Monday, February 13, 2012

Senja, Saksi Bisu Para Pencinta

Rupanya hari ini hampir senja
Berlalu tinggal nostalgi
Hanya tangis menerpa hati
(Kehidupan, Chrisye, 1979)

Taman Surapati di bilangan Menteng, Jakarta Pusat, menciptakan lembayung berwarna ungu. Hawa udara mengitari sekeliling patung yang diam membisu. Hari itu, matahari tak sekejam biasanya. Aliran peluh terhenti sejenak. Kelenjar keringat pun terhenyak. Aku merasa enak. Akhir-akhir ini cuaca memang rada bersahabat. Beberapa kali, Tuhan meminta Batara Surya untuk lebih tenang menghadapi Mahluk ciptaan-Nya. Awan pun diminta senantiasa memayungi para cucu Adam dan Hawa. Ya, Tuhan dengan segenap kekuatan dan rencana-Nya.

Sore itu, Taman Surapati sangat indah. Nikmatnya hawa sejuk dengan sedikit wangi rumput dan tanah lembab. Taman itu indah. Pepohonan besar yang entah usia berapa kali umurku, membentuk semacam kubah yang menaungi seisi taman. Air mancur membasahi rerumputan dan tanah. Seolah, telah tercipta dunia antah berantah yang jauh dari kepenatan ibu kota. Padahal, taman itu berada di tengah kota. Tempat mobil-mobil dan sejenisnya mengantarkan asap pekat dan suara bising.

Beberapa bulan belakangan, aku kerap berjalan sendirian di taman ini. Berupaya menghirup nuansa damai dan nyaman di sekeliling tubuhku. Mmmhhh, aku bergumam. Mata terpejam dan hidung kembang kempis, tanda kenikmatan tengah berlangsung. Semilir angin membasuh raga. Terbayang, selendang dewi khayangan yang halus, membelai tubuh. Burung di taman tak hentinya berkicau. Bukan bising yang kudapat. Namun, merdu yang kudengar. Terbang tanpa henti dengan sayapnya yang asri.

Langkah ini membawaku ke suatu pelataran. Di tengah taman, ada sebuah tempat duduk bebatuan. Kini tempat itu dihinggapi sepasang kekasih yang tengah dibuai smaradhana. O dewa, o cinta. Mereka begitu bahagia, tak ada yang sanggup memisahkan mereka. Aku hanya tersenyum. Pergi, aku enggan mengganggu pasangan yang tengah merangkai kisah itu. Aku tak mau diri ini ada di antara kisah mereka. Runyam urusannya. Hanya sakit yang akan tersisa di jiwa.

Tak jauh di dekat itu, aku melihat lelaki tua. Mungkin bisa dibilang seorang kakek. Dia duduk termenung sendiri. Mungkin berupaya mengingat hasil rajutan kisah kasihnya. Tangan kirinya memegang rokok, tangan kanan menggenggam segelas kopi. Nikmat betul, kataku. Benar-benar padanan yang sangat cocok. Rokok dan kopi. Di sebelahnya, terdapat beberapa carik kertas yang terhampar dengan sebuah pena di atasnya. Ada torehan tinta di kertas itu. Tulisan si kakek mungkin.

Saja, kusambangi dia. Aku tidak bermaksud mengganggu. Hanya menemani dia. Senyumnya sangat bersahabat dan bersahaja. Meski raut senja telah mendominasi selaksa rongga di wajahnya. Tetap saja, bisa kubayangkan wajah mudanya dulu. Dia menawarkanku duduk di sebelahnya. Sebungkus rokok pun disodorkan. Ya, aku ambil saja sebatang untuk menghormati dia. Lagi pula, memang mulutku masam sejak makan tadi. Kuisap dan kuembuskan. Ternyata, rokok adalah penawar rindu.

Aku bertanya, namun tak memaksa. Kakek itu pun menjawab seikhlasnya. Sebuah nama yang modern untuk orang serenta dirinya. Namun, apalah arti sebuah nama, kata William Shakespeare. Si kakek pun menunjukkan beberapa carik kertas itu. O, puisi ternyata. Lebih bisa dibilang prosa. Tulisannya sarat dengan keindahan, namun terselip kehampaan. Karena, kisah di tulisan itu sangatlah sedih. Roman yang tak kunjung hinggap.

Ketika kutanya tentang kisah itu, si kakek kembali tersenyum. Ah, senyum itu lagi. Tulus dan bersahabat. Saat bibirnya mengembang, wajahnya kian dipenuhi dengan kerutan-kerutan. Tanda usianya telah mencapai penghujung hari. Tapi, dia terlihat sangat optimistis menghadapi hidup. Terlihat, dari tatapannya yang mengawang. Ya, kedua mata itu pernah menatap masa depan kala dirinya masih muda dan perkasa. Namun, kini dia renta, tak berdaya menghadapi terkaman usia.

Dan si kakek pun berkisah:

“Senja sangat berarti bagiku. Senja adalah waktu manusia dan mahluk Tuhan menikmati alam tanpa takut dengan terjangan sinar sang surya yang terik serta panas. Senja adalah warna tua, karena aku adalah penikmat romansa nostalgia. Senja adalah lambang kemuraman bagi insan yang dimabuk asmara. Senja didominasi oleh warna jingga, lambang dari menuanya suatu zaman, meski tak lekang diterkam sang waktu. Senja mengundang pengharapan bahwa masih ada hari esok.”

“Namun, bagiku, senja tak hanya sebatas itu. Senja memiliki beribu-ribu nuansa magis saat aku bersanding dengan kekasihku. Tepatnya, kekasih yang tak pernah kumiliki, hingga senja umurku ini. Wajah dan auranya bagaikan langit senja, hangat namun sedikit muram. Dia merupakan mimpi dari setiap malam-malam yang kulalui. Dia adalah wujud dari cinta yang tak kunjung bersemi. Wanita itu kini tak tentu rimbanya. Dia menghilang bagai durjana.”

“Aku senang berpuisi untuknya. Bukan karena dia penyuka puisiku, tapi lantaran dia adalah inspirasiku. Tulisan dan goresan tinta bisa tercipta saat hati ini menyebut namanya, berulang kali tanpa henti. Kertas pun tak luput dari hujan titik air mata ketika untaian kata terangkai. Perasaanku dengannya begitu dalam. Tidak hanya sebatas di puisi, namun jua di hati ini. Puisi hanyalah cerminan kebahagiaan dan kegundahan di hati, sampai saat ini.”

“Musik mengalir di nadinya. Pun demikian denganku. Dulu, aku dan dia kerap mendengarkan musik seraya berpelukan. Hanya itu saja, tapi cukup untuk mengairi dan memupuk anjangsana cinta di taman hati ini. Puspa bermekaran. Aku bercerita tentang indahnya alunan nada sendu. Aku pemuja kesunyian, begitu pula dia. Namun, dengan musik, aku dan dia menemukan keramaian tersendiri. Seolah, ada titik harapan yang benderang saat diri diselimuti kelamnya malam.”

“Aku dan dia terlahir dari rahim bunda semesta. Seni dan masa lampau telah bersemayam di jiwa ini. Aku dan dia, satu jiwa. Aku dan dia saling menaruh cinta. Kebahagiaan pun terpancar dengan sinar yang gemilang, sangat benderang. Namun, kisah itu hanya menjadi romansa semata. Dinding yang kokoh dan jurang terjal memisahkan kami. Kesedihan dan keraguan bersandar saat hati ini tengah merajut asa. cinta hadir di waktu yang salah. Hati hanya bisa memendam dan menguburnya.”

Tanpa terasa, langit muram berubah kelam. Senja pun berganti malam. Sinar rembulan menelusup di sela-sela dedaunan seraya membentuk bayangan nan mencekam. Dunia memancarkan senyum nan temaram. Sang kakek menunduk dan terdiam. Dan, aku pun hanya bisa melihat tubuh renta itu dan terus bergumam, mengiringi perkataan yang terlontar dari mulut kelunya.

“Malam ini, beberapa tahun silam, aku dan dia duduk berdampingan. Tak lepas, dia memandangku dengan mata yang syahdu. Aku terus berkisah. Selalu, dia menyimak cermat setiap kata yang terlontar dari mulutku. Aku merasa sangat dihargai. Terkadang, dia memberikan pelukan nan manja. Aku balas pelukan itu dengan kecupan di wajahnya. O, aku bagaikan berada di dunia yang tidak aku kenal. Antah berantah. Serasa, aku berada di zaman keemasan di saat semesta masih belia.”

“Bulan dengan sempurna tersenyum agung. Wahai semesta, aku sangat merindukannya. Setiap wanita yang kutemui, membentuk bayangan dirinya. Tak bisa kuhindari, aku tenggelam dan tak sanggup menepi ke pantai. Seolah, permukaan begitu jauh. Biarlah aku larut. Aku menikmati kesunyian ini, meski tanpa dirinya. Kini, dia bersanding dengan pria yang telah berkorban untuknya, pria yang tak sanggup hidup tanpanya. Sedangkan, aku hanyalah pria yang hadir di antara mereka.”

Sang kakek terbangun dari tempat duduknya. Mencari persinggahan lain di hati. Dia meninggalkan aku dan secarik kertas penuh tulisan. Hasil goresan tangannya semrawut, tak kuasa aku membacanya. Aku hanya termenung, menikmati malam yang sunyi dan senyap.

Mencoba untuk menelaah kembali kisah yang dituturkan si kakek. Apakah cinta selalu begitu? Sarat dengan konflik yang acapkali mengorbankan hati. Yang terang, cinta itu ada dan menelusup di antara manusia. Hawanya mengawang mencari jiwa para pencinta.

Senja di Taman Surapati, Jakarta Pusat, Selasa (22/3/2011)

(RAS/22032011)

No comments: