Saturday, January 28, 2012

Prajnaparamita | Chapter 1

And Aubrey was her name
I never knew her, but i love her just the same
I love her name

(Aubrey, Bread)

Begitu berartinya sebuah nama. Sebuah simbol keagungan yang merepresentasikan jiwa dari sang pemiliknya. Suara hati yang terus berteriak lantang, ketika seseorang merasa bangga dengan nama yang disematkan pada dirinya. Nama, mungkin hanya sebuah kata. Tapi, kata bisa meruntuhkan tembok yang terbentang nan kokoh, meski hanya diutarakan dengan ucapan.

Prapanca Mahadewa, namanya. Panca, begitulah dia karib disapa. Seorang pemuda yang selalu menyenandungkan syair kerinduan. Terkadang, rindu mengendap dan menekan tuas di hatinya. Dari rindu tersebut, terjalinlah rangkaian kata dan kalimat nan indah. Tertuang dalam suatu prosa. Dia menamakannya prosa kerinduan, buah dari kesunyian.

Sebuah keagungan terbentang dari namanya. Nama Prapanca dikutip sang ibu dari seorang empu penulis kitab mashyur, Negarakertagama, sebuah literatur yang mengharu-biru ketika Indonesia masih berupa kerajaan bernama Nusantara. Sedangkan nama Mahadewa disematkan sang ibu dari bahasa sansekerta yang berarti “dia yang tertinggi di antara para dewata”.

Meski begitu, keagungan tak jua membuatnya luput dari nestapa. Raut duka memenuhi rona merah wajahnya. Bertopang dagu, mata pun sayu. Dia bagaikan bunga layu. Tak menggubris di saat bayu meniup kencang. Dahannya tak bergoyang. Bahkan, burung pun enggan membesut sarang di atasnya. Daun layu hanya menjanjikan kemuraman. Tidak ada kesejukan, hanya kehampaan.

Kepada semesta, Panca berkata:

“Hai semesta. Kau adalah matahari, kau adalah bulan, kau adalah semesta. Kau menyelimuti buana, terangkum dalam birunya langit dan samudera. Tatkala menggeram, kau kokoh bagaikan gunung yang menjulang. Ketika meradang, bumi kan memuntahkan isi perutnya. Terlanda, pemukiman manusia di lereng lembah. Siapa yang bisa menolak kuasa itu?”

Panca tengah menggugat semesta. Kehidupan yang dilaluinya kerap menemui jalan terjal. Tak jarang pula, kebuntuan menjajal kesabarannya. Emosi, tentunya ada. Namun, Panca percaya kesabaran adalah sifat yang tak berbatas. Semuanya tergantung diri manusia masing-masing memandang kiasan itu. Tapi, kali ini kesabaran Panca habis. Dia menyalahkan nasib.

Terjerembab dalam jurang kesunyian. Tersentuhlah hati Githa, sahabat Panca yang telah dikenal sejak mentari bersinar di matanya, ketika kali pertama diangkat dirinya dari rahim sang ibu. Berdua, mereka menangis di dalam ruang yang sama. Dua manusia mungil yang baru melihat dunia. Gita tak rela kegembiraan hilang di hati Panca.

Githa pun berkata, keras dan lantang:

“Panca, o, panca. Apa yang menjadi gundah di hatimu, wahai kawan? Kehidupan memang tak selalu indah. Keindahan hanya ada ketika kau menemui jalan setapak menuju surga. Di sanalah, kau kan mendapat keabadian. Kekal, tanpa ada yang sanggup membuatmu meregang nyawa, dan dihujam oleh pedihnya kematian dan kesengsaraan.”

Menjawab tanya, menghilangkan duka. Panca pun berucap:

“Aku tengah tergilas roda zaman. Kekasih, pujaan hati, pelipur lara, yang membuat keindahan di mataku, kini telah sirna. Entah dimana kekasihku? Hilang dari muka bumi, menanggalkan jubah cinta dan pergi dariku. Dunia hitam, semesta kelu. Tak ada yang sanggup menjawab. Hanya ada deburan ombak di pesisir pantai, dan suara kicau burung camar yang membelah cakrawala membiru.”

“Dia merantau dan tak pernah kembali. Kucari ke seluruh pelosok negeri. Hanya ada wajah bingung dan kalimat tak tahu. Keyakinanku teguh, prediksi pun patuh. Tak ada yang sanggup menggantikan dirinya, kekasih yang merobek sukma di dalam dada. Kini, hatiku berkeping-keping, menjadi puing. Angin pun enggan membawa. Sebab, puing itu hanya mengandung rasa sakit, kepedihan batin yang mendalam.”

Tak sependapat dengan sahabatnya, Githa pun menjawab:

“Tak ada yang tak mungkin. Harapan masih ada selagi kita masih menyandang status sebagai manusia. Kita adalah mahluk yang selalu diliputi masalah. Karena itulah, kita masih hidup sebagai manusia. Namun, semua masalah memiliki jalan keluar. Meski berliku dan sulit diterobos, jalan itu senantiasa terbentang, bak setitik cahaya putih. Itulah yang dinamakan harapan.”

Kata-kata itu terus terngiang di otak Panca. Hilir mudik tanpa henti, membelai sisi kanan dan kiri pemikiran sang penyair. Ruang optimisme tengah tertata rapi. Kini, insan di dalamnya mulai bisa beraktivitas. Lalu bagaimana dengan ruang pesimisme? Panca tak menggubris. Buat apa pesimis, jika manusia masih memiliki harapan. Meski setitik, namun tetap saja namanya asa.

Githa berlalu, meninggalkan Panca seorang diri. “Aku memiliki banyak hal yang harus dilakukan. Maaf aku meninggalkanmu bersama nestapa, wahai kawan. Jadikan dia temanmu, untuk saat ini. karena, kini hanyalah kesendiriaan yang kau butuhkan. Bukan aku, maupun sahabat lainnya. Hanya kamu satu. Di akhir cerita, hanya kamu dan dirimu yang tersisa,” ujar Githa.

Bayangan Githa menghilang ditelan kabut malam. Ya, senja telah berganti malam. Dua penyinar marcapada berpelukan. Matahari kembali ke peraduan, menantikan hari esok ketika embun pagi membangunkan dirinya. Sedangkan, bulan baru memulai aktivitas. Bersiap dengan sinarnya yang benderang, memeluk kegelapan dunia dan menggantinya menjadi harapan.

Dan panca? Dia melangkah gontai menuju rumah. Matanya lelah. Hari memasung dirinya dengan belenggu rutinitas. Waktu terus berlalu, namun Panca tetaplah Panca, jiwa sedih yang digerogoti kegalauan, nestapa dan kesedihan. Ingin rasa, hatinya menghilang bak durjana. Namun, hilang hati berarti mati, meninggalkan muka bumi ini.

(ras/28012012)

No comments: