Sunday, February 12, 2012

Passer Baroe, Senja dan Kenangan

Remember a day before today
A day when you were young
Free to play alone with time
Evening never came
(Remember A Day, Pink Floyd, 1968)

Senja menyimpan sejuta kenangan. Di saat tibanya sang surya terbenam, kenangan terkuak bagai bunga yang bermekaran dan terhempas oleh angin. Kisah yang telah menguning, kini menjadi napak tilas yang menjejakkan kakinya di ingatanku. Suasana senja menuai memori yang sudah lama lepas dari jiwa.

Gerbang tinggi bertuliskan Passer Baroe berdiri kokoh di hadapanku. Di sisi lain gerbang itu, berjubel manusia menyemut dan bergelimangan kantong belanja. Ada pula sejumlah pedagang yang menjajakan makanan. Entah laku berapa banyak hari itu. Meski begitu, mereka hanya bisa tersenyum, memaklumi keadaan.

Passer Baroe menjadi saksi konsumerisme manusia Jakarta, sebuah wajah lain Ibu Kota. Tentunya, selain kekumuhan di sana sini dan bau kemiskinan yang menusuk hidung. Berdiri sejak zaman kolonial, Passer Baroe kini menjadi ikon dari kota yang dulu bernama Batavia itu. Sebuah lokasi saksi bisu sejarah.

Sebelum masuk ke Passer Baroe, bangunan tua lainnya berjejer dengan megah. Hitam penuaan menjadi pemandangan, selain warna bangunan itu sendiri. Salah satunya adalah Gedung Kantor Berita Antara. Kini, gedung itu merupakan langganan bagi remaja Ibu Kota yang ingin memamerkan karya foto mereka.

Namun, bukan Passer Baroe yang ingin kubicarakan. Sore ketika matahari mendekati lelap, aku menyambangi sungai di depan Passer Baroe. Mungkin bisa disebut kali, maklum warna airnya keruh. Bukan biru terang, namun hijau kumuh. Bau tak sedap pun terbang kesana kemari, mencari hidung yang menjadi korbannya.

Aku bersama kedua temanku duduk di bantaran kali. Tak acuh atas baunya. Sebuah warung reyot menjadi saksi pertemuan tiga sahabat yang kini terpisah jarak dan waktu. Segelas kopi dan beberapa batang rokok menjadi santapan. Suasana yang sempat sirna. Buku yang dulu usang, kini bersih kembali.

Senja adalah waktu ketika kami bercengkerama. Mengenang dunia yang dulu masih muda, agresif, emosional, dan irrasional. Kini, jiwa kami menua, memandang masa depan yang tak kunjung tiba dan kematian yang entah kapan akan datang. Kami tak peduli, yang ada hanya kini, nanti dan masa datang yang tengah dirangkai.

Teringat, ketika ego kami menguasai. Saat sebuah momen tercipta, meski harapan tidak ada sama sekali. Sebuah acara musik yang kami jalankan, tanpa modal sedikitpun. Hasilnya adalah kesuksesan besar, kendati memiliki hutang di sana sini. Tapi, itulah momen. Terkadang tidak realistis, namun bisa terwujud.

Acara yang kami rangkai, mengorbankan banyak darah, keringat dan perasan air otak. Ya, impian kami terwujud memang. Rindu, kekeluargaan yang dulu memeluk kami dengan jemari halusnya. Sahabat, aku berkata lebih dari seorang teman. Saudara, mungkin. Ingatan yang melekat, terus merekat bagaikan laut dan daratan.

Satu dekade telah berlalu, sejak acara tersebut menggempur wilayah Bulungan. Kini, teman-teman kami terpencar. Kehidupan memakan mereka habis-habis. Ludes, diasup oleh waktu yang terus bergulir. Entah dimana mereka. Meski begitu, aku meyakini mereka tetap mengingat momen tersebut.

Senja membuatku menyusuri jalan-jalan yang pernah kulalui. Begitu banyak kerikil-kerikil tajam yang menghantui. Namun, aku dan mereka kini telah menjadi manusia sesungguhnya, bukan anak-anak yang masih mementingkan ego dan cenderung mengangkat tinggi-tinggi tropi idealisme mereka.

Di ufuk barat, matahari mulai tampak meredup. Namun, cahayanya masih berupaya memantulkan diri di sungai yang hijau keruh. Biru langit tak pelak, berubah menjadi jingga. Sinarnya mulai menyusuri sepanjang sungai hingga akhirnya tenggelam. Dan, bulan pun tengah bersiap bangun kembali dari tidurnya.

Seberang sungai, bangunan kolonial Gedung Kesenian Jakarta pun tetap terbangun, kokoh dan setegar karang. Mobil lalu-lalang dan bunyi klaksonnya mencoba untuk mengusik kehadiran bangunan itu. Namun, sang bangunan tak peduli. Dia malah kian menguat menggeser lambang modernitas itu, dan menunjukkan eksistensi.

Siluet Gedung Kesenian Jakarta beradu dengan Passer Baroe. Seolah, keduanya berbicara. Mereka pun turut berbagi nostalgia, tentang zaman kolonial saat keduanya dibangun dari keringat para warga Batavia. Mereka enggan terus membisu, dan termakan deru para manusia muda. Mereka juga ingin bercerita.

Sama seperti kami, mereka pun berupaya membuka buku yang telah lama usang dan dikotori oleh zaman. Mereka masih mengingat, ketika bangunan tua menjadi lambang kaum borjuis. Tapi, kini eksistensi mereka terancam oleh bangunan-bangunan muda yang notabene haus aroganisme dan pembawa wangi modernitas.

Masa keemasan mereka telah terlewati. Arah jarum jam pun tak dapat diputar kembali. Kini, yang bisa mereka lakukan hanyalah nostalgia. Ya, sebuah kenangan yang pernah menjadi bagian dari kehidupan, tak dapat dipisahkan meski ajal terus mendekati raga dan jiwa yang senantiasa menua.

Di tengah nostalgia senja, sebuah wajah semu melintasi dan membasuh otakku. Wajah yang telah melumpuhkan seluruh sendi di dalam ragaku. Aku menyebutnya cinta. Ketika senja yang sama kunikmati bersama dirinya. O, senja. Beribu ucapan keagungan kusiratkan dalam suratku untuknya. Namun, hanya dingin yang membuat hatinya membeku, kelu.

Aku menggugat masa, melewati rona hitam dan putih kehidupan. Lamat-lamat, kuberharap gunung es itu akan mencair, jatuh ke samudera nan luas, dan mengalir deras tanpa aral melintang. Harapan, ya, hanya asa yang kunanti. Ketika sang manyar datang memberikan kabar baik, atau kabar nan buruk.

Dalam lamunan ini, kutinggalkan kedua sahabat. Melihat mereka hanya tersenyum, canda tawa yang menghiasi suramnya senja. Seolah kembali terngiang alunan nada yang meninggalkan buluh perindu di jiwa. Nada yang selalu kudengarkan kala senja menunjukkan warna jingganya.

Malam telah tiba. Putri malam tengah bersolek menghibur hati yang dirundung duka dan lara. Mentari terlelap sudah. Tidak secercah cahaya pun di ufuk barat. Yang ada hanya kerlingan mata genit sang bintang. Tampak pula, wajah reyot rembulan, dan siluet gedung megah yang berubah arah.

Tiga sahabat kembali ke kehidupan masing-masing. Meninggalkan cerita yang terus terngiang. Ya, masa muda yang penuh tantangan. Kini, hanya sisa umur yang menghantui mereka. Buku yang usang, ditutup kembali. Untuk sementara, menanti untuk dibuka lagi dengan cerita serta harapan nan baru.

Kejayaan Passer Baroe dimulai di masa Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC) dulu. Banyak kaum elite menyambanginya. Tak pernah sepi oleh keglamoran dan hedonisme. Maklum, Passer Baroe terletak di dekat kawasan Rijswijk yang dibangun pemerintah Kompeni Belanda untuk sinyo-sinyo bergelimangan harta di Batavia.

Sungai Ciliwung alias Kali Passer Baroe juga menjadi saksi bisu perlombaan perahu di masa lampau. Lomba perahu ini dilakukan dalam rangka pesta Peh Cun. Ya, sebuah perayaan etnis Cina di Kota Batavia. Semasa Batavia dulu memang daerah itu dikenal pula sebagai pusat perdagangan atau pasar.

Pesta Peh Cun. Para pedagang pun melupakan bisnisnya. Ditutup pula pintu gerbang toko mereka. Puluhan perahu dihias sedemikian rupa, hingga cantik tak terhingga. Salah satunya perahu bertopeng kepala naga. Semua orang tumpah ruah di sana. Sorak-sorai berbagai etnis membahana. Keramaian yang kini diganti oleh nafsu belanja.

Menyaksikan senja di pusat belanja tertua di Indonesia itu, aku merasa ingin memutar piringan hitam dengan lagu-lagu yang masih mengagungkan bahasa belanda. Era keemasan kolonial, serta nusantara ketika masih berupaya meniti bentuknya menjadi Indonesia.

Senja di Passer Baroe, mencoba menguak kembali tabir yang telah lama tertutup. Fakta baru telah terungkap. Ketika masa kini hanyalah sebuah tinta yang digoreskan di kertas putih, dan mimpi adalah secarik kertas kosong, hanya ada garis statis. Dan, kenangan adalah tinta menghitam, erat menempel di kertas hingga akhir zaman.

Senja di Passer Baroe, Jakarta Pusat, Sabtu (11/2/2012).

(RAS/11022012)

No comments: