Monday, February 27, 2012

Cinta Sang Penyair

Though you don't know me well
With every little thing only time will tell
If you believe the things that i do
Then we'll see it through

(Make It With You, Bread, 1970)

Petikan lagu ini mungkin mewakili apa yang dibenakku. Ketika sebuah tanya, mendapatkan sebuah jawaban. Namun, pada nyatanya, jawaban itu bertentangan dengan ekspektasi. Dan, keyakinan pun tak cukup kuat untuk membungkam segala keraguan yang menyusuri setiap relung di jiwa.

Seorang penyair menyenandungkan soneta penuh keindahan dunia. Jatuh cinta, itu yang dirasakan olehnya. Seluruh karyanya berwarna merah jambu. Sebuah warna lambang buah cinta. Semua inspirasi mengalir deras bagaikan sungai yang selalu mencari laut sebagai tempatnya berlabuh.

Dia menemukan satu elemen ketika logika dikalahkan oleh perasaan. Dominasi ini menciptakan bongkahan besar di hati. Di sana, terdapat ribuan peri-peri yang siap menghujamkan panah demi panah ke arah sang pujaan hati. Di sana pula, sang smara bersemayam mencari raganya yang hilang.

Belum lama, sang penyair mengenal dirinya. Satu kedip mata, dan dua tanda tanya. Cinta pun langsung merasuk ke dalam jiwa. Tanpa sadar, virus kerinduan terus menyerang tubuh dan jiwanya. Kini, dia hanya sebuah jiwa, tanpa daging yang melapisi tubuhnya. Semua menjadi benderang.

"O, semesta. Apa yang terjadi dengan diriku? Sebuah cahaya masuk ke tubuhku. Aku tak mengenalnya. Tak seperti ini, cahaya yang disematkan oleh bulan dan matahari. Cahaya ini langsung menusuk ke jantung, dan bersemayam di hati. Tak kuasa kulepaskan, o semesta."

Bahaduri yang sedang diberikan petuah oleh raja. Mungkin seperti inilah apa yang dirasakan oleh sang penyair. Ketika cinta memberinya sabda, dan penyair hanya bisa mengikuti. Dia pun berkata, "terbuat dari apa cinta ini? Mengapa aku tidak bisa memilih dengan siapa aku jatuh cinta?"

Cinta tidak mengizinkan sang penyair untuk memilih. Dia melihat sebuah cahaya yang sama menyinari seorang gadis. Sayup-sayup terdengar suara tawa riangnya, canda cerianya. Lalu, cahaya itu masuk ke dalam tubuhnya. Penyair menyaksikan keagungan itu. Dan, asmara pun tersenyum.

"Dia adalah seorang gadis pendiam, dingin dan senantiasa bergumam dengan jiwanya yang suci. Dengan penuh kerendahan jiwa, aku jatuh cinta kepada dia. Dinginnya, membuatku ingin menyinari selalu dengan cahaya cinta. Diamnya, ingin aku nyanyikan lagu riang, sehingga dia tersenyum."

Seorang gadis membuatnya terhempas dalam jurang kerinduan. Kata sepertinya enggan untuk tumpah ruah dari bibirnya yang mungil. Gerak indera pengecap pun tak leluasa bergejolak dalam keriangan dunia. Bisukah dirinya? Tidak, hanya diam yang menjadi teman setianya. Baik saat nestapa melanda, maupun ketika kebahagiaan bersua.

Sapaan yang tak digubris. Hanya senyum mengembang membuat hati teriris. "Ketika hati ini terbagi, aku serahkan setengah darinya untuk dia. Kini, setengah hatiku entah dimana. Terombang-ambing dalam lautan asmara, nyaris terhempas ke dalam telaga tak bertepi. Berenang dalam ketidakpastian."

Langit tampak tak berujung. Awan yang bertahtakan angkasa biru. Cakrawala membuka, memberikan jalan kepada sang mentari. Kendati, mendung kembali menutup. Dan, awan mencurahkan isi hati seraya menangis. Air matanya terjerembab, menembus angin, laut, dan daratan. Lalu, airnya pun mengering.

Bunga yang lelayu. Terbangun kembali, sang bunga ketika ditangisi oleh air mata sang gemawan. Penyair pun tertegun. Pemandangan indah, nan memukau hadir dalam balutan warna jingga. Rumput yang mengering, kini dengan sigap kembali berdiri tegak. Siap menghadang alur air yang deras sungai.

"Imajinasiku terkunci. Otak kelu. Ketika bayang sang bisu melewati pandangan. Mata tak kuasa memicing, dan terdiam kaku. Tidak terbelalak, meski bayang itu kian nyata. Wanginya, gerak jalannya, warna auranya. Inilah saraswati yang kucari, seonggok intan yang terpendam dalam hangatnya tanah."

Renjana di hati pun tak pelak bangkit. Api yang lama tak menyala, kini senantiasa tertiup bayu. Sang api pun berkobar dahsyat. Terkatung-katung, sang penyair bersaksi ketika dirinya diam mematung. Ketika itu, dunia berhenti berputar, meski sang surya tetap bersinar, namun waktu tiada berpencar.

Baru sejenak, sang penyair menyaksikan keindahan itu. Segampang itukah cinta datang? Tidak ada yang bisa menilai cinta dari sudut pandang logika. Terkadang cinta membuat orang gila, bahkan tak sanggup untuk berkata. Cinta pun yang membawa tragedi bagi Romeo dan Juliet serta Laila dan Qais.

"Aku bersaksi atas nama cinta. Belum pernah aku seyakin ini selama hidupku. Masa mungkin telah memakan zaman sehingga manusianya menjadi para pendusta. Namun, aku hanyalah seorang bodoh yang ingin berkata atas nama cinta. Bukan inginku merayu dengan puisi-puisi kosong."

Mencoba, itu yang diinginkan penyair. Tapi, sang pujaan hati enggan untuk itu. Dalam kebingungan dan nestapa, dia berpikir. Sebuah tanya pun singgah sejenak di benak. Kembali, bingung pun melanda wajah cantik itu. Bagaikan seorang nabi yang bingung menentukan nasib kaumnya.

“Memang baru sejenak aku mengenalmu. Tapi, waktu akan menjawab semuanya. Semesta kuharap tersenyum, dan bersabda kepada sang waktu agar berpihak kepadaku, selalu. Kini, kuserahkan semua kepadamu, o waktu.”

Kebingungan ini sangat dimaklumi sang penyair. Roda terus berputar, meski terkadang menggilas beberapa manusia. Namun, hidup terus berjalan. “Wahai nona, nikmatilah kebingungan ini, seperti aku menikmati kepedihan ini. Tapi, hidup selalu memiliki keindahan tersendiri.”

Semesta bergumul mesra. Pohon pun menari dengan hebat diguncang oleh arah angin yang tak menentu. Ilalang pun menyerukan keagungan bagi ibu pertiwi. Anjangsana yang dipenuhi mahluk-mahluk indah ciptaan Tuhan. Inilah kuasa-Mu.

“Kejujuran ini mungkin pahit bagimu wahai pujaan hati. Kendati begitu, janganlah menghindar dariku. Karena, aku hanya seonggok perasaan tanpa raga. Ketika cinta terlontar, ini semata hanyalah kejujuran yang aku berikan untuk menunjukkan rasa yang terendap lama.”

Sang penyair bergumam dan terdiam. Dia merenung atas kehilangan yang akan terjadi padanya. Namun, Tuhan selalu memiliki rencana. Baik atau buruk, hidup selalu dinamis. Bagaikan burung yang bebas, dia akan bergerak kesana-kemari mencari arti kehidupan.

"Percayalah. Banyak nama yang kuabadikan menjadi puisi, prosa dan drama. Namun, aku ingin satu nama untuk selamanya, yang akan menghiasi hati dan karya-karya itu. Satu nama yang akan mengemban nama belakangku. Satu nama yang akan melahirkan anak-anakku. Satu nama yang kelak membawa surgaku."

Sang gadis belum meyakini. Hanya penantian yang kini menjadi teman terbaik sang penyair. Termangu dirinya, di atas batu besar. Berteman dengan rembulan, secarik kertas dan sebilah pena. Di atas kertas, dia menulis dan menulis, syair tentang cinta dan pengharapan. Hingga kini...

(RAS/27022012)

No comments: