sarat tanya.”

Tanya hanyalah tanya. Tiada yang sanggup menjawab. Hanya kepada hati kecil, dia berkata. Cuma dengan burung manyar, dia bertanya tentang rindu dan cinta yang pudar. Sang burung menjawab:

“Ketika itulah, hatimu berhenti berdebar. Penyembuhnya hanyalah kaum hawa yang kan menceritakan dongeng asmara, sebuah kisah tentang Sang Smara yang tengah bercumbu dengan sang kekasih, Ratih Dewi, di taman hati. Namun, ajal tak kuasa dihindari Sang Smara kala panah Syiwa menghujam jantungnya. Dan Sang Smara pun terempas ke marcapada,” tutur sang manyar.

Kupeluk sang manyar dalam eratnya dekapan kerinduan. Hangatnya malam mencuri nuansa kesunyian. Bulan benderang seolah mencari para bintang yang tengah rehat sejenak. Mengapa? Karena malam itu langit terlampau hitam, kelam. Tak kuasa mengempaskan kerinduanku akan cahaya bintang. Terus menerus, manyar merangkai kata-kata indah, sebuah nasehat dari seorang kawan.

Prapanca terbawa lamunan, mencari arti nasehat sang manyar. Berlalu dan berlalu, nasehat hanyalah untaian kisah kelu. Telinga pun berupaya menyerap kata-kata itu. Dan Panca berkata:

“Bukankah inilah situasi yang ingin manusia hindari? Sebuah kegamangan abadi, terlempar dalam dimensi lamunan tanpa henti. Ketika seorang hawa merangkai kisah. Namun, dia pergi ketika kisah itu belum mencapai babak penantian. Sebuah epilog yang kosong, tanpa akhir bahagia maupun nestapa. Kini hatiku tak ubahnya sebuah ruang kosong, tanpa penghuni,” ujar Panca.

Ya, epilog yang kosong. Saban insan memiliki hasrat dalam menuntaskan suatu kisah. Penyair, misalnya. Dia selalu merampungkan kisah, kendati sulit mencari sebuah kata pamungkas untuk halaman terakhir. Sebab, babak terakhir merupakan suatu konklusi, sebuah rangkuman inti cerita yang mampu membuat manusia terbawa ke dimensi klimaks dan ekstasi ketika membacanya.

“Mari kubawa kau menyelami kisahku, wahai manyar. Bulumu nan biru, dan keindahan parasmu. Hanya untukmu, aku bercerita,” ujar Panca kepada sang manyar. Matanya menerawang ke arah langit biru. Para dewata pun bertopang dagu, menanti Panca berkisah. Sang manyar pun mendengar secara seksama, menghentikan segala rasa, untuk memberikan rasa lain merasuki.

(ras/28012012)

No comments: