Sunday, February 26, 2012

O, Bunga Terindah

O Tuhan, aku mencintai bunga itu
Tumbuh di antara ilalang, dan dedaun
Ketika pagi, dirinya lelayu sayu
Saat senja, kuncupnya merekah terbangun

Taman Menteng, Jakarta Pusat, diselimuti awan muram. Mendung terlihat sejauh mata memandang, ketika aku menatap di balik rimbunnya pepohonan. Sinar mentari hanya sesekali menelusup dari jendela lembayung yang berwarna abu-abu. Tidak terbentang, hanya menerobos gelapnya gemawan.

“Senja yang suram dan kelam, seperti suasana hatiku yang dilanda nestapa. Tiada renjana yang biasa terpancar ketika sepasang manusia dilanda asmara. Kini, yang ada hanyalah bulan sabit yang tertutup gelapnya bayangan awan hitam. Hati yang senja, bagaikan malam penuh rindu dendam.”

Nikmati nestapa, dengan secangkir kopi dan sejumlah batang rokok. Anganku menerawang ke suatu tempat, ketika dua anak manusia duduk berdampingan. Syahdu, diam namun penuh kehangatan. Senja kini begitu dingin, tanpa senyum dan tatapan matanya yang indah.

Sejauh mata memandang, aku menyaksikan puluhan manusia yang tengah bercengkerama. Mereka bertegur sapa, ada pula yang memadu asmara. Tapi, aku memilih kesendirian. Hal ini agar aku bisa lebih jelas melihat bayangannya, tanpa ada gangguan dari siapapun. Aku memilih nestapa.

Sebuah bangunan kaca menuai pandangku. Indah, ketika matahari mengintip dari balik awan, dan menerobos lewat ruangan kaca itu. Sinarnya membias, dan menghujam manusia-manusia yang ada di dalamnya. Aku hanya memandang nanar, karena duniaku tidak bersinar seperti itu.

Jiwa dan anganku pun menerawang jauh. Abadilah dirinya dalam prosa dan karya-karyaku, seperti keabadian yang terendap di jiwaku. Dia dan selalu dia. Mengundang tawa ketika dirinya di sisiku, menuai nestapa kala dia jauh berada di sisi lain dunia.

Aku mendengar senandung alam terus membawakan syair indah. Mereka bersama peri-peri semesta menyanyikan lagu riang gembira. Namun, aku sendiri dalam nestapa. Kelam di hati, berkobar dan tak kunjung meredam. Rias raut awan mengerut kencang, seolah mereka terlalu lelah untuk menahan deras sinar sang surya.

Gontai kuberjalan di padang yang tak bertepi. Hanya warna kuning dan ilalang senja sejauh mata memandang. Aku melihat tepi dunia, namun tak kuasa kuraih, kendati perjalanan ini sudah menyusuri ribuan kilometer. Langkah ini tegas, namun tapakku lemas. Aku melangkah dalam dunia yang asing, antah berantah.

Di antara ilalang, aku bertemu sebatang pohon raksasa. Tepat di tengah dunia yang kini mengitari diriku. Rantingnya pun besar. Tumbuh di sana, dedaunan hijau merekah dan bunga-bunga dengan ragam hiasan serta warna-warni dunia. Awan pun senantiasa membelai pucuk sang pohon.

"Wahai pohon raksasa, indah nian bentuk tubuhmu. Kau memiliki anak-anak yang cantik rupawan. Mereka mekar sempurna, dengan duri-duri yang siap melindunginya. Tak pernah kutemukan, pohon segemilang dirimu. Kau menghiasi anjangsana ini, meski hanya kau seorang yang hidup di antara para ilalang."

Sang pohon melambaikan dahannya. Angin membuat dirinya terombang-ambing. Tapi, akar menahan tubuhnya agar sang bayu tak mencuri mahakarya semesta itu. Namun, sang bayu tak menyerang. Diembuskannya, angin yang sang kencang. Sang pohon pun bergoyang kian kencang, ditahannya dia agar tak terbang.

Bunga-bunga yang indah ini menuai perhatianku. Mereka bagaikan gadis-gadis yang siap dipetik oleh para pelamarnya. Seolah, sang pohon adalah raja, bunga-bunga itu bagaikan putri-putrinya. Ya, bunga itu adalah lambang kecantikan, kesempurnaan, dan harum mewangi yang membuat manusia terbuai.

Helai demi helai kuncup mereka berjatuhan. Meranggas dedaunan hingga terhempas ke bumi. Mereka pun merintis tunas baru, meski tak kunjung tumbuh besar. Namun, dedaunan menghiasi ilalang yang hanya berwarna kuning, tanpa menggubris jatuhnya mereka. Ilalang hanya terdiam, tiada bergeming.

Ada satu bunga. Dia masih terbungkus kuncup. Teman-temannya berupa membangunkan bunga itu. Tapi, dia hanya kelu. Tiada menanggapi panggilan itu. Dia tertidur lelap. Seperti, sebuah kepompong yang bergelantungan di dahan-dahan pepohonan. Hanya dedaunan yang menjadi temannya.

"Aku melihat sekuntum bunga yang tiada mekar. Aku mencintainya. Dia berbeda dengan bunga yang lain, dia lebih senang berada di dunianya yang sepi. Di sana, hanya ada dia dan jiwanya yang indah. Aku jatuh cinta kepadanya. Perasaan ini sangat terjal, kendati baru sejenak aku memandangnya. O, cinta."

"Aku memuja dirinya, o Tuhan. Bukan aku menduakan-Mu. Namun, sungguh ciptaan-Mu membuat hati ini terpana. Namun, bunga itu memiliki banyak ragam duri. Aku tahu Engkau sangat melindungi dia, o Tuhan. Dan, dia pun hingga kini tak kunjung mekar. Aku pun mengerti Engkau akan menjadikannya sekuntum bunga yang paling indah di antara yang lain, di akhir masa."

"O, Tuhan. Izinkan aku menanti dirinya mekar berseri. Aku ingin melihatnya dengan mata ini. Izinkan aku menjaganya, dari kumbang-kumbang lain yang datang dan mengganggu lelapnya. Meski Engkau menerpa diriku dengan panas dan hujan, izinkan aku untuk tetap menanti dirinya di bawah pohon ini. Aku ingin berteduh seraya melihat kecantikannya."

Cinta ini sudah terlontar dari hati. Bunga itu merekahkan kuncupnya sedikit. Meski begitu, kuncup itu kembali menutup. Dia masih setia dengan pohon yang memelihara dirinya. "Mungkin aku terlalu cepat berkata cinta, di saat bunga itu belum yakin akan mekar dan tersenyum. Namun, aku akan menunggu."

Aku lontarkan nada kerinduan sekali lagi. Cinta, o, cinta. Namun, sang bunga enggan mekar kembali. Dia terdiam, tanpa satu patah kata pun yang meluncur dari kuncup indahnya. Mungkin aku harus menyampaikan pesan kepada angin. Lalu, angin kan membawa hati ini ke hadapannya, semoga.

“Wahai angin, bantulah aku. Jika bumi tidak bisa menjadi tempatku merapal namanya, semoga dunia mimpi bisa menjadi lahanku untuk bertegur sapa dan memanggil namanya selalu. Sebab, hanya kata yang sanggup aku ucapkan. Bukan cumbu rayu dan cita secinta.”

Penantian. Tak ada yang seindah penantian ini. Sebuah asa yang terlahir dari bunda semesta. Terus merambat ke jiwa bagaikan sulur tanaman yang melahap diri ini. Asa bisa saja punah, namun diri ini akan terus bangkit dalam nestapa. Titik terang akan hadir di saat bumi ini gelap gulita. Itulah asa.

“Hingga suatu hari nanti, ajal menjemput dan masaku berakhir di sini, aku mungkin tak akan sanggup melihat bunga itu mekar berseri. Namun, aku ingin bunga itu tahu ada seseorang yang selalu mengabadikannya dalam prosa, puisi, kata dan tulisan.Dan, aku pun pergi dengan senyuman.”

Tulisan. Hanya goresan tinta, yang mungkin akan terhapus oleh zaman, atau mungkin tidak. Apalah arti sebuah kalimat. "Di sini, aku bukan menuangkan sebaris, dua baris kalimat. Tapi, aku menaruh sepenggal hatiku, dalam kertas-kertas kosong yang tak bertuan. Biarlah hatiku yang merangkai kata demi kata."

Teringat, ketika Tuhan menciptakan cinta dari ribuan rasa di dunia. Sedih, bahagia, cemburu, dan lainnya. Lalu, Dia merangkumnya dalam sebilah hati yang suci. Kini aku sadar, Tuhan menciptakan cinta, agar manusia tahu apa yang harus mereka perjuangkan.

Untuk sekuntum melati yang tak kunjung merekah
Aku kan menanti sampai kapan, entahlah
Namun kini api sedang berkobar, menghiasi malam
Hanya ajal yang bisa membuatnya padam

(RAS/26022012)

No comments: