Friday, February 10, 2012

Statis

Hati itu bagaikan bawang. Ya, sayuran yang memiliki banyak lapisan, dan bisa menuai air mata saat mengupasnya. Tidak pernah, manusia melihat inti seutuhnya dari bawang tanpa membukanya helai demi helai. Kulitnya yang tipis, dan cukup sulit dikupas oleh orang yang tidak ahli dalam bidang ini. Tak jarang, air mata menetes ketikahelaian itu terbuka. Dan, manusia hanya bisa memaklumi.

Intermezzo ini menjadi bagian dari kisah seorang pria yang terus menguliti hati seorang wanita yang sangat dicintainya. Ini kendati proses tersebut membuat air matanya terus berderai. Namun, dia terus mengupasnya. Sebab, dia ingin melihat inti seutuhnya dari wanita tersebut. Ingin mencapainya, seperti tekad besar Orpheus menjemput kekasihnya, Eurydice yang dijemput ajal bersayap putih.

Shiva, sebut saja namanya itu. Dia adalah seorang pemburu senja, penyair dan penulis kata-kata bermakna. Senja menjadi inspirasi dari setiap kisah-kisahnya. Baik itu sedih maupun bahagia, hanya senja yang tetap di sana. Senja menjadi suasana, sekaligus saksi dari perjalanan hidupanya. Karena, senja selalu mengiringi kepergiaannya. Bahkan, hingga tanah tak bertuan dan gunung yang menjulang.

Pribadi yang kokoh, dan tegar. Dalam hitungan detik, dirinya dikalahkan oleh sosok wanita yang sederhana. Wanita itu bagaikan intan yang tertutupi oleh lumpur, bak bunga terindah yang mekar di penghujung musim. Tak akan layu, meski digilas roda zaman. Lonceng hati Shiva berdentang keras, semesta pun tak kuasa untuk tiada mendengarkannya. Tak berbantahkan, cinta telah membuai Shiva.

Sosok anggun dan cerdas, menuai berjuta kerinduan di jiwa. Meski demikian, hatinya dingin bagai es. Panas mentari bahkan tak sanggu membuatnya mencair. Berulang kali, namun hanya penolakan yang dihadapi Shiva. Tak pelak, Shiva meratap dan merenung. Tiada semangat lagi dalam hidupnya. Hati Shiva yang mencair, kini terombang-ambing oleh derasnya arus sungai kehidupan.

Tak kunjung luluh, hanya mengeras yang dirasa. Shiva menggila. Puisi demi puisi tercipta, nyanyian kerinduan mengalun dari lidahnya yang mulai kelu. Persis, seperti Qais yang menjadi gila karena Laila dalam kisah Laila Majenun. Ya, majenun pula lah Shiva. Namun, kegilaan itu membuatnya mengerti arti cinta. Bahwa, cinta bukanlah suatu yang mudah diraih. Shiva diuji kesanggupannya mencari cinta sejati.

Dan, wanita bernama Drupadi itu tetap bersikap dingin. Ketika Shiva meriang karena cinta, Drupadi hanyalah tersentil sedikit oleh asmara. Ya, Shiva mengibaratkan hati Drupadi seperti dinding es yang sangat besar dan kokoh. Berdiri tegar, kendati diterjang Baruna Kroda, sang empunya lautan. Tapi, lebih tepatnya Shiva mengibaratkan hati Drupadi seperti bawang, yang sarat lapisan.

Shiva berupaya mengupas hati tersebut. Ketika satu helai telah tertanggalkan, air matanya tak kuasa menetes. Luka yang mengiris dirinya, saat irisan itu seharusnya memotong kulit bawang sang dewi pujaan hati. Shiva selalu merasa salah dengan langkah yang ditempuhnya menuju Drupadi. Karena, Drupadi hanya bersikap dingin, kendati terlontar ribuan kata dari mulutnya. Yang ada adalah statis.

(ras/11022012)

No comments: