Wednesday, February 8, 2012

Senja di Batas Cakrawala

Tujuh camar melintasi langit jingga. Sayapnya mengepak terbang membelah angkasa raya, dan menguak tabir cakrawala senja. Barat, arah yang mereka tuju untuk mencari persinggahan, tempat sang mentari akan kembali ke peraduannya nan syahdu. Genta semesta pun seraya membahana, turut meniupkan hawa keagungan Sang Pencipta.

Salah seekor camar menukik tajam. Terbang rendah di atas dermaga. Matanya nyalang. Menyaksikan kerumunan manusia. Ya, mereka adalah para pemburu senja. Duduk dan bercengkerama di pesisir pantai. Canda tawa, sedu sedan terdengar sangat jelas. Ya, sejelas ragam warna pelangi yang muncul usai hujan membasahi tanah dan hijau rumput di anjangsana buana.

Sang camar berkata, "Aku melihat dunia, dalam balutan warna senja. Indah, penuh dengan keberagaman. Manusia dari segala penjuru, berkumpul menanti sang surya menjemput rembulan di langit barat. Bercengkerama di pesisir pantai. Tangan-tangan halus sang surya melambai mesra, pergi untuk kembali esok, menyinari buana yang senantiasa bergejolak dalam suasana."

Laut menjadi daratan bagi mereka para mahluk air, tempat hidup dan mencari setitik asa. Tak berbatas, hingga terlihat pagar cakrawala menyusuri setiap sisi lautan. Menyapa setiap manusia yang ada, dengan suara gemericik air dan deru ombak yang sanggup menelan suara serta teriak kencang lambang kegundahan mereka, para manusia.

Laut berkata, "Wahai manusia, hiruplah wangi airku. Aku tak akan menciptakan gelombang tinggi. Untuk kalian, aku berdamai dengan semesta. Tak ada kebencian bagi kalian yang bermain di ragaku, menikmati airku, dan mencemariku dengan benda ciptaanmu. Lontarkanlah kerinduan dan kegamanganmu padaku. Berteriaklah, manusia. Demi senja, aku tak berombak."

Dan, laut pun memegang teguh janji. Dia berdiam diri, turut menikmati suasana hati. Terkadang ombak menghempas. Terkadang pula air bergulung. Tidak besar, namun cukup membuat kapal terombang-ambing. Nyaris karam, kendati diselamatkan udara yang meniup dan membawa kehidupan sang bayu.

Sang jukung kelapu - lapu
Santukan Baruna kroda
Nanging Chopin nenten ngugu
kadang ipun ngrusak seni - budaya
(Chopin Larung, Guruh Gipsy, 1976)

Angin tak mau tertinggal suasana. Semilir mesra, dia senantiasa berembus membawa wangi amis lautan raya. Kencang menusuk raga yang tak terbungkus kain tebal. Gerilya menyusuri punggung, berkecamuk di antara rusuk dan masuk menelusup ke dalam jantung kalbu. Hanya kain tipis menyelimuti, mengandalkan raga yang cukup tebal menahan deru angin laut.

Sepintas, tersirat suara angin. Semilir, dan kian mengencang seiring dengan tenggelamnya sang surya. "Aku berikan udara, aku tiupkan wangi laut. Aku membawa rasa kerinduan dan gelisahmu. Dan, kalian tahu? Suasana takkan membekas menjadi kenangan bila kalian tak menghirup keindahan dari suasana itu. Untuk itulah, aku hadir di antara kalian. Melambai, dan bertiup selalu."

Hiruk-pikuk terdengar di bagian lain senja. Musik pantai mengalun lembut, dengan birama yang cukup konstan. Kenangan-kenangan pun terlintas di benak, membawa manusia masuk jauh lebih dalam untuk mencari memori yang lama hilang. Namun, musik tak peduli. Dia terus mengalunkan nada kerinduan.

Dalam setiap bait, musik pun berkata mesra. "Wahai manusia, nikmati bunyiku. Aku mengalun untuk menghibur kalian, agar menghilangkan sejenak resah di jiwa dan kegalauan semata. Aku hadir bagaikan oase di tengah gurun. Dengankan aku saat tenang menjelma menjadi kekuatan dalam dirimu."

Pasir-pasir yang membasah. Merekatkan diri menjadi satu, berbuah karya yang tak sempurna, namun menuai sejuta makna. Satu per satu butiran pasir, terseret air laut. Ada yang kembali, tak jarang pula yang tidak. Tapi, di sanalah pasir berada, memberikan nuansa dan tekstur di dasar laut terdalam.

Terlintas dengar, pasir mengucapkan kata, "Biarlah laut menenggelamkan diriku. Kendati begitu, aku takkan lekang oleh zaman. Aku adalah saksi dari kehidupan kalian, manusia. Aku hidup sejak nenek moyang kalian memegang jangkar dan menguasai tujuh lautan, sehingga kini menjadi nusantara."

Batu karang terus diterjang ombak. Dia berdiri kokoh, tak ikut larung dalam lautan nan luas. Bagaikan hati yang menanti seorang kekasih, dia tertancap di dalam tanah. Siapapun, tak sanggup mengubah pendiriannya. Namun, kecintaan terhadap laut membuatnya terkikis sedikit demi sedikit bak hati yang terkoyak.

Terbawa angin, batu pun bersuara dengan semilir, "Tegar dan kokoh, itulah aku. Meski demikian, samakanlah aku dengan hati seorang manusia. Aku bisa menjadi lunak, kala laut menghajarku dengan deru ombak terus menerus. Terkikis, karena aku cinta laut yang memberikanku air kehidupan."

Manusia mesra berdiri di atas jembatan di tengah laut. Berjasa, sang jembatan memberikan kesempatan kepada manusia untuk merasakan berdiri di atas lautan. Meski, dia menjadikan dirinya tempat berpijak. Jejak kaki manusia terdengar bagaikan jantung yang berdetak di hati sang jembatan.

Lamat-lamat, sang jembatan bersuara. "Pijakkan kakimu di ragaku. Aku hadir untuk membuatmu melayang di atas lautan, tanpa menapaki sang baruna kroda. Tanggalkan kesombonganmu wahai manusia. Ragaku adalah tempatmu berpijak. Kesombongan hanyalah akan meruntuhkan dirimu ke dasar samudera."

Sebuah gedung tinggi menjulang. Menyentuh langit, merusak panorama cakrawala. Dia sendiri, tiada yang menemani. Ketika bangunan lain tidak mencapai langit, gedung itu dengan berdiri tegak, lambang keangkuhan dari sang empunya. Angin kencang tak kuasa meruntuhkannya, seperti kesombongan para politisi yang senantiasa lupa ketika berada di puncak kejayaan.

Remaja, muda mudi, serta orang tua berkumpul di dermaga. Raut wajahnya sumringah, menikmati hangatnya mentari senja. Ada yang sibuk mengambil gambar pemandangan, ada pula yang hanya terdiam mencari suara alam yang bisa menuai beribu inspirasi. Sepasang remaja pun tak peduli dengan alam sekitar, saat mereka dimabuk asmara.

Sedangkan, aku adalah aku. Seorang manusia, setitik debu di mata sang pencipta. Akulah orang yang akan memasuki koridor yang dijanjikan oleh semesta, sejak lahir hingga kini dirawat oleh dunia dengan segala gegap gempitanya. Aku adalah penikmat suasana, yang menjanjikan inspirasi dan sejuta asa.

Mentari terbenam. Senja menyimpan sejuta kenangan. Keindahan warna jingga tak bisa kulukiskan dengan kata-kata. Tak ada harta di dunia yang sanggup membeli kemegahan yang luar biasa itu. Namun, ada cinta dan keindahan yang paling kupuja, saat aku melihat seorang malaikat di duduk sampingku.

Aku melihat senja di matanya. Butiran cahaya mentari sore, seraya terpantul bagaikan cermin yang menampakkan refleksi bayang. Satu hati nan membeku, meski diterpa hangatnya matahari. Dunia asing yang coba kumasuki. Dan, aku ingin melangkah di dunianya.

Senja di Teluk Jakarta, Ancol, Jakarta Utara, Sabtu (4/2/2012)

(RAS/08022012)

No comments: